Seluas Hati Ummi Part #2; Dikara

Oleh. Afiyah Rasyad

Kesibukan poli penyakit dalam seakan enggan surut. Pasien datang silih berganti. Daftar antrean Ummi masih panjang padahal sudah 3600 menit dilalui. Rasa lapar dan lelah mulai berparade. Beberapa penjaja kue dan nasi bungkus datang menawarkan dagangannya dengan sopan dan suara pelan. Beberapa bekal yang dibawa Ummi dari rumah sudah kandas.

Tak ada pilihan lain, Ummi membeli nasi dan jajanan untuk memenuhi rasa lapar. Tampak olehnya, Dita sedang menyiapkan makan siang juga. Ada rona keceriaan dalam tiap gerak-gerik Dita yang lincah menyuapi ibundanya. Suapan demi suapan tampak seperti seorang ibu menyuapi bayi yang lucu. Canda tawa renyah Dita mengirim sinyal haru bagi Ummi. Sementara, kebahagiaan ibu dan anak itu seakan menjadi duri dalam hati si Mbah.

Ummi menangkap raut kesedihan yang mendalam pada diri si Mbah. Ia menyadari, betapa pun ia menghibur Mbah, tentu hal itu tak akan pernah sepadan dengan apa yang dilakukan Dita. Sebab, Ummi sadar posisinya. Omelan si Mbah kembali berdansa di tengah suapan Ummi. Si Mbah memang enggan berobat. Namun, Ummi tetap memotivasi dan melayani dengan kesabaran ekstra. Apalagi si Mbah “angel dikandani.”

Usai makan siang dan shalat, Ummi melihat pesan di gawainya. Aplikasi dengan logo gagang telepon dan berlatar hijau menuntutnya untuk mengintip dan membalas pesan yang urgen. Dia termangu saat kedua netranya terikat pada pesan singkat.

“Bagaimana ibu?”

Tanpa salam dan tanpa embel-embel panggilan. Memori Ummi kembali berkelana pada dua puluh tahun silam. Saat ia merasakan manisnya kehidupan, tiba-tiba ia harus menapaki qadha yang tak terbayangkan. Saat di mana segala rasa bercampur dan segala tanya juga berhambur, ia hanya memilih diam dan mengabulkan proposal suaminya untuk ta’adud. Ummi belajar memasrahkan seluruh hidupnya pada ketetapan yang telah tergariskan.

Lewat MC (mak comblang), Ummi tahu latar belakang calon madunya. Dia pun tahu apa motivasi suaminya untuk menikah lagi. Meski saat itu luruh jiwanya, tetapi akal dan pemahaman masih menuntunnya pada sandaran yang sempurna, syariat Islam yang bertabur dikara. Ummi kembali memahami kemubahan poligami. Ia tak bisa memberikan hujjan apa pun untuk menjagali suami yang dicintaninya untuk menikah lagi. Bersandar pada syariat Islam, dengan lafadz basmalah, Ummi merestui keinginan suami tercinta.

Iringan pengantin pria disambut suka cita pihak keluarga. Kehadiran Ummi saat itu juga tak ada persoalan. Napas lega Ummi mengangkasa atas penerimaan di muka. Ummi sadar, ijab qobul yang dilangitkan suaminya sempat membuat hatinya terguncang. Namun, tak setetes pun air mata menyeruak keluar. Segala rasa mengendap dalam diam.

Harapan Ummi tak muluk. Ia berharap, dengan suaminya ta’adud, kereta dakwah semakin kokoh dan kencang melaju. Ia berharap dikara terhias dalam bahtera rumah tangga mereka. Dikara karena tiap anggota keluarga berbalut takwa. Namun, seiring berjalannya waktu, apa yang diidamkan Ummi tak berbuah nyata. Tak ada persengketaan berarti, tak ada perselisihan terjadi, hubungannya dengan matsna dan suami mulai berjarak.

Perih hati Ummi tiada terkira. Tangisan tanpa suara menemani malam panjangnya. Dia sadar, dirinya bukanlah malaikat yang tak akan merasakan sakit hati. Di tengah kepiluan yang menyapa, ujian putra sulung juga harus dihadapinya.

Kesiapan Ummi untuk ta’adud harus mengahadapi ujiannya. Dalam sedih, ia pun terus pasrah pada Sang Pemilik nyawa dan cinta. Kesadaran akan hubungannya dengan Allah dan segala yang dimilikinya adalah amanah, maka kesedihan dan kepiluannya segera mereda. Ummi menyadari bahwa ia harus menghadapi ujian tersebut dan menikmatinya.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi