Bubur Bang Dul

Serial Mabok Utang (2)
Oleh. Afiyah Rasyad

Bukan hanya persoalan kehidupan
Bukan hanya persoalan keuangan
bisa bikin stres

(Nganggur terlalu lama) juga bisa stres
(Kekasih main gila) bisa, bisa stres
(Kenakalan remaja) juga bikin stres

Lapangkan dada benahi masalah
Kepada Tuhan panjatkan doa
Tawakkal dan sabarlah

Stres (stres)
Obatnya iman dan taqwa
Serta mensyukuri apa adanya
(Pasti tak akan stres)

Angan Bang Dul kembali ke dunia nyata saat pelanggan berdatangan. Bubur sudah tinggal di bagian bawah panci besar ukuran 7kg. Dua panci lainnya sejak sejam lalu sudah kinclong nangkring di atas lincak. Istri Bang Dul tak kalah cekatan untuk urusan korah-korah.

“Bang, di belakang ada pak lek Idris,” Ayuna, istri Bang Dul memberitahu perihal tamunya.
“Lho. Kapan datang?” Bang Dul sangat kaget, seraya mengganti kode tutup di kaca depan warungnya.
“Assalamu’alaykum, Pak Lek!” ramah dan hangat sekali Bang Dul menyapa tamunya.
“Wa’alaykumussalam! Tak sibuk kau, Dul?” pak lek menjawab salam Bang Dul.
“Alhamdulillah bubur sudah habis, Pak Lek. Sudah aku tutup,” Bang Dul duduk di hadapan pak lek yang tampak semakin tirus.

Tangan pak lek Idris dicium Bang Dul dengan takdzim. Tangan yang kini hanya tulang berbaju kulit itu adalah salah satu penolong Bang Dul remaja yang kehilangan kedua orang tua dan seorang kakaknya. Bang Dul tetekan dengan malapetaka yang menimpanya sampai pak lek Idris datang ke hadapannya dan memberi nafas Islam dalam hidupnya.

“Dul, bagaimana keadaanmu di masa corona ini? Aku tak tahan untuk tak berkunjung, aku kangen buburmu,” pak lek mengusap kepala Bang Dul laiknya masih anak belia.
Bang Dul sangat menikmati usapan lembut tangan keriput yang telah membawanya untuk selalu berpegang teguh pada Islam. Angan Bang Dul kembali melintasi ruang dan waktu. Teriakan histeris kak Mala berujung ketegangan.

Bang Dul melihat kak Mala begitu frustasi. Ayahnya sudah wafat, ambu entah di mana. Kak Mala hanya menjambak-jambak rambutnya sambil bersimpuh di atas marmer yang dipenuhi bercak darah. Bang Dul segera sadar, malapetaka menimpanya. Dia mencoba memeluk kak Mala, namun kakak semata wayangnya sudah tampak seperti orang gila yang hanya melolong panjang dan menjambak rambut.

Dengan langkah seribu bayangan, Bang Dul ke surau H. Husin. Dia menjelaskan perihal kejadian di rumahnya. Otomatis, H. Husin dan beberapa warga yang sudah siap menjemput Maghrib segera ke rumahnya.

Naas, tiba di rumah Bang Dul, kak Mala dan ambu justru telah bersimbah darah di dekat mayat ayahnya. Dada Bang Dul bergemuruh, jantungnya seolah hendak melompat dari tempat berdenyut. Netranya berkunang-kunang seperti dikelilingi bintang, kepalanya bagai ditindih batu kali besar yang ada di belakang rumah.
Bang Dul kembali tersadar di ruangan serba putih dengan aroma obat yang sangat menyengat. Pening di kepala tak jua hilang. Memorinya kembali pada tiga jenazah keluarganya.

“Assalamu’alaykum, Dul,” pak lek Idris merengkuh bahunya lembut.
Dul belia mengerjapkan mata, tatapannya penuh tanya menuntut penjelasan pada pak lek Idris yang entah sejak kapan ada di sana. Padahal rumah pak lek di desa yang jauh, butuh waktu 6-8 jam perjalanan.

“Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Ayah, ambu dan kak Mala telah wafat, Dul. Jenazahnya sudah dimakamkan,” pak lek seolah memahami tatapan Dul.
Sejak itu Bang Dul diboyong pak lek ke rumahnya. Dia tahu kejadian tragis itu saat SMA dari surat Ibu yang diserahkan pak lek padanya. Kala itu dia sudah larut dengan aktivitas kajian Islam kaffah yang digawangi pak lek.
Surat itu ada bercak darah. Rupanya, ambu menuliskannya sesaat setelah membunuh ayah.

