Mencegah Anak dari Berbuat Zalim

Ayah-Bunda, pernahkah melihat anak-anak saling berebut mainan ataukah kue? Lalu, bagaimana sikap Ayah-Bunda melihat hal tersebut?

Ya, sebagian orangtua lebih memilih untuk memberikannya kepada sang adik, dan meminta si kakak untuk mengalah. Dengan alasan, adik kan masih kecil jadi kakak yang harus mengalah. Nah, benarkah sikap demikian?  Hati-hati Ayah-Bunda. Bisa jadi kita tanpa sengaja telah membiarkan anak kita berlaku zalim, mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Apa itu zalim? Zalim atau aniaya artinya adalah bertindak  sewenang-wenang atau tidak adil. Seorang yang beriman kepada Allah dan memegang teguh prinsip keadilan tidak akan berbuat zalim. Sebabnya, ia sadar, bahwa kezaliman itu merupakan kegelapan yang akan menutup rapat hati pelakunya. Demikian sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., ”Jauhilah dan takutlah kamu berbuat zalim. Sungguh kezaliman itu merupakan kegelapan pada Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Tindakan mengambil sesuatu yang bukan haknya  sama halnya dengan mencuri barang milik orang lain. Tentu saja ini adalah perbuatan zalim yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.  Larangan tersebut  tercantum dalam ayat-ayat al-Quran dan Hadis Rasulullah saw. Di antaranya:

وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ  ١٨٨

Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil. (Jangan pula) kalian membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu (QS al-Baqarah [2]: 188).

 

Allah SWT akan murka kepada hamba-Nya yang secara sengaja merampas hak orang lain. Sabda Rasulullah saw., “Siapapun yang mengambil hak orang Muslim dengan sumpahnya, Allah menentukan neraka bagi dirinya. Lalu mengharamkan surga bagi dirinya.” Ada lelaki yang bertanya kepada Nabi saw.: “Walaupun hal tersebut merupakan hal yang sangat sederhana, wahai Rasulullah?” Kemudian Nabi Muhammad saw. Menjawab, “Walaupun itu sebatang kayu syiwak dari pohon arak.” (HR Muslim).

Jelas, mengambil hak orang lain akan menjerumuskan seorang Muslim ke dalam neraka. Tentu sikap buruk ini haruslah ditinggalkan. Lalu, bagaimana menghindarkan anak dari sikap zalim ini? Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan Ayah-Bunda.

 

  1. Membangun takwa.

Perlu kiranya kita membangun ketakwaan anak  sejak dini, yakni menanamkan ketaatan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Aktivitas ini tidak dapat terbentuk secara instan. Sebabnya, apa yang harus ditaati untuk dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan mencakup semua hal (kaaffah) (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208).

Oleh karena itu penting memulai menanamkan konsep dan praktik takwa sejak dini. Sekalipun berbeda apa yang boleh dikerjakan dan tidak saat anak belum balig dan sesudah ia balig.

Mengenalkan sejak dini apa saja yang perlu dilakukan dan apa saja yang tidak boleh dikerjakan akan membuat anak senantiasa terpaut dengan Allah saat mengisi usianya. Beraktivitas sekaligus beribadah. Ayah-Bunda bisa  mengenalkan ‘perbuatan zalim’ sebagai sikap yang tidak boleh dilakukan. Mengapa? Karena dilarang Allah.  Karena itu menghindari semua itu adalah ‘ibadah’, perbuatan yang disukai Allah.

 

  1. Memahamkan standar baik-buruk.

Sangat penting memberikan pemahaman  kepada anak bahwa  standar baik dan buruk adalah halal-haram, yakni terikat dengan hukum syariah. Bisa jadi anak-anak kita menganggap bahwa setiap yang menyenangkan itu adalah baik. Sebaliknya, sesuatu yang menyusahkan itu adalah buruk. Padahal tidak demikian.

Baik dan buruk bukan berdasarkan apa yang dipikirkan atau yang dirasakan manusia, tetapi berdasarkan aturan Allah. Apapun  yang Allah halalkan, itulah yang baik. Sebaliknya, apapun yang Allah haramkan, itulah yang buruk. Dengan pemahaman seperti ini, harapannya ketika anak kita dewasa ia tetap teguh memegang hukum syariah sekalipun sulit dan berat. Bisa jadi ia berada dalam lingkungan yang terbiasa berlaku zalim, misalnya, tetapi hal tersebut tak akan menggoyahkan dirinya. Ia tetap tak mau mengambil apapun yang bukan haknya.

 

  1. Menasihati anak ketika anak bersikap zalim.

Sudah seharusnya Ayah-Bunda menasihati anak ketika anak berlaku zalim, baik kepafa saudaranya, temannya, atau bahkan kepada ayah-bundanya.  Sangat mungkin  anak marah saat dihalangi mengambil sesuatu yang bukan haknya. Misalnya, saat kita melarang dia merebut mainan temannya, atau mengambil kue milik adiknya. Kita perlu segera mengajak dia berbicara, mengingatkan dia, kemudian mengajak dia untuk meminta maaf kepada yang diambil haknya. Tentu saja itu semua dilakukan Ayah-Bunda dengan bahasa yang ahsan. Tidak memarahi dia, apalagi di depan orang lain. Itu akan menyakiti hatinya.

Tidak perlu berpanjang kata mengingatkan dia. Kita bisa mencari waktu yang lain untuk bisa berbincang lama berkaitan dengan sikapnya yang tidak baik tersebut. Kita bisa ajari dia tentang konsep kepemilikan dengan bahasa yang sangat sederhana, yang mudah dimengerti oleh anak. Misal, ketika Bunda memberikan mainan kepada kakak dan adik, ajarkan bahwa itu adalah milik masing-masing. Demikian juga ketika membagi kue atau minuman, maka perlu disampaikan kepada anak-anak bahwa ini adalah kue kakak, dan itu adalah kue adik. Ketika adik ingin mainan atau kue  punya kakak maka harus terlebih dulu meminta ijin kepada kakak. Demikian pula sebaliknya.

Jangan biarkan anak-anak mengambil dan memakan yang bukan miliknya kecuali dengan cara yang benar sesuai syariah. Misal, dengan meminta baik-baik kepada yang empunya, atau menunggu sang pemilik  memberi dia, atau menunggu ayah-bunda memberi dia, dst.

 

  1. Bersikap bijak ketika terjadi perselisihan.

Ayah-Bunda pun harus bersikap bijak ketika ada perselisihan di antara kakak-beradik  karena berebut sesuatu. Bisa jadi Ayah-Bunda sering meminta kakak yang terus mengalah. Lalu barang barang miliknya bisa jadi berpindah ke sang adik tanpa keridhaannya. Biasanya alasan AyahBunda, karena sang adik masih kecil sehingga belum mengerti sehingga kakak yang harus mengalah. Yang seperti ini bisa saja terus terjadi hingga anak-anak balig, bahkan dewasa.

Padahal tidak seharusnya demikian. Tidak selalu kakak harus mengalah. Ayah-Bunda juga harus berupaya memberikan pengertian kepada sang adik tentang siapa pemilik barang tersebut. Mengajak berpikir benar, sekalipun hal itu butuh proses, tidak bisa instan. Nah ini yang kadang terlupakan. Sangat mungkin ada ayah atau bunda yang ‘malas’ melakukan proses tersebut karena ingin semua masalah selesai dengan cepat. Tanpa perlu mengajak berpikir. Langsung dengan tindakan, barang kakak diserahkan kepada adik tanpa disadari kita telah ‘salah’ mendidik anak.

Ketika ada perselisihan antara kakak dan adik ketika berebut sesuatu, maka Ayah-Bunda harus memahami masalah dengan sebaik-baiknya. Ketika salah satu menangis, tidak selalu yang menangis yang benar dan yang tidak menangis yang bersalah. Bisa jadi justru yang menangis itulah yang merebut lebih dulu.

 

  1. Menjadi teladan bagi anak-anak.

Ayah-Bunda, anak adalah peniru yang ulung, dia akan mengikuti dan meniru semua hal yang ada di sekitarnya. Anak akan meniru semua yang dilakukan orangtuanya, baik itu ucapan, perilaku, maupun kebiasaan kedua orangtuanya. Masa-masa emas perkembangan anak antaa usia 0-3 tahun adalah masa anak akan dengan cepat merespon dan meniru apa yang dia lihat dan apa didengarnya.  Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama dan yang paling utama dalam mencetak perilaku dan karakter anak. Karena itu, Ayah-Bunda harus menjadi teladan bagi anak-anak. Misalnya,  saat ayah bunda akan memakai barang milik anak-anak, tentu juga harus dengan keridhaannya, dengan meminta ijin kepada dia, bukan dengan mengambil begitu saja.

 

Penutup

Demikianlah beberapa hal yang bisa kita lakukan. Tak hanya memahamkan anak. Kita juga harus terus mengawal proses pengajaran ini hingga anak anak pun terbiasa menjauhi sikap zalim, yakni mengambil yang bukan haknya. Tentu saja proses ini tidak  hanya  dilakukan  oleh orangtua, tetapi juga perlu melibatkan orang-orang yang ada di sekitar kita seperti  tetangga, keluarga besar seperti kakek, nenek, atau kerabat lainnya. Kemudian juga guru di sekolah dan yang lainnya.

Jangan lupa untuk terus menengadahkan tangan, mendoakan mereka, semoga mereka menjadi anak anak yang shalih dan shalihah. Semoga  mereka dijauhkan dari sikap  yang buruk dan dimudahkan dalam  menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.  Aamiin.

WallLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Wiwing Noeraini]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi