Step Up to Jannah, Bersama Menuju Surga

Oleh. Z. Syifa

Masih samakah Ramadhan tahun ini? Puasa tak seharusnya hanya diisi dengan rebahan, buka bersama sampai tarawih bersama atau bahkan sibuk memilih baju untuk lebaran. Bersama 25 remaja putri di rumah Mazaya, nobar acara remaja yang mengambil tema Step Up to Jannah mengingatkan kembali bahwa remaja dengan potensi yang dimilikinya harusnya bisa produktif, melejitkan potensi supernya untuk kebangkitan Islam.

Menurut Kak Alfatahar, bahwa remaja harus mengerti bagaimana mengoptimalkan potensi dirinya agar bisa membuat dirinya bisa masuk surga. Hari ini, potensi pemuda itu dibajak oleh sistem yang ada, sehingga begitu sulit untuk menjadi remaja taat. Namun, dengan belajar Islam, remaja akan tau apa yang menjadi fondasi juga standarisasi hidupnya. Dengan demikian, ia akan bangkit dari keterpurukan dan kembali kepada Allah.

Remaja yang hari ini ada era digital, seperti yang disampaikan Kak Aab El Karimi, ibaratnya seperti fatamorgana. Banyak yang kemudian mengalami gangguan kesehatan mental, karena pengaruh sosial media. Sumber media yang bukan berasal dari Islam, yang kemudian jelas memberi pesan bukan Islam (sekuler), ditambah lagi ada kendali dari siapa yang berkuasa, makin merusak remaja. Maka, dunia digital pun butuh standar, jika dibiarkan tanpa panduan Islam akan rusak dan merusak.

Kalau melakukan perintah Allah sebagian saja senang, apalagi jika melakukan semua. Sebab, perintah Allah itu banyak. Saatnya remaja kembali untuk mendekat kepada Allah, dengan melaksanakan semua aturan-Nya, dengan menginstall pemahaman Islam yang benar. Menjadi pemuda yang terpaut hatinya dengan masjid, menjadi orang-orang yang meramaikan masjid . Yang pernah dicontohkan Rasulullah yaitu menjadikan masjid tidak hanya untuk salat, tapi untuk belajar Islam dan syiar Islam seperti kata founder Real Masjid Mas Nanang Saifurrozi.

Islam itu indah. Sarana untuk menyampaikan Islam bisa melalui seni. Seniman muslim, Mas Doni Riw menyatakan bahwa dahulu orang nonmuslim menjadikan muslim sebagai idolanya karena saat itu peradaban Islam berjaya. Berbeda dengan hari ini, justru peradaban Barat yang merusak itu menjadi idola remaja muslim. Ini tidak lepas dari siapa yang berkuasa. Ketika Islam berkuasa, akar dari seni adalah akidah, batangnya adalah syariat, karena seni itu sendiri adalah buah sebuah peradaban. Akhirnya, keberadaan seni tergantung dari kebutuhan. Support sistem yang membuat seni itu menjadi berbeda. Seni menjadi baik ketika superpowernya adalah Islam.

Pengusaha Muslim Ade Wijaya menyatakan bahagia dengan keislamannya. Sebab, menurut beliau masih ada 5 miliar orang yang tidak bisa sujud padahal sujud itu aktivitas paling keren di muka bumi ini. Ali bin Abi Thalib pernah berdoa, “Wahai Tuhan, cukuplah aku merasa mulia karena Engkau adalah Rabb-ku. Dan cukuplah aku merasa bangga karena aku adalah hamba-Mu.”

Sebab, sebanyak apa pun kekayaan di dunia tak akan pernah membuat bahagia. Ia hanya ibarat jari yang dicelupkan ke air laut, ya hanya setetes saja dari kenikmatan Allah Subhanallah wa Ta’ala. Maka, harus belajar Islam agar mengetahui bahwa Islam itu sempurna. Dengan beramal saleh, yaitu melaksanakan Islam kaffah, maka akan didapatkan bahagia. Islam jika diibaratkan seperti motor, sistematis. Maka, menjadi tidak sempurna jika ada satu syariat yang tidak diterapkan. Akan sempurna Islam dengan dakwah, menyampaikan kembali kepada orang lain. Karena, dakwah itu akan memasukkan kita ke surga-Nya tanpa hisab.

Sebagai penutup dari acara ini, tausiyah dari cendekiawan muslim, Ustadz Ismail Yusanto, semakin menambah keyakinan kita bahwa saatnya kita harus berubah. Sebab, menurut beliau kita ini bagaikan orang asing, kita ini “on the road” perjalanan menuju tempat asal kita yaitu surga. Dan yang akan mengantarkan kita pada surga adalah keimanan dan ketakwaan kita. Seperti puisi beliau “Di Sini untuk di Sana”, bahwa kehidupan di sini (di dunia) yang sebentar ini akan menentukan tempat kembali kita di sana (akhirat). Maka, kita harus memastikan betul-betul bahwa kita bisa sampai pada surga. Pastikan kita “on the right track,” jika sudah, maka pertahankan. Sebab, hidup hanya sekali dan kita harus rela mengorbankan milik kita untuk meraih ketakwaan.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi