Oleh. Fawatifu Syu’ara
Salsa memandang dirinya di cermin, wajahnya tampak tenang meski di dalam hatinya penuh gundah. Jilbab panjang biru laut yang menutupi tubuhnya hingga hampir ke mata kaki kini seakan berat membebani pundaknya. Bukan karena dia tidak suka, tetapi lebih karena bisikan-bisikan yang sering didengarnya belakangan ini.
“Ah, sudah mulai basi gaya hijrahmu itu, Sal,” komentar seorang teman kampusnya minggu lalu.
Salsa menarik napas panjang. Itu bukan pertama kali dia mendengar komentar seperti itu, apalagi sejak masuk semester dua di universitasnya. Lingkungan kampus yang lebih terbuka dan permisif semakin membuatnya merasa seperti ikan yang berenang melawan arus.
*
Dahulu, saat SMA, Salsa termasuk gadis yang biasa saja. Dia mengenakan kerudung dan baju potongan, tidak seperti sekarang yang sudah menggunakan jilbab (jubah panjang yang menutup seluruh tubuh hingga mata kaki), tapi itu karena tuntutan sekolah, bukan kesadaran pribadi. Hingga suatu hari di penghujung kelas tiga, ia ikut sebuah kajian yang membahas tentang makna hidup dan kematian. Kala itu, hatinya tersentuh. Betapa selama ini dia terlalu terlena dengan kesenangan dunia, padahal ajal bisa datang kapan saja. Sejak itulah ia mantap berhijrah.
Namun di kampus, suasana berbeda. Salsa menjadi bagian dari kelompok kecil yang aktif di rohis kampus, mengadakan kajian, menebar dakwah dengan senyum, dan berusaha mengajak teman-temannya untuk mengingat kembali tujuan hidup mereka. Tetapi di tengah kampus yang gemerlap dengan acara-acara hura-hura, pesta, dan pergaulan bebas, seringkali Salsa merasa kecil.
Bukan hanya itu, kerap kali ajakan-ajakan dari teman-temannya untuk mengikuti kegiatan yang tidak sejalan dengan prinsipnya membuat Salsa bimbang. Seperti halnya saat Rina, teman sekelas yang juga sahabat lamanya, mengajaknya ke acara ulang tahun yang diadakan di sebuah klub malam.
“Sal, ayolah! Ini acara spesial, semua teman-teman ada. Nggak seru kalau kamu nggak datang,” bujuk Rina dengan tatapan memelas.
“Rin, kamu tahu aku nggak bisa ke tempat seperti itu,” jawab Salsa halus.
“Ah, come on, hanya sekali ini. Aku janji nggak akan ada yang macem-macem. Kamu bisa kok tetap pakai hijabmu,” Rina terus merayu.
Salsa terdiam sejenak. Ada keinginan untuk ikut, karena ia tak ingin terus-terusan dianggap ‘beda’. Tapi di sisi lain, hatinya merasa tidak nyaman.
“Maaf, Rin. Aku nggak bisa,” jawab Salsa tegas.
Rina mendesah kecewa. Sejak saat itu, hubungan mereka mulai renggang. Rina seringkali menyindir Salsa di depan teman-teman lain, bahkan menyebutnya sok suci.
*
Seminggu kemudian, Salsa dan teman-temannya di rohis mengadakan acara kajian akbar di kampus. Salah satu pembicaranya adalah Ustaz Maulana, seorang da’i muda yang terkenal di kalangan mahasiswa. Acara itu sukses besar. Aula penuh dengan peserta, dan Salsa merasa lega karena kontribusinya dalam dakwah masih diterima.
Namun, di balik kesuksesan itu, ada satu kejadian yang mengguncang hati Salsa. Sepulang dari kajian, ia menerima pesan dari Rina.
“Kamu nggak tahu apa-apa, Sal. Kamu kira hidupmu lebih baik hanya karena hijrah? Kamu salah besar.”
Pesan itu membuat Salsa terkejut. Ia berusaha menghubungi Rina untuk bertanya maksudnya, namun tak ada jawaban. Beberapa hari kemudian, kabar mengejutkan datang. Rina dilarikan ke rumah sakit akibat overdosis di sebuah pesta. Salsa tidak bisa menahan air matanya. Ia merasa bersalah, merasa telah gagal mengajak sahabatnya kembali ke jalan yang benar.
Tanpa berpikir panjang, Salsa segera menuju rumah sakit. Di sana, ia mendapati Rina terbaring lemah dengan wajah pucat.
“Rin, maafin Aku…” Salsa berbisik, menahan tangis.
Rina membuka matanya perlahan. “Kamu nggak salah, Sal. Aku yang salah… terlalu jauh dari-Nya …” Bisiknya lemah.
Salsa menggenggam tangan Rina erat, berharap ada keajaiban. “Kamu masih punya kesempatan, Rin. Allah Maha Pengampun.”
Rina tersenyum pahit. “Entahlah, aku takut terlambat. Tapi …, kamu benar, aku terlalu larut dalam hidup yang salah.”
*
Seminggu setelah kejadian itu, Rina mulai menunjukkan perubahan. Ia sering mengikuti kajian-kajian yang diadakan Salsa, bahkan mulai mengenakan jilbab dan kerudung meskipun masih sederhana. Salsa merasa bahagia melihat sahabatnya mulai menemukan jalan kebenaran.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Pada suatu malam, ketika Salsa sedang mengerjakan tugas, ia mendapat telepon dari seorang teman yang mengabarkan bahwa Rina mengalami kecelakaan. Motor yang dikendarainya tertabrak mobil di tengah jalan. Salsa segera berlari ke rumah sakit dengan hati yang penuh doa.
Saat tiba di sana, ia mendapati Rina tak sadarkan diri di ruang ICU. Dokter mengatakan bahwa kondisinya kritis. Hanya mukjizat yang bisa menyelamatkannya. Air mata Salsa tak terbendung lagi. Ia duduk di samping Rina, memohon kepada Allah agar memberikan sahabatnya kesempatan kedua.
Namun, takdir berkata lain. Beberapa jam kemudian, Rina mengembuskan napas terakhirnya. Salsa tak mampu menahan tangis. Ia merasa seperti dihantam badai besar yang tak kunjung reda. Selama ini, ia berpikir bahwa hijrah dan dakwah adalah jaminan kebahagiaan, namun kini ia kehilangan sahabatnya, tepat ketika Rina mulai berubah menjadi lebih baik.
*
Hari-hari setelah kepergian Rina menjadi berat bagi Salsa. Ia mempertanyakan segala hal. Apa gunanya semua perjuangannya jika orang-orang yang disayanginya tetap pergi dalam kondisi seperti itu? Ia merasa gagal sebagai sahabat, gagal dalam berdakwah.
Hingga suatu malam, Salsa bermimpi bertemu Rina. Dalam mimpi itu, Rina tampak tersenyum dengan wajah yang damai, mengenakan pakaian serba putih. “Kamu tidak gagal, Sal. Jangan berhenti berjuang. Aku sudah tenang di sini. Teruskan apa yang kamu yakini,” kata Rina dalam mimpi tersebut. “Astaghfirullah, ini hanya bunga tidur. Semoga, kamu tenang di alam sana, Rin.” Doa Salsa.
Salsa terbangun dengan air mata yang membasahi pipinya. Hatinya perlahan-lahan mulai merasa lega. Ia sadar bahwa setiap orang punya jalannya sendiri menuju Allah. Bukan Salsa yang mengubah seseorang, tapi Allah-lah yang memberi hidayah. Tugasnya hanyalah menyampaikan kebenaran dengan sebaik-baiknya.
*
Beberapa bulan kemudian, Salsa kembali aktif di rohis. Namun kali ini, ia tidak lagi merasa kecil di tengah pergaulan kampus yang bebas. Ia tahu, meski mungkin orang-orang di sekitarnya tidak semua mendengarkan, tetap ada yang menyimpan apa yang ia sampaikan di dalam hati. Mungkin tidak hari ini, tapi suatu hari nanti, hidayah akan datang kepada mereka.
Tidak pernah Salsa duga bahwa perjuangannya ternyata tidak berhenti hanya di kampus. Kehilangan Rina menjadi cambuk bagi Salsa untuk makin memperkuat niatnya. Ia paham bahwa dakwah bukanlah tentang seberapa banyak orang yang berubah karena kita, tapi tentang seberapa istikamah kita bertahan di jalan yang benar meski arus dunia terus menghanyutkan.
Salsa kini menjalani hari-harinya dengan keyakinan baru. Bahwa di tengah segala tantangan dan cobaan, Allah selalu memberikan kekuatan bagi siapa pun yang mau berusaha. Perjalanan hijrah memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Sebagaimana Rina pernah berkata dalam mimpi, jalan ini adalah jalan yang tak pernah salah, meski likunya kadang begitu menyesakkan.
Dan di situlah, di titik terendah perjuangannya, Salsa menemukan kedamaian sejati.
Samuda, 21 September 2024