Peran Pemuda sebagai Agen Perubahan

Oleh. Afiyah Rasyad

Pemuda adalah kekuatan. Sebagaimana pernyataa aktivis dakwah, Ratu Erma berikut, “Generasi muda adalah kekuatan (quwwatunaa), 80 % dari umat ini adalah pemuda, mereka detak jantung kita dan harta berharga kita.”

Di tangan pemuda perhbahan itu bermula. Sebagaimana telah masyhur dalam tarikh, dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah banyak didukung pemuda. Sebut saja Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Mush’ab bin Umair, Asma’ binti Abu Bakar, Nusaibah binti Ka’ab, dan Fatimah binti Ka’ab. Mereka semua mendukung dakwah Islam.

Islam juga melahirkan banyak penakluk muda seperti Muhammad ibn Al-Qasim, Qutayba bin Muslim, Muhammad al-Fatih—pemuda fenomenal penakluk Konstantinopel—. Selain itu, dari rahim Islam, ilmuwan muslim bertebaran seperti ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Ibnu Firnas, dan lainnya. Dari beliau-beliaulah, Islam semakim tersebar luas dan banyak pemeluknya.

Jika melihat kondisi saat ini amatlah pelik. Pemuda muslim, pemikiran dan hatinya, tidak terpaut dengan Islam. Justru pemikiran mereka rendah dan berperilaku aneh. Padahal, Allah Swt. berfirman:

“Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44)

Sebab dari dangkalnya taraf berpikir pemuda dan bebasnya gaya hidup mereka hanya satu penyebabnya, yaitu kehidupan ini tidaklah diatur oleh syariat Islam. Sebagaimana pernyataa Ratu Erma berikut:

“Yang mengatur kita adalah hukum-hukum kapitalis –sekuler, buatan akal manusia yang bertentangan dengan perintah Allah Swt. Ini berlangsung sudah 100 tahun, empat generasi, sejak Kh1l4f4h Islam runtuh pada 1924 M, diganti negara republik Turki sekuler. Sejak saat itu, semua aturan umat Islam menggunakan hukum Barat dari Swiss.”

Naudzubillah, benar adanya. Kehidupan saat ini, terlebih pemuda sudah semakin jauh dari. Dalam dunia pendidikan juga mengalami dunia jungkir balik. Seorang pendidik Dwi Hendriyanti, S.Pd. menilai bahwa rusaknya generasi muda sebagai akibat adanya kegagalan pendidikan di sekolah.

“Proses pendidikan di sekolah belum mampu mewujudkan pemuda muslim yang taat syariat. Ini sangat sulit, atau bisa jadi malah tidak mungkin. Bahkan dapat disimpulkan, fakta kerusakan generasi saat ini karena ada kegagalan pendidikan di sekolah,” kata beliau.

Gambaran pemuda saat ini adalah hilangnya rasa takut kepada Allah dari dalam diri mereka. Ada tiga faktor penyebab menurut Dwi Hendriyanti, S.Pd., antara lain kurikulum, peran guru, dan lingkungan.

Dwi memaparkan ada tiga faktor penyebab sulitnya mewujudkan generasi taat syariat ini, yaitu kurikulum, peran guru, dan lingkungan.

Pertama, kurikulum. Kurikulum bisa menjadikan generasi itu rusak karena kurikulum menjadi ruh yang berpengaruh terhadap performa individu, generasi, dan berpengaruh terhadap performa bangsa. Kurikulum saat ini tampaknha senantiasa berubah, ternyata tidak memiliki standar baku, tetapi sesuai keinginan pembuat kurikulum. Namun demikian, basisnya sama, yakni sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan. Sementara tuntutan kurikulum ini tidak lain adalah hal-hal bersifat materi, menghasilkan produk, dan ketika lulus sekolah bisa bersaing di dunia kerja, tetapi miskin nilai dan moral agama.

Kedua, peran guru. Banyaknya anggapan dari para guru bahwa selesai mengajar pulang, penting mengajarkan materi sekian waktu, dan sejenisnya menjadikan peran guru mengalami disorientasi dalam mendidik. Pemahaman agama mungkin diberikan, tapi porsinya belum sepadan. Apalagi, para guru banyak yang tersibukkan dengan berbagai administrasi yang menguras energi. Sehingga, peran guru dalam mentransfer perilaku tidak dijumpai.

Ketiga, lingkungan. Bisa jadi anak-anak di lingkungan keluarga sudah diberikan bekal pemahaman agama yang baik, kemudian diproteksi oleh keluarga dengan berbagai aturan yang dianggap sudah sesuai dengan Islam. Faktanya, ketika mereka terjun ke lingkungan yang ternyata rusak, mereka bisa terpengaruh atau terwarnai. Artinya, lingkungan tidak bisa menjamin seorang anak itu saleh dan salihah, meskipun di keluarganya sudah diberikan pemahaman agama yang baik.

Adapun kebijakan pendidikan nasional, khusunya pendidikan tinggi mengalami kegagalan. Intelektual muslimah sekaligus pakar administrasi publik Prof. Dr. Mas Roro Lilik Ekowanti, M.S. menyatakan bahwa penyebab kegagalan adalah kebijakan makro atau internasional. Sebagai intelektual harus memperhatikan bahwa kebijakan tersebut kemudian di-break down oleh negara-negara penganut politik demokrasi. Kebijakan sistem pendidikan tinggi tidak lepas dari pengaruh politik ekonomi.

Beliau menegaskan bahwa visi yang harus dimiliki kaum muslim, khususnya pemuda adalah Islam rahmatan lil’alamin. Hanya saja rahmatan lil’alamin itu ketika pemudanya menjadi pemimpin, bukan buruh. Sebab, dewasa ini, atmosfer pendidikan tinggi di era industri 4.0 adalah mencetak tenaga buruh. Meski diterima kerja di perusahaan multinasional dengan gaji selangit. Tetap saja ia disuruh-suruh.

Sementara aktivis muslimah sekaligus Ketua Kornas Kohati periode 2018—2020 Apri Hardiyanti S.H. menilai, sistem saat ini tidak memberikan ruang bagi pemuda untuk melakukan perubahan sistematis. Beliau mengkritisi UU No 40/2009 tentang Kepemudaan yang menyebutkan tujuan pembangunan pemuda adalah membentuk pemuda beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki akhlak mulia, kreatif, memiliki jiwa kepemimpinan, dan kewirausahaan berdasarkan UUD 1945.

Sementara terwujudnya pemuda yang beriman dan bertakwa itu hanya bayangan ideal yang tidak mungkin terealisasi di sistem saat ini karena setiap generasi muda yang belajar Islam, yang menunjukkan identitas keislamannya itu dilabeli radikal dan ekstrem. Para pemuda yang taat syariat akan dipersekusi, ditangkap, dan dikriminalisasi. Hal ini diperkuat dengan adanya narasi sekuler kapitalisme yang sangat mendominasi serta melarang beragama terlalu ekstrem. Pelarangan itu menggunakan instrumen negara.

Terjadinya krisis akhlak, degradasi moral karena nilai agama tidak lagi menjadi standar akhlak, yang dijadikan standar adalah nilai-nilai Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, dan nilai-nilai liberal. Pemberdayaan tentang kepemimpinan dan kewirausahaan pun tidak mampu mencetak pemimpin umat karena pemuda hanya dicukupkan untuk mandiri, bekerja, memenuhi tuntutan industri agar tidak menjadi beban negara.

Demikian halnya dengan peran politik generasi muda sebatas untuk pemilu. Sedangkan peran politik pemuda atau mahasiswa yang kritis, tidak dianggap peran, justru teman-teman mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan zalim itu dipersekusi, dikriminalisasi, dan ditangkap. Potensi pemuda sebagai agen perubahan benar-benar terbajak. Kekritisannya hanya pada hal-hal yang remeh pada sektor hilir tanpa mereka tahu penyebab dari problematik yang terjadi.

Derasnya upaya pembajakan potensi pemuda juga masuk ke ranah pesantren. Menanggapi adanya upaya sistemis untuk merusak para santri, mubaligah dan pengasuh pesantren Hj. Tingting Rohaeti menyebutkan, ini dilakukan melalui dua regulasi. Pertama, UU No. 18 Tahun 2019, pemerintah mewajibkan pesantren berasaskan Islam moderat atau wasathiyah yang mengedepankan toleransi dan kebangsaan. Toleransi disini dibelokkan pada menyamakan semua agama dan sampai masuk ke tempat ibadah agama lain. Sementara toleransi dalam Islam tidaklah mencampuradukkan agama, tetapi harus menghargai dan menghormati peribadatan dan keyakinan agama lain.

Dengan adanya regulasi Islam moderat di pesantren, ada ulama yang kehilangan keberanian mendakwahkan Islam kafah dan tidak berani beramar makruf nahi munkar. Sehingga, lahirlah ulama moderat dan santri moderat yang mendukung kapitalis dan liberalis justru bercokol di negeri ini.

Kedua, kebijakan pemerintah melalui pemberdayaan ekonomi pesantren dengan program One Pesantren One Product (OPOP). Sepintas tampak keren. Di sini, pesantren diberi dana untuk menghasilkan produk. Para santri diberdayakan di sana dan akan menjadi sebuah kebanggaan. Padahal, ini mengalihkan tujuan utama pesantren. Seharusnya, pesantren itu tempat tafaqquh fiddin. Dengan OPOP akhirnya yang dipikirkan adalah materi, termasuk untuk mencukupi kebutuhan pesantren. Seakan-akan menunjukkan bahwa OPOP merupakan cara pemerintah “cuci tangan” dalam memfasilitasi pendidikan.

Sungguh, pemuda benar-benar diserang dari berbagai arah. Permasalahan demi permasalahan menimpa pemuda tiada henti. Seharusnya, proses pendidikan menjadi penguatan moral, memberikan pemahaman agama sebagai acuan menjadikan generasi yang berperilaku dan berakhlak mulia.

“Di sini tentu saja yang memiliki peran besar adalah guru. Ketika guru menginginkan anak didiknya berakhlak mulia, maka guru tersebut harus paham Islam. Guru tidak bisa mencukupkan diri dari ilmu yang diperoleh saat di perguruan tinggi karena dasarnya pun sekuler,” kata Dwi Hendriyanti, S.Pd.

Sementara rekomendasi dari Prof. Dr. Mas Roro Lilik Ekowanti, M.S. adalah lebih pada visi generasi Islam yang meliputi dua hal; pertama, menjadi khalifah, pemimpin di bumi, tidak boleh main-main, dan bukan menjadi buruh, tenaga kerja seberapa pun digajinya. Kedua, melakukan amar makruf nahi munkar. Nilai-nilai ini harus ditanamkan secara sadar kepada para pemuda. Selain itu, bangkitnya Islam juga membutuhkan sebuah negara yang disebut Kh1l4f4h

Sejatinya, menurut Apri Hardiyanti, sudah tampak geliat kebangkitan pemuda, tetapi butuh dukungan dari semua pihak dengan memiliki pemahaman yang benar tentang peran pemuda dalam membela Islam kaffah. Sudah saatnya, pemuda berani dan bangga menyuarakan Islam, jangan takut disebut ekstrem, jangan takut disebut radikal. Pemuda harus jeli dan berani membongkar narasi-narasi busuk yang selalu menjadikan syariat Islam sebagai tertuduh di negeri ini, serta mencerdaskan umat dengan Islam kaffah.

Tidak ada satu tempat pun yang aman bagi perlindungan anak-anak pemuda kita dalam sistem sekuler,yang sudah satu abad tidak menerapkan hukum-hukum Allah.
Proses pendidikan pemuda dimulai dari keluarga. Dalam Islam, negara menjamin kesejahteraan keluarga. Sementara dalam sistem sekuler, keluarga rapuh dan ripuh. Adapun sekolah dalam Islam tak ada dikotomi antara ilmu agama dan sains atau tsaqofah selain Islam dengan menggunakan kurikulum berbasis akidah Islam.

Dalam Islam, negara tak akan membuka celah sedikit pun pada media dalam membuat konten yang merusak generasi. Tak akan ada konten pornografi dan hedonis. Pemuda muslim harus dijadikan role model dan trand setter kebangkitan.

Menurut Ratu Erma, pemuda adalah harta berharga yang harus diselamatkan. Sebab, pemuda adalah generasi pelanjut kehidupan umat Islam. Sebagaimana firman Allah dalam QS An-Nisa ayat 4:

“Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Peran orang tua dan masyarakatlah menyelamatkan harta berharga yang bernama pemuda. Untuk menjadi penyelamat, tentu kita harus menjadi bagian dari para pejuang agama Allah.

“Bersama kelompok dakwah Islam ideologis, menjadi seperti kumpulan sahabat yang membela dan menyebarkan syariat Islam, serta berdakwah untuk tegaknya Islam kaffah. Jangan sampai merasa malu di hadapan Allah karena tidak turut dalam memperjuangkan syariat-Nya tegak dimuka bumi,” ucap Ratu Erma

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi