Seluas Hati Ummi Part #1

Kota Dingin
Oleh. Afiyah Rasyad

Ributnya angin menyambut Expander putih di depan ruang lobi rumah sakit Saiful Anwar. Bangunan kokoh menyapa para penumpang dengan menawarkan aroma harapan sekaligus kegetiran yang berpadu. Bukan pertama kali Ummi menginjakkan kaki di kota itu, sudah sering karena berbagai acara, termasuk rihlah bersama para siswa dan putra putrinya. Namun, kali ini berbeda. Sepasang kaki Ummi terlebih dulu menapak bumi, sementara tangannya sibuk membantu dan memapah si Mbah turun dan menaiki kursi roda.

Gedung rumah sakit yang menjulang menyambut pasien dan keluarganya. Kesibukan khas rumah sakit begitu nyata. Hilir mudik pasien rawat jalan amatlah banyak. Belum lagi suara sirine ambulan secara berkala ditangkap alat pendengaran Ummi. Tampak olehnya, teras IGD juga dipadati keluarga pasien. Pemandangan ini tak asing bagi Ummi yang beberapa bulan telah mengantar si Mbah ke rumah sakit di wilayahnya.

Kesabaran dan tenang menghias wajah lembut i Ummi. Sementara, suaminya bergegas ke loket pendaftaran untuk mendaftarkan si Mbah menuju poli tujuan. Sedangkan Ummi dengan telaten menemani dan menguatkan si Mbah yang mulai rewel karena enggan berobat. Di masa senjanya, penyakit ganas bersarang di tubuh rentanya. Namun, si Mbah yang tak ingin merepotkan keluarga menahan rasa sakit itu selama ini.

Ummi terus bersabar dan menasihati Mbah agar mau mengikuti prosedur pengobatan sebagai bentuk ikhtiar menjaga kesehatan. Si Mbah memang sedikit ngedumel lantaran proses administrasi yang lumayan blibet dan panjang. Ummi mencoba menjelaskan betapa banyak yang diurusi rumah sakit, betapa banyak pasien dari berbagai wilayah. Semua butuh pelayanan yang profesional.

Di ruang itu, memang banyak pasien rawat jalan dan para pengantar yang antre dan berlalu lalang. Pemandangan itu berdansa di pelupuk netra Ummi dan membuatnya terus melangitkan rasa syukur pada Allah. Betapa nikmat sehat itu amatlah berharga dan harus dijaga. Di ruang tunggu poli pun, bukan si Mbah satu-satunya pasien yang ada, tetapi banyak yang sedang antre, mulai bayi hingga lansia seperti si Mbah. Pemandangan yang terus mencambuk jiwa Ummi untuk senantiasa bersyukur atas anugerah hidup dan bersabar dalam menghadapi si Mbah.

Ummi yang supel dan ramah, terlihat asik mengobrol dengan sesama pengantar pasien. Tentu, Ummi sambil menemani dan melayani permintaan si Mbah meskipun terdengar tak masuk akal. Ummi dan teman barunya itu sama-sama klik dalam suasana obrolan karena memang sama-sama merawat orang tua yang tersuspect kanker serviks. Dari Mbak Dita, teman barunya, Ummi banyak belajar. Delapan tahun perjalanan bukanlah waktu yang singkat, Ummi merasa belum apa-apa dalam merawat si Mbah yang baru beberapa bulan ini riwa-riwi di rumah sakit, baik di kampung halaman maupun di kota dingin ini.

“Mi, si Mbah ini ibunya Ummi atau mertua?” tanya Dita setelah obrolan panjangnya.

Ummi tak langsung menjawab. Tampak manik teduh itu memandang si Mbah yang sedang sibuk menyuapkan kacang atom kesukaan ke mulutnya. Rasa kelu untuk menjawab menyergap rongga dada. Namun, Ummi tak ingin mengabaikan pertanyaan Dita.

“Bukan keduanya, Mbak,” jawab Ummi dengan sangat lembut dan ukiran senyum agar si Mbah tak mendengarnya.

Dita merasa heran dengan jawaban teman barunya itu. Dia hendak menanyakan lebih jauh, tetapi dia lebih memilih diam. Dia khawatir akan menyinggung perasaan si Mbah. Dita memilih jeda untuk beberapa waktu. Apalagi ibunya sudah bangun, jadi dia terlihat sibuk merawat ibunya yang menginginkan sesuatu dengan penuh perhatian.

Pemandangan itu juga tak luput dari pengawasan Ummi. Dari Dita, Ummi pun belajar ihwal merawat pasien kanker serviks yang kondisinya lebih parah. Delapan tahun menurut Ummi adalah waktu yang angat panjang. Jika ia melahirkan seorang anak, tentu anak itu di usia 8 tahun sudah memuayyiz, dan sedang menuju mukallaf.

Bakti Ummi pada suaminya sangatlah murni. Si Mbah memang bukan ibu kandungnya, bukan pula ibu angkat, ataupun mertuanya, tetapi mertua suaminya dari istri kedua. Ummi berjibaku merawat si Mbah karena konsekuensi keimanan pada Sang Pencipta dan Pemilik nyawa. Dia tidak mau suaminya zalim jika membiarkan si Mbah dirawat ala kadarnya. Sebagai bentuk bakti itu, ia pun mengajukan diri untuk mendampingi Mbah berobat.

Ummi adalah seorang perempuan yang lembut hatinya. Dia merawat si Mbah bukan ingin merebut perhatian wanita yang melahirkan madunya ataupun ingin mengendalikan suaminya. Namun, dia lakukan semata konsekuensi keimanan. Dia tak ingin Mbah hanya di rumah dengan perut membesar dan merembes darah dari perut itu. Dia pun tak ingin suaminya zalim karena menuruti kemauan si Mbah yang tak mau berobat.

Ummi tahu betul konsekuensi merawat si Mbah. Panjangnya perjalanan dalam mengobatinya akan dia lakukan. Statement dan komentar pun akan siap dia terima. Apa pun itu. Baginya, ikhtiar berobat bagi seorang yang sakit adalah sebuah keharusan. Suaminya adalah menantu si Mbah. Artinya, suaminya juga anak si Mbah. Dia mengambil peran sebagai madunya bukan untuk menyingkirkannya. Namun, lebih pada rasa kemanausiaan dan baktinya pada suami.

Rasa heran yang dimiliki Dita, teman barunya itu, sama dengan rasa heran yang hinggap pada teman-teman pengajiannya. Namun, Ummi tak pernah ambil pusing. Dia akan menjawab pertanyaan sebisa mungkin yang tak menimbukkan konflik dan penilaian sepihak dari teman-temannya.

Ummi sangat memahami pertanyaan dan rasa heran yang muncul mengingat bagaimana hubungannya dengan si madu selama ini. Sementara teman-temannya tahu itu. Dia tak memungkiri, perjalanan pernikahannya amatlah berat. Namun, itu bukan alasan baginya untuk tutup mata dengan kondisi si Mbah.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi