Oleh. Afiyah Rasyad
Sepasang netra bulat sempurna sedang menikmati panorama. Tatapannya menyapu setiap lekukan Gunung Arjuna. Sehelai rambut tampak tertidur di dahi tampannya. Sementara rambut lainnya setia berdiri menghadap langit. Desah napas yang teratur melewati hidung bangir yang bercahaya diterpa sinar matahari terbit.
Berbagai masalah yang berjejal di benaknya seakan menghilang entah ke mana. Kepenatan yang selalu mengiringanya menghilang begitu saja. Di tempat baru ini, jati diri menghampirinya. Perlahan tapi pasti, perubahan perilaku mulai tampak dari silsilah aktivitas meski casingnya tetap macho dan tampak arogan.
“Kaa kaa kamu dicarin saa sssaa maa ustad,” ucapan Ipul membuatnya mengernyitkan dahi.
Bola mata blue saphire menatap Ipul tak percaya. Selama ini, ustad tak pernah memanggilnya. Sudah 6 purnama ia berada di pondok vila ini, tapi baru kali ini dia dipanggil oleh ustad. Perasaannya berkecamuk. Semua rasa menyatu. Bingung, takut, marah, was-was bercampur tak karuan. Bulir-bulir keringan lolos dari pori-pori kulitnya yang menawan.
“Aa aa aayo, aa aa aaku antarkan. Uuu uuu ustad menunggu,” Ipul mempersilakan Agam, teman seusianya itu dengan sopan.
“Alah, kagak usah kayak gitu. Biasa aja dong, Pul,” Senyum Agam pertama kali dipamerkan. Ipul merasa heran dan senang.
Mereka berjalan beriringan menuju dalem utama. Belum jauh langkah mereka terayun, sebuah bayangan berhijab berhenti tepat di depan mereka. Agam dan Ipul berhenti setengah kaget. Pantulan heran dan khawatir terhias di wajah dua santri Nurul Iman. Sosok Ning kebanggaan Ustad Faizal menghadang mereka.
“Aaassss sss saalaaa mu’alaykum, Neng?” Ipul memcoba menyapa.
Ning Fairy membingkai wajah Ipul. Tanpa komando, Ipul menundukkan pandangan sekaligus merapal istighfar tanpa henti. Suara merdu dan mendayu Ning Fairy menyapa pendengaran Ipul dan Agam. Hati Agam mencelos dengan suara seperti itu. Suara perempuan yang manja dan terkesan menggoda paling dia benci. Sementara Ipul terus berucap istighfar dengan sangat lancar.
“Ih …, Ipul kagak sopan tahu. Masak aku jawab salam gak dilihat. Ini juga teman Ipul, sombong amat sih,” Ning Fairy berkomentar pedas.
Agam semakin membuang muka dan menarik Ipul menyingkir dari hadapan putri Ustaz Faizal itu. Ipul tak menyangka Ning Fairy berani menghadang mereka, apalagi berauara manja seperti itu. Tak seperti biasanya. Selama 8 tahun Ipul mondok, tak pernah ada suara-suara manja dari para ning dan santri berkeliaran pada santri putra.
Setengah berlari, langkah Ipul mengikuti jejak Agam. Lelaki bertubuh atletis di depannya menampakkan air muka masam. Ipul menyadari Agam tak suka dengan kegenitan Ning Fairy. Pemikiran Ipul berkeliaran pada sebuah teka-teki. Dia mengira Ning Fairy ada hati pada Agam.
Siapa yang tak suka Agam, wajah hampir tanpa cela. Meski cuek, aura ketampanan begitu indah terlukiskan. MasyaAllah betapa sempurna ciptaan Allah. Hidung bangir, kulit bersih, tinggi, atletis adalah magnet bagi kaum hawa.
“Udah puas lihatin gue, Pul?” Agam bersedekap.
“Ee …. aa ….” Ipul gelagapan.
“Jangan bilang, lho bencis,” Sungut Agam.
“Aa a aa apaan itu be bee bencis? Saaa saa yur buuu buun cis?”
Agam tertawa sambil menggamit lengan Ipul. Wajah bingung dan kesal bercampur. Ipul tidak suka Agam menertawainya. Mereka beruluk salam saat tiba di dalem utama. Di ruang tamu, terdengar riuh suara orang. Agam membeku saat mendengar suara yang dikenalnya.
“Walaykumussalam warohmatullahi wabarokatuhu, masuk, masuk!” Ustaz Abu Dzar menyambut kedatangan dua santrinya.
Agam memindai Ustaz Abi Dzar. Selama ini dia hanya melihat dari villa atas. Dia pun belum pernah belajar langsung pada sang ustaz. Dalam pandangannya, Ustaz Abu Dzar berwajah teduh dan menyejukkan. Senyumnya begitu ramah. Pandangannya memancarkan kelembutan dan keikhlasan. Agam langsung jatuh cinta. Rasa hormat langsung menyusup ke relung hatinya. Untuk pertama kalinya, dia bersalaman dengan ustaz menggunakan dua tangan. Dia menginatasi cara Ipul bersalaman dengan para ustaz, termasuk pada Ustaz Abu Dzar.
Agam sudah tak peduli suara siapa di dalam. Alarm dalam jiwa Agam berbunyi serentak saat wajah sembab sang mama terpampang di hadapannya. Sudah tiga belas purnama Agam enggan ditemui. Bahkan, saat santri lainnya pulang, ia memilih menetap di vila itu sambil mengarit rumput untuk kuda pondok. Ipul iba melihat wanita paruh baya yang dicuekin Agam.
Dengan halus, tangan Ipul menarik-narik pakaian Agam bagian belakang. Tanpa dijelaskan, Agam menangkap sinyal energi positif Ipul. Sontak Agam ikut mengulurkam tangan dan mencium tangan wanita yang telah melahirkannya dengan takdzim.
Cling, petjah telor. Segala beban dan rasa sakit yang mengendap di hati Agam seketika lenyap. Agam sendiri heran betapa ringan dadanya terasa kini. Tak ada lagi kebencian yang menggunung pada sang mama. Pelukan tulus dirasakan Agam begitu hangat. Netra Ipul mengembun melihat pemandangan dua insan ini.
Sejak saat itu, Agam yang dikenal misterius dan pendiam, kini mulai membaur dengan santri lainnya. Agam dan Ipul semakin akrab. Bahkan, mereka satu kelompok halaqoh. Mereka menjadi sahabat yang saling membantu dan berlomba-lomba dalam kebaikan.