⭐⭐⭐⭐
Dul anak kesayangan ambu
Ambu terpaksa membunuh ayah, ambu tak kuat dengan sikap ayah yang hampir setiap saat kasar dan penuh kebencian pada ambu. Barusan ayah ditagih rente, ayah terlilit utang ratusan juta pada rente. Lalu ayah menjadikan ambu dan Mala, kakakmu sebagai jaminan pada rente. Ambu tidak mau melayani nafsu rente, ambu juga tidak mau Mala mengalaminya.

Ambu pamit nak, Mala juga akan ambu bunuh. Kau baik-baik hidup. Jangan kautiru ayahmu yang berperangai bejat. Semua surat-surat berharga rumah, tanah dan perusahaan ayahmu sudah ambu amankan di lemarimu. Perhiasan ambu dan Mala juga semua untukmu.

Satu lagi pesan ambu, jangan kau sesekali tergiur utang. Hiduplah serendah bumi, tapi tinggikan akhlaqmu setinggi langit. Maafkan ambu …

⭐⭐⭐⭐
Bang Dul terisak membaca surat itu. Luka atas malapetaka masa lalu terjawab sudah.
Air matanya kembali tak terbendung, tubuhnya tergoncang hebat karena menahan isak. Belaian tangan pak lek dinikmatinya.

“Kamu kenapa Dul, kok malah nangis Pak Lek datang?”
Bang Dul kembali pulih, memorinya sudah berada di halaman belakang warung buburnya. Pak lek Idris tersenyum teduh menyejukkan hatinya.

“Andai Pak Lek dulu tidak membimbingku pada Islam, aku tidak tahu jadi apa sekarang. Aku merasa jiwaku terguncang hebat 20 tahun lalu, Pak Lek. Jazakallah khoyr, Pak Lek sudah berkenan merawat dan mendidikku laiknya anak sendiri,”
“Harus berapa kali kauucap terimakasih, Dul? Aku dan almarhum bu lekmu ikhlash semata karena Allah. Apalagi kau kemenakan satu-satunya bu lekmu. Sudahlah, tak usah larut akan masa lalu yang kelabu”

“Aku bersyukur melihat usahamu yang merangkak sukses. Kutahu kau memang pekerja keras dan ulet. Kau bertanggung jawab atas hidupmu. Tugasku mengenalkanmu pada Islam, bukan semata karena aku suami bu lekmu. Lebih dari itu, menjadi kewajiban muslim untuk menyampaikan kebenaran Islam.”

“Maaf menyela, monggo Pak Lek, didahar buburnya!” Ayuna menyajikan dua mangkok bubur lengkap dengan teh hangat.
“Saya izin beberes sebentar, Pak Lek. Pelanggan sudah tidak ada.” kata Ayuna.
“Iya, Nduk. Sana segera bereskan, biar segera istirahat kalian nanti!” jawab pak lek.
Bubur dinikmati Bang Dul dengan gegap gempita. Dia selalu bahagia di dekat pak lek.
“Aku bersyukur, Dul. Kau tak tertarik berutang saat membuka usaha. Bahkan, pinjam padaku pun tidak. Hebat kamu, Dul!” puji pak lek.
“Kan, Pak Lek yang ngajari Dul,” jawab Bang Dul berapi-api.
“Kau bisa saja. Itu karena pemahamanmu, Dul. Alhamdulillah Allah berikan kemudahan pada kita untuk tidak berutang, meski tanpa riba.”

“Alhamdulillah, Pak Lek. Utang itu memang seperti candu, tabiatnya nanti akan senantiasa bertambah, apalagi jika gaya hidup selangit sementara pemasukan sempit.”
“Begaya itu namanya, Dul.”
“Betul, Pak Lek. Apalagi utang itu adalah sebuah kepastian yang dibayar dengan ketidakpastian. Belum pasti usia kita sampai pada waktu pelunasan utang, belum pasti juga rezqi yang Allah berikan akan senantiasa longgar.”

Dua insan itu larut dalam obrolan bernafaskan ideologi Islam. Ayuna hanya mendengarkan dengan setia, memunguti ilmu-ilmu dari pak lek dan suaminya. Rasa syukur yang besar menyusup dalam hati Ayuna.
Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi