Hujan di Penghujung Asar

Oleh. Indah Permatahati

Irma, seorang ibu rumah tangga dilanda dilema. Sepekan sebelum tiba bulan suci Ramadhan, ia bimbang. Saat puasa nanti, apakah ia akan tetap berjualan atau tidak, pikirnya. Di satu sisi ia ingin fokus beribadah, di sisi lain ia ingin membantu perekonomian keluarga. Maklum, beberapa bulan yang lalu suaminya kehilangan pekerjaan. Pekerjaan yang menjadi satu-satunya penopang ekonomi keluarga dalam waktu sekejap tiada bekasnya. Pemasukan tak ada, kebutuhan hidup tak pernah surut. Bukan, bukan karena suaminya tak berusaha. Suaminya juga sudah pontang-panting mencari pekerjaan lain, tapi rupanya ia masih harus bersabar.

Suaminya berburu info lowongan pekerjaan, mencoba memasukkan lamaran ke beberapa tempat. Dalam proses menunggu panggilan, suaminya juga tidak malu melakukan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Tentu saja apa saja yang halal, yang dibolehkan oleh Allah. Kadang menjadi sopir, kadang menjadi kurir, kadang juga menjadi guru pengganti. Saat ada yang dikerjakan suaminya, Irma senang bukan kepalang. Artinya, akan ada pemasukan untuk keluarga. Meski begitu, Irma juga mengerahkan upayanya untuk membantu suaminya. Ia punya keahlian membuat kue basah. Mulailah ia berjualan kecil-kecilan, lumayan untungnya bisa buat jajan anak-anaknya.

Di sebuah malam yang gelap, tak lupa tengadah doa dan harap ia haturkan kepada Sang Pencipta. Ia menangis sedih, kesedihan yang tak tampak di mata suami dan anak-anaknya ia luapkan di atas sajadah. Sungguh ia tak pernah mengira bahwa badai ini akan menghampirinya. Mulanya ia adalah orang yang berkemampuan. Posisi pekerjaan suaminya memang patut diperhitungkan. Ketiga anak-anaknya pun bersekolah di sebuah sekolah ternama yang tentu bayar bulanannya tak murah. Begitu badai pemecatan itu datang, ia merasa seperti dihempaskan. Ia sedih tapi tak punya bahu untuk bersandar.

“Ibu, saat puasa nanti Ibu jualan?” tanya Faiza anak pertama Irma.
“Ibu masih pertimbangkan, sayang. Insyaallah, Ibu tetap jualan,” jawab Irma lembut sembari mengelus rambut putrinya itu.
“Alhamdulillah, nanti aku bisa bantu Ibu mempersiapkan jualan, Bu,” seru Faiza berbinar-binar.

Dalam hati, Irma sangat bersyukur memiliki anak pertama yang sangat bijaksana. Faiza, anak yang masih sepuluh tahun itu seolah sangat memahami kondisi kedua orang tuanya. Kondisi keuangan keluarga yang sedang krisis sangat dimengerti oleh Faiza. Kini, saat uang jajannya pun hampir dipangkas habis oleh Irma, ia tak protes. Saat dijelaskan alasannya, Faiza memahami. Ia bahkan menawarkan beberapa alat tulisnya yang masih baru kepada teman-teman sekelasnya. Hasilnya ia tabung atau ia belikan kue untuk adiknya.

“Terima kasih, ya, Nak, Ibu akan sangat senang jika Faiza mau membantu Ibu nanti jika Ibu berjualan. Tapi, sepertinya Ibu akan sangat merasa terbantu jika Faiza mau menjaga Adik Syaif,” ucap Irma menanggapi tawaran bantuan dari putrinya.
“Iya Bu, nanti Adik Syaif aku jaga biar Ibu bisa berjualan,” jawab Faiza lagi.

Waktu berlalu, tanpa terasa bulan Ramadan pun tiba. Seperti yang direncanakan, Irma akan tetap berjualan. Awalnya, ia hanya akan berjualan di rumah. Kue yang ia buat berdasarkan pesanan pelanggan saja. Sore menjelang berbuka puasa, ia tinggal mengantar ke rumah pelanggan masing-masing. Irma sekeluarga tinggal di sebuah perumahan. Pelanggan yang ia miliki sebagian besar berada di lingkungan perumahan itu. Hal ini sangat memudahkan Irma, alhamdulillah, segala puji bagi Allah.

Namun, rencana untuk berjualan hanya dari rumah mendadak berubah. Ada teman Irma yang menawarkan lapak pasar takjil di perumahan sebelah. Karena harga sewanya tidak terlalu mahal, Irma menyetujuinya. Dengan berat hati, ia tinggalkan anak-anaknya di rumah. Yang paling membuatnya sedih adalah meninggalkan Adik Syaif yang masih berusia satu tahun, masih lengket dan manja pada Irma.
“Ibu pamit ya, Nak, tolong jaga adik-adik,” Pamit Irma pada Faiza.
“Iya Bu, aku siap, semoga laris ya, Bu,” seru Faiza pada ibunya.

Meski berat, Irma kuatkan hati. Dengan langkah mantap, Irma berangkat. Tiba di pasar takjil, ia menggelar dagangannya. Beberapa menit kemudian turun gerimis yang sedari tadi seolah masih tertahan. Lambat laun, hujan deras mengguyur lapak-lapak di kawasan pasar takjil. Irma dengan tangkas mengemasi dagangannya. Berteduh ia di teras bangunan terdekat. Pedagang lain juga melakukan hal yang sama. Tubuhnya basah, hatinya basah, air mata menetes, ia teringat anak-anaknya di rumah.

Hujan sepertinya akan awet, banyak pedagang yang akhirnya putar balik untuk pulang. Sedang hujan, pastinya orang-orang malas keluar rumah untuk membeli makanan. Irma pun membuat keputusan. Hari pertama berjualan di pasar takjil itu ia akhiri. Bersegera ia memacu motornya menuju rumah. Sesampai di rumah, anak-anaknya bahagia menyambut kedatangannya. Adik Syaif yang ia khawatirkan sedang tertidur pulas. Zahra dan Fatih anak kedua dan ketiganya juga sedang asyik bermain. Faiza merah matanya, seperti habis menangis.

“Nak, kenapa? Habis menangis?” tanya Irma.
“Saat hujan menderas aku ingat Ibu, aku kasihan Ibu kehujanan,” kata Faiza sambil menahan air mata yang hendak tumpah.
“Maafkan Ibu ya, Nak, hari ini jualan ibu utuh, nggak ada yang laku, hujan deras ibu langsung berteduh di depan bangunan terdekat tadi,” Irma meminta maaf.
Faiza pecah tangisnya, ia menuju pelukan Ibunya.
“Nggak papa Bu, nggak papa jualan Ibu utuh, bisa kita makan untuk berbuka nanti, yang penting Allah masih takdirkan kita untuk bersama,” bisik Faiza dalam isak tangisnya. Mereka pun berpelukan, pelukan haru ibu dan anak yang saling menguatkan.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi