Kapitalisme Merampas Ruang Hidup Perempuan

Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 212 konflik agraria yang terjadi di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah konflik itu bertambah 2,36% dibandingkan dengan tahun lalu (year-on-year/yoy) yang totalnya 207 kasus. Konflik melibatkan lahan seluas 1,03 juta hektare (ha) serta berdampak pada 346.402 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 459 desa/kota.[1]

Kenaikan signifikan juga terjadi pada korban terdampak, yakni  198.859 KK di tahun 2021 menjadi 346.402 KK. Situasi ini menandakan  bahwa konflik agraria semakin menyasar area-area pemukiman masyarakat, wilayah padat penduduk dan wilayah yang telah dikuasai, digarap dan dikelola oleh masyarakat.

Terampasnya tanah atau lahan masyarakat sudah pasti akan berpengaruh pada kehidupan  keluarga, terutama perempuan. Sebabnya, perempuan punya ikatan yang kuat dengan rumah, lingkungan dan masyarakatnya.

Tanah  bagi perempuan bukan saja tempat rumah berdiri, tetapi sekaligus tempat mencari nafkah hidup  dari berjualan, bertani, berkebun, bahkan mengambil langsung dari hutan berupa bahan makanan,  obat-obatan,  juga ikan dan hewan buruan. Tanah juga tempat perempuan bersosialisasi, membangun budaya dan menjalankan aktivitas keagamaan  bersama warga masyarakat di desa dan kampungnya. Tanah adalah ruang hidup bagai perempuan.

Perampasan tanah hingga mengusir puluhan desa akan dirasakan sebagai persoalan hidup dan mati. Karena itu ia layak mendapatkan pembelaan dan perlawanan. Ada kasus relokasi warga pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, imbas proyek strategis nasional (PSN)  Rempang Eco city. Ada kasus proyek pertambangan batu andesit di desa  Wadas di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Keduanya berujung pada letusan  konflik. Bentrok warga dengan aparat, perempuan telah menjadi bagian dari perlawanan membela hak atas tanah mereka.

Bahkan di berbagai kasus, konflik agraria dan perampasan tanah, perempuan tidak hanya kehilangan sumber mata pencaharian, namun juga menjadi korban kekerasan dan penganiayaan.

Catatan KPA dari tahun 2017-2020 menunjukkan sebanyak 25 perempuan mengalami kriminalisasi dan 78 orang mengalami kekerasan saat mempertahankan tanah mereka dari penggusuran dan perampasan oleh perusahaan swasta dan negara. Pada tahun 2021, sejumlah 25 perempuan dikriminalisasi dan 7 dianiaya.

Dampak konflik agraria dan perampasan ruang hidup juga di rasakan oleh banyak perempuan di negeri ini. Pasalnya, penguasaan lahan yang sangat luas telah mengubah bentang alam. Beralihnya fungsi hutan mengakibatkan bencana ekologis  berupa bencana  hidrometeorogi dan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di semua daerah di Indonesia. Ruang hidup semakin terasa sempit dan menyusahkan  akibat kezaliman yang mengatasnamakan ‘pembangunan’.

 

Atas Nama Pembangunan

“Jika bapak ibu sekalian ada yang memerlukan lahan dengan jumlah yang sangat besar silakan sampaikan kepada saya, akan saya carikan, akan saya siapkan. Berapa? Sepuluh ribu hektar, bukan meter persegi, hektar, lima puluh ribu hektar? Tapi dengan sebuah hitung-hitungan proposal yang visible, artinya ada feasibility study yang jelas akan digunakan apa lahan itu…. Akan saya berikan… karena saya punya bahan…”

Demikian pernyataan Presiden Jokowi, dalam  Kongres Ekonomi Umat 2 MUI. Apa yang diucapkan Presiden pertanda komitmen Negara untuk memberikan tanah pada pengusaha besar asal ada feasibility study (studi analitis yang mengukur dan mengevaluasi kelayakan proyek).

Masih  atas nama pembangunan, Pemerintah membutuhkan masuknya investasi untuk menggerakkan perekonomian.  Lahirlah UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 (UUCK). Ada juga aturan Pemerintah yang memudahkan investasi, tetapi memicu konflik agraria dan perampasan ruang hidup lebih luas. Di antaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Kewenangan khusus Bank Tanah  untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka peningkatan ekonomi dan investasi.

Ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Aturan ini memuat, penegasan tanah yang belum bersertifikat sebagai tanah negara.

Aturan lainnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang  Penyelenggaraan Kehutanan. Berisi  Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan untuk PSN, food estate, ketahanan energi. Pada praktiknya aturan ini menjadikan negara ugal-ugalan untuk melakukan penggusuran atas nama prosek PSN dan food state. Masih ada beberapa aturan lain.

 

Negara Menjadi Pelayan Korporasi

Ambisi mendapatkan investasi telah menjadikan Pemerintah menjadi pelayan bagi pemodal dan mengabaikan rakyat. Pembelaan Negara pada korporasi adalah watak dasar dari  negara pembebek Kapitalisme. Indonesia tidak berjalan sendiri, melainkan bersama Bank Dunia. Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia telah menyetujui Kerangka Kerja Kemitraan (Country Partnership Framework/CPF) dengan Indonesia yang baru untuk periode 2021-2025. Tujuannya agar terjadi pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif di masa datang. [2]

CPF dirancang  sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), berfokus pada empat bidang kerja sama, yakni  memperkuat daya saing dan ketahanan perekonomian, meningkatkan infrastruktur, mengembangkan modal manusia, dan mendukung pengelolaan aset-aset alam, sumber mata pencaharian berbasis sumber daya alam, dan ketahanan terhadap bencana.

Kerangka kerjasama ini mendorong  ekonomi Indonesia  bertumpu pada industri ekstraktif. Investasi di sektor industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan semisal sawit naik pesat, tetapi berkorelasi pada konflik agraria dan perampasan ruang hidup. Terbukti, dari Catatan Tahunan KPA 2022, Konflik agraria  paling banyak terjadi di sektor perkebunan, yakni 99 kasus, dengan luas wilayah konfllik 377,19 ribu ha dan korban terdampak 141.001 KK. Lalu kasus agraria yang terjadi di sektor pertambangan (21 kasus).

Desain pembangunan ekonomi kapitalis telah berkelindan dengan penguasa  yang diijon oleh para pengusaha. Hal ini tampak dari kebijakan hilirisasi tambang. Pengusaha ini mendikte Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka. Inilah oligarki.

Oligarki muncul ketika Negara tidak lagi menjadi pelayan bagi rakyat. Negara sekadar menjadi regulator bahkan operator. Di situlah  tumbuh subur praktik oligarki. Sebuah jurnal politik berjudul, “Politik Oligarki dan Perampasan Tanah di Indonesia: Kasus Perampasan Tanah di Kabupaten Karawang Tahun 2014,” ditulis oleh Dicky Dwi AnantaInstitut -Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inskripena) membuktikan hal dimaksud.[3]

Penelitian tersebut menyebutkan bahwa perubahan rezim di Indonesia paska reformasi yang disebut lebih demokratis telah memunculkan  perampasan tanah oleh korporasi melalui agenda pembangunan ekonomi. Sayangnya, praktik ini semakin parah  saat ini.

 

Islam Menjamin Ruang Hidup Bagi Perempuan

Kapitalisme telah membawa kesengsaraan dan bahaya bagi perempuan di negeri ini. Paradigma ekonomi dan politik demokrasi telah berkelindan memunculkan kebijakan perampasan tanah dan perampasan ruang hidup perempuan. Nasib perempuan semakin menderita karena hilangnya rumah, tanah, lahan penghidupan mereka bahkan tempat tinggal yang nyaman. Kebijakan kapitalistik telah mengusik hingga tempat tinggal perempuan.

Berbeda dengan Islam. Dalam Islam perempuan dipandang sebagai kemuliaan yang harus dijaga. Allah SWT memuliakan wanita dengan memberi peran sebagai sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (umm[un] wa rabat al-bayt) yang bertanggung jawab mengatur rumah tangganya di bawah kepemimpinan suami. Rasulullah saw. juga bersabda, “Wanita (istri) adalah penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Tugas mulia menjadi ibu dan pengatur rumah tangga sangat erat dengan rumah dan ruang hidupnya. Realitas perampasan ruang hidup akan langsung berpengaruh bagi terwujudnya tugas-tugas keibuan dan sebagai istri tentunya.

Islam, dengan paradigma memuliakan perempuan, mewajibkan Negara mewujudkan tuntutan rumah dan ruang hidup yang aman dan nyaman. Aman karena rumah punya fungsi berlindung dari sebagal marabahaya yang datang dari luar rumah. Dalam konteks domestik, rumah adalah ruang untuk menjalankan fungsi keibuan dan pengaturan rumah tangga.

Di sinilah rumah keluarga Muslim yang ideal adalah rumah yang luas, karena ada konsep aurat, pemisahan tidur antara anak-anak dengan orangtua, pemisahan tempat tidur di antara  anak-anak, zona menerima tamu yang terpisah dengan aktivitas  khasnya perempuan. Dalam bayangan ideal, rumah keluarga Muslim membutuhkan tempat yang cukup bagi anggota keluarga untuk memilihi privasi-alias luas.

Berbicara tentang rumah sebagai tempat berlindung dari bahaya semisal bencana, maka butuh lingkungan perumahan yang jauh dari bencana, baik banjir, longsor, asab, bahkan dari limbah berbahaya dari aktivitas industri. Semua tuntutan ini wajib dipenuhi oleh Negara dengan mekanisme yang sejalan dengan politik ekonomi Islam.

Paradigma kepemimpinan sebagai pengurus (raa’in) dan pelindung (junnah) akan sekuat tenaga mewujudkan tuntutan ruang hidup yang melindungi dan memuliakan perempuan. Penerjemahan keinginan politik ini akan tertuang dalam politik penggunaan lahan. Aturan tata ruang yang menjadi aturan teknis tentu harus tunduk pada paradigma kepemilikan lahan dan hukum pertanahan.  Dengan begitu tidak ada saling serobot tanah yang berujung pada konflik dan perampasan ruang hidup. Bahkan Negara harus menegakkan konsep kepemilikan tanah dan menghukum siapapun yang mengambil tanah yang bukan miliknya.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan menghimpit dia dengan tujuh lapis tanah (bumi).” (HR Muslim).

Maka dari itu, penguasa akan mengelola lahan dengan membangun tata ruang wilayah sesuai kebutuhan kehidupan rakyat, sebagai berikut:

Pertama, lahan untuk pemukiman  sesuai dengan kebutuhan kehidupan Islam.

Kedua, lahan untuk infrastruktur dan sarana layanan publik. Ini dibutuhkan dalam mewujudkan jaminan kebutuhan dasar berupa layanan publik dan infrastruktur dasar.

Ketiga, lahan untuk pengembangan aktivitas eknomi seperti pertanian (di dalamnya termasuk perkebunan), industri (termasuk di dalamnya pertambangan), jasa dan perdagangan  yang membutuhkan  area komersial.

Keempat, lahan untuk daya dukung ekologi sebagai bagian mitigasi bencana, dan daya dukung lingkungan guna menjaga sumber air dan udara bersih dan juga putaran angin yang aman.

Semua ini adalah bagian dari kehidupan Islam di bawah penerapan sistem Islam: Khilafah.

WalLaahu a’lam. [Fatma Sunardi]

 

Catatan kaki:

[1]      https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/11/06/ada-212-konflik-agraria-pada-2022-terbanyak-di-sektor-perkebunan

 

[2]      https://ekonomi.bisnis.com/read/20210517/9/1394404/kemitraan-ri-dan-bank-dunia-5-tahun-ke-depan-fokus-tangani-pemulihan-pascapandemi

 

[3]      https://scholarhub.ui.ac.id/politik/vol2/iss1/1?utm_source=scholarhub.ui.ac.id%2Fpolitik%2Fvol2%2Fiss1 %2F1&utm_medium=PDF&utm_campaign=PDFCoverPages

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi