Bab I Sebuah Ujian

Oleh. Yulweri Vovi Safitria

Sudah setahun lebih suami Imah luntang-lantung mencari pekerjaan. Namun, tidak satu pun perusahaan yang bersedia menerimanya.

Pri, suami Imah memang bukan tamatan sarjana, bukan pula berusia muda. Kini, usianya sudah menginjak kepala empat, sudah barang tentu menjadi pertimbangan perusahaan untuk menerimanya bekerja. Meskipun Pri memiliki pengalaman kerja di bagian teknisi Quality Control lebih kurang lima belas tahun lamanya, tidak serta merta membuatnya mudah memperoleh pekerjaan. Ya, usia menjadi salah satu pertimbangan perusaahaan.

Apalagi mencari pekerjaan di Kota Batam, semua orang pun tahu dan paham, betapa sulitnya mencari lowongan pekerjaan bagi laki-laki, kecuali sarjana atau rekomendasi dari pihak tertentu. Dan Pri pernah merasakan itu dulu, sebelum ia bekerja dan akhirnya kena PHK. Ia masih beruntung, mendapatkan pekerjaan melalui Dinas Tenaga Kerja Kota Batam.

“Pak, SPP anak-anak sudah satu semester belum dibayar, sebentar lagi akan ujian akhir. Sebenarnya, bisa saja minta ditangguhkan dulu, tapi Ibu nggak enak, Pak.” Imah mengungkapkan perasaannya pada sang suami.

“Coba besok Bapak cari pinjaman ya Bu, tapi sama siapa. Bapak pun bingung mau bayar pakai apa, sementara bapak tidak bekerja,” Pri berbicara, seolah pada dirinya sendiri.

Suami istri itu terdiam. Sedangkan kelima anak mereka sudah meringkuk di kamar masing-masing.

“Tagihan rumah kita juga belum dibayarkan, stempel di dinding rumah sungguh tidak enak dilihat, bikin kita malu, Pak.” Ucap Imah sambil menyeka bulir bening yang ke luar dari netranya.

Sebenarnya Pri tidak tahan melihat air mata sang istri, tapi mau bagaimana, ia sudah berusaha cari pekerjaan, namun tidak jua ia dapatkan.

“Alhamdulillah beras kita masih ada, kemarin Teteh mengantarkan beras dan bahan makanan, jadi cukup untuk kita satu minggu ke depan,” cerita Imah. Wajahnya sejenak sumringah. Teteh adalah panggilannya kepada Ifah, hubungan yang sudah seperti keluarga sendiri.

Selama ini, mereka memang banyak dibantu Teteh dan suaminya. Orangnya baik, bukan hanya kepada mereka saja, tapi juga kepada orang lain yang butuh pertolongan.

“Sangat sulit menemukan orang seperti mereka, apalagi di kota besar seperti Kota Batam. Hidup keras, bahkan kalau tidak kuat iman dan kuat mental, bisa salah jalan,” ucap Pri sambil memandangi wajah istrinya. Kerut-kerut halus mulai terlihat di wajah sawo matang Imah.

Imah mengangguk membenarkan perkataan sang suami. Ia pun tidak tahu bagaimana nasibnya dan anak-anak mereka yang masih kecil, kalau tadi siang tidak ada Teteh yang mengantarkan makanan.

“Allah memang Maha Baik, Pak.”

Malam kian larut. Keduanya beranjak menuju pembaringan. Mereka beristirahat, melepaskan penat setelah seharian berkutat dengan urusan rumah tangga dan pekerjaan.

“Tidur, Buk, jangan lupa besok bangun salat lail. Seberat apa pun persoalan kita, salat lail jangan sampai kita lupakan. Hidup sudah susah, jangan sampai Allah murka.” Nasihat Pri sambil mengusap kepala Imah.

Perlahan Imah menarik selimut yang mulai menipis dan lusuh, busanya sudah hampir habis karena dicuci. Imah sudah lupa, kapan selimut itu ia beli.

Keduanya terlelap dengan pikiran masing-masing. Dengan satu harapan, ada keajaiban esok pagi ketika mereka bangun. Entahlah, mereka sebenarnya pun tidak tahu.

**
Suara jangkrik terdengar bersahutan dari rawa-rawa yang tidak jauh dari rumah tinggal Imah. Sudah beberapa hari ini hujan selalu turun setiap malam tiba. Pulau Kalajengking seperti berduka. Sama halnya seperti hati Imah.

Dinginnya udara menusuk hingga ke pori-pori. Namun, mata Imah tak jua kunjung terpejam. Matanya nanar menatap langit-langit kamar. Menghitung baris-baris plafon kamar yang mulai lapuk. Sedangkan sang suami sudah tertidur lelap di sampingnya.

“Ya Allah, sampai kapan ujian-Mu berakhir.” Bisik Imah lirih sembari mengembuskan napasnya dengan kasar.

Bunyi tiang listrik dipukul petugas ronda terdengar dua kali. Imah melirik jam weker yang terletak di meja tidak jauh dari ranjang tidurnya. Pukul 02.00 WIB. Imah berusaha kembali memejamkan matanya, namun hatinya berkelana.

Perlahan-lahan Imah turun dari ranjang, ia bergegas ke kamar mandi dan mengambil wudu. Imah mengambil mukena bordir yang sudah tidak lagi berwarna putih. Sebagian benang bordiran dan payetnya pun sudah mulai lepas. Entahlah, ia lupa kapan terakhir membeli mukena. Dulu Imah bisa membeli apa saja yang ia inginkan, Imah tinggal minta, dan Pri akan menuruti keinginannya.

Imah salat dengan khusuk, bermunajat pada Allah untuk meminta kemudahan dan dilunasi seluruh utangnya yang menggunung.

Imah membangunkan Pri, mengajak salat berjemaah, rutinitas mereka, sejak Pri tak lagi bekerja. Ya, Imah merasa ada ibrah ketika Pri tidak lagi bekerja di perusahaan asing. Dulu bisa dihitung dengan jari mengenai ibadah. Jangankan ibadah sunah, yang wajib saja sering di penghujung waktu ia kerjakan, alasan pekerjaan tidak bisa ditinggal dan tidak ada yang menggantikan.

Mungkin begitu cara Allah menegur Pri. Dan terbukti Pri makin rajin ibadah, dan makin kuat keyakinan akan pertolongan Allah untuk keluarga mereka.

**
Subuh menjelang, keenam anak Imah dan Pri pun bangun. Keempat anak perempuannya salat di rumah, sementara dua anak laki-laki yang masih sekolah dasar ikut dengan Pri berjemaah di masjid yang berjarak 200 meter dari rumahnya.

Si sulung terpakasa cuti kuliah, karena Imah tidak ada biaya lagi, padahal kuliahnya masih empat semester lagi. Sementara putri keduanya adalah kembar, dan keduanya masih di SMA, dan tahun ini adalah kelulusan mereka berdua. Biaya pendidikan selama satu semester belum dibayar akan menjadi syarat keikutsertaan ujian. Sementara yang ketiga, masuk SMA tahun ini. Semuanya sedang butuh biaya besar.

Rumahnya terasa berputar, pandangan Imah buram, banyak bintang berterbangan, seolah malaikat maut datang menjemputnya. Imah pingsan dengan mukena yang masih melekat.

Bersambung …

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi