Oleh. Ustaz Adi Victoria
Seorang isteri memang tidak harus tahu berapa penghasilan si suami, namun yang terpenting si suami menunaikan kewajibannya memberikan nafkahnya kepada isterinya. Terlebih jika ia tahu bahwa penghasilan si suami memang didapatkan dari pekerjaan yang halal.
Berbeda kalau si isteri merasa ada indikasi penghasilan si suami didapatkan bukan dengan cara yang halal, maka si isteri bisa saja bertanya berapa penghasilan si suami, untuk memastikan bahwa sumbernya adalah benar halal.
Ibnul Jauzi berkata:
ومن الغلط إطلاع الزوجة على قدر المال
فإنه إن كان قليلا، هان عندها الزوج
وإن كان كثيرا، طلبت زيادة الكسوة والحلي
“Termasuk kesalahan kalau memberitahu istri tentang nominal harta, karena jika hartanya sedikit maka wibawa suami jatuh. Dan kalau banyak, istri akan meminta pakaian yang mewah dan perhiasan”. (Shoidhul Khothir hlm. 492).
Di zaman dengan sistem kapitalisme ini memang kehidupan begitu sulit. Budaya hidup yang hedonistik dari Barat menjadi kiblat di negeri yang sekuler.
Terlebih rakyat dibiarkan untuk memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya. Padahal ada kewajiban negara kepada rakyatnya terkait tiga pemenuhan kebutuhan dasar yang bersifat publik, yakni :
1. Kesehatan
2. Pendidikan
3. Keamanan
Jika tiga kebutuhan tersebut di atas dipenuhi oleh negara, maka rakyat, khususnya para suami tidak terlalu pusing lagi untuk memikirkan biaya terkait masalah kesehatan dan pendidikan.
Bahkan soal listrik dan air pun harusnya didapatkan oleh rakyat dengan gratis atau murah, karena dua hal tersebut adalah asalnya milik umat, yang dikelola oleh negara, bukan dimiliki oleh negara.
Karena dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya yang diperlukan oleh masyarakat. Sebabnya, fungsi negara/pemerintah adalah mengurus segala urusan dan kepentingan rakyatnya. Dalilnya adalah sabda Rasul صلى الله عليه و سلم :
فَاْلإِماَمُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR Al-Bukhari).
Dan hal tersebut di atas, khususnya tentang pelayanan kesehatan, dipraktikan oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم dan pemimpin selanjutnya setelah beliau.
Sebagai kepala negara Islam, Rasulullah صلى الله عليه و سلم pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat Nabi صلى الله عليه و سلم mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim).
Artinya, Rasulullah صلى الله عليه و سلم yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).
Diriwayatkan pula bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Lalu mereka jatuh sakit di Madinah. Rasulullah صلى الله عليه و سلم selaku kepala negara saat itu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola oleh baitulmal di dekat Quba’. Mereka dibolehkan minum air susunya sampai sembuh (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Hal tersebut juga dilakukan oleh Umar bin Khattab saat menjadi khalifah. Dituturkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata, “Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin Al-Khaththab. Lalu Khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku.” (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, IV/7464).
Artinya, Khalifah Umar selaku kepala Negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, 2/143).
Wallahu a’lam bisshowab.