Empat Keadaan Wanita Bisa Merasa Aman

Oleh. Ustaz Iwan Januar

Kaum perempuan sepertinya sulit menemukan keadaan aman. Hantu kekerasan fisik dan kekerasan seksual masih menempel pada kaum Hawa. Kasus yang sedang trending adalah mahasiswi kampus negeri yang nekat mengakhiri hidup kabarnya jadi korban kekerasan seksual kekasihnya yang anggota kepolisian. Korban juga juga dipaksa menggugurkan kandungannya sampai dua kali.

Sebagai bukti Indonesia tidak ramah untuk perempuan adalah tak kunjung turunnya angka kekerasan dan kekerasan seksual yang menimpa mereka. Di tahun 2019, Komnas Perempuan pernah melansir temuan bahwa setiap hari tidak kurang 8 perempuan Indonesia jadi korban pemerkosaan. Angka yang mengerikan.

Dari laman catatan tahunan 2020 Komnas Perempuan dilaporkan ada 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan. Bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%).

Adapun di ranah Publik atau Komunitas kasus paling menonjol juga sama kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari dari kekerasan seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan 10 kasus.

Sementara itu di tahun 2021, data Komnas Perempuan melaporkan terdapat 4.000 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sejak Januari hingga September 2021.

Pelecehan seksual dan pemerkosaan bisa dilakukan siapa saja; orang umum, dosen, guru besar, aparat, anggota keluarga, bahkan tokoh agama seperti pendeta dan ustaz.

Ada beberapa sebab sulitnya kaum perempuan mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual dan pembelaan ketika menjadi korban. Faktor penyebab itu sebenarnya berpulang pada dua hal; tak ada tindakan preventif dan kuratif yang efektif.

Dalam hal preventif, hari ini kehidupan pria wanita membaur tanpa batas, bahkan ada peluang seperti berduaan di kantor, kelas, angkutan umum. Begitu pula banyak perempuan merasa ‘aman’ bila berduaan dengan lelaki karena itu adalah pacarnya, kawannya, atasannya, atau dosennya atau tokoh agama. Padahal dalam kondisi seperti itu –berduaan– mudah saja bagi lelaki melakukan tindakan kejahatan seksual. Baik dengan cara mengintimidasi, ada juga yang menyuguhkan minuman keras atau obat bius pada korban sebelum kemudian diperkosa.

Soal kuratif, sampai detik ini tak ada hukum yang memberi efek jera pada para pelaku. Bahkan, sulit menyeret pelaku ke pengadilan terutama bila mereka adalah punya jabatan dan kekuasaan. Selanjutnya, bila dibawa ke ranah hukum, tidak mudah kaum perempuan mendapatkan pembelaan. Untuk kasus pemerkosaan mungkin bisa dilakukan visum, tapi sulit dilakukan untuk pelecehan seksual. Apalagi bila terjadi di ruang privat, atau ruang tertutup.

Sebenarnya, Islam sudah memiliki solusi yang komprehensif untuk melindungi kaum perempuan. Sekurang-kurangnya Islam menciptakan empat kondisi dimana kaum wanita benar-benar bisa merasa aman dari predator seksual. Tapi sekali lagi, ini hanya bisa terwujud bila syariat Islam diterapkan secara kafah, bukan sekedar tambal sulam sebagai undang-undang yang diberlakukan dalam kehidupan hari ini yang sudah liberal dan permisif.

Pertama, Islam membangun mindset yang benar tentang hubungan pria-wanita. Relasi di antara mereka haruslah untuk saling tolong menolong dalam ketakwaan. Kaum pria dibentuk cara pandang terhadap perempuan sebagai sosok yang harus dihargai dan dilindungi, bukan sebagai objek seksual yang boleh dieksploitasi seperti mindset lelaki dalam masyarakat liberalisme.

Hari ini perempuan sering jadi korban kekerasan dan pelecehan seksual, karena di mana pun, nilai yang mengatur sistem sosial adalah liberalisme, serba bebas. Orientasi hubungan pria-wanita yang paling kuat akhirnya adalah seputar seksualitas dengan perempuan sebagai objek yang dieksploitasi.

Lihat saja bagaimana pornografi menjadi industri dan bertebaran di mana-mana.

Dalam masyarakat liberal seperti ini, banyak juga wanita yang sengaja mengekploitasi dirinya, untuk cari popularitas, uang atau kesenangan pribadi atas dasar consent/persetujuan dan kebebasan. Tanpa sadar, perbuatan mereka memperburuk perlakuan kaum pria terhadap perempuan. Para lelaki kian menempatkan perempuan sebagai objek, bukan mitra sejajar untuk saling tolong menolong.

Kedua, Islam menutup rapat-rapat celah terjadinya tindak pelecehan seksual. Ubah orientasi pria terhadap wanita tak ada artinya bila peluang kejahatan seksual tetap ada. Bagaimana pun, manusia adalah mahluk yang dinamis, sikapnya bisa berubah. Karenanya Islam dalam Islam ada kewajiban menutup aurat, menjaga pandangan, juga larangan berkhalwat.

Nabi saw. mengingatkan besarnya bahaya perangkap setan yang menelusup masuk dengan halus pada manusia:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

“Sesungguhnya setan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah.” (HR Muttafaq alayh)

Ketiga, Islam memerintahkan umat untuk senantiasa melakukan kontrol sosial terhadap perilaku asusila. Umat akan diminta mencegah terjadinya khalwat seperti di kampus, di kantor, di kos-kosan, dsb. Bila sudah mengarah pada kemungkaran, wajib dilakukan pencegahan. Beda dengan masyarakat liberal, dimana hal orang lain termasuk masyarakat tidak boleh ikut campur dalam urusan privat, termasuk dalam soal relasi pria-wanita. Sementara dalam Islam ada perintah tegas untuk mengubah kemungkaran. Nabi bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ

“Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)

Keempat, Islam memberlakukan sanksi tegas pada pelaku tindakan asusila, apalagi pemerkosaan. Selain akan mewajibkan menutup aurat bagi pria dan wanita, melarang khalwat, dalam syariat ada sanksi bagi pelaku kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Ada sanksi jilid seratus kali bagi pemerkosa yang belum menikah (ghayr muhson), dan sanksi rajam sampai mati bagi pemerkosa yang telah menikah (muhson).

Sanksi bagi pelaku bisa ditambah tergantung tindakan mereka pada korban. Bila mereka menculik korban, mencekoki dengan miras, memberikan obat bius, atau melakukan tindak kekerasan seperti memukul atau menyiksa, merampas harta korban, apalagi kemudian membunuh korban, maka masing-masing tindakan itu ada sanksi (uqubat) yang diberikan. Sanksi yang tidak ditetapkan dalam nas, maka diberlakukan sanksi jenis ta’zir berdasarkan pendapat hakim di pengadilan.

Demikianlah. Kaum wanita benar-benar akan aman bila empat kondisi ini diberlakukan. Semua hanya ada dalam syariat Islam. Dan, syariat Islam hanya bisa diberlakukan oleh institusi Khilafah. Mengharapkan wanita aman dalam sistem liberal, dengan berbagai aturan tambal sulam, ibarat menegakkan benang basah. Berat bahkan bisa jadi mustahil.

Sumber: web iwanjanuarcom

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi