Seluas Hati Ummi

Part #3

Bukan Dermaga

Hawa dingin menusuk tulang dirasakan siapa saja yang tak terbiasa dengan kota dingin ini. Asap mengepul di sela-sela obrolan pengunjung dan pegawai rumah sakit. Hampir semua kursi penunggu pasien diduduki orang-orang berjaket tebal. Tangan bersedekap menahan rasa dingin yang berhamburan.

Ummi meluruskan kedua kakinya yang terasa pegal. Seribu delapan ratus detik dia berdiri di depan loket menunggu keabsahan berkas dan nomor antrean. Tak hanya berdiri, ummi hatus mondar-mandir memenuhi panggilan Mbah yang tak berdaya. Mbah merasa di ambang sabar. Dia merasa percuma kemo karena rasa sakit itu kian menjalar dan meremukkan semua persendiannya.

Namun, ummi terus memotivasi mbah agar bersemangat. Ummi membesarkan hati mbah tiada henti. Nasihat ummi, “Meski sakit harus ditaha, Mbak. Semoga ikhtiar ini berbuah pahala dan rasa sakit itu menghapus dosa-dosa yang telah lalu.”

Proses administrasi yang melelahkan, menguras tenaga dan emosi jiwa tak lantas membuat ummi putus asa. Ketelatenannya didedikasikan untuk membaktikan diri pada suami dengan membantunya merawat sang mertua, ibu dari madunya. Jangan tanya soal luka pada ummi. Luka itu mengering dengan cepat.

Ummi yang menerima penolakan luar biasa dari madunya, kini ia hadir menjadi malaikat penolong bagi mbah. Meski dulu tak ada uluran tangan saat ummi merawat ibu kandungnya yang sakit, bahkan tak ada tanda-tanda kehadirannya saat wafat, ummi tetap meluaskan hati menolong mbah. Niat lillah dan motivasi diri agar suami tercinta tidak zalim pada mertua menjadi penguat ummi.

Proses administrasi yang melelahkan, menguras tenaga dan emosi jiwa tak lantas membuat ummi putus asa. Ketelatenannya didedikasikan untuk membaktikan diri pada suami dengan membantunya merawat sang mertua, ibu dari madunya. Jangan tanya soal luka pada ummi. Luka itu mengering dengan cepat.

Ummi yang menerima penolakan luar biasa dari madunya, kini ia hadir menjadi malaikat penolong bagi mbah. Meski dulu tak ada uluran tangan saat ummi merawat ibu kandungnya yang sakit, bahkan tak ada tanda-tanda kehadirannya saat wafat, ummi tetap meluaskan hati menolong mbah. Niat lillah dan motivasi diri agar suami tercinta tidak zalim pada mertua menjadi penguat ummi.

Ummi memang bukan dermaga yang bisa disandari kapal-kapal besar dengan beban berat, tetapi hati ummi amat luas yang bisa menampung beban hidup yang berat. Sebagai manusia biasa, ummi juga pernah merasakan sempit dan lemah. Namun, dia terus menikmati dan menjalani tiap proses kehidupan yang pahit.

Meski awalnya agak sulit menyesuaikan diri dengan hadirnya orang ketiga dalam pernikahan. Ummi terus berjuang untuk menjadi istri juara di hati suaminya. Meski tudingan miring sempat menimpa rumah tangganya, keretakan itu tak terjadi karena ia terus bersandar pada Sang Pemilik hati.

Matahari sudah mulai condong ke barat. Nomor antrean sudah terurai panjang. Setelah dua pasien lagi, mbah akan menjalani pemeriksaan. Ummi menemani dan melayani mbah dengan sabar. Permintaan ini itu dipenuhi. Ummi tak peduli dengan opini sumbang dari putra putri si mbah.

Ummi memang bukan dermaga untuk berlabuhnya kapal. Namun, luasnya hati ummi terus menjadi pelabuhan tiap episode dua rumah tangga yang dibangun suaminya. Ummi terus meluaskan syukur dan sabar agar tak terperosok pada kubangan perasaan yang ditunggangi setan. Dia tetap bersedia mengantar mbah ke Malang meski ada penolakan dari keluarga mbah.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi