Bubur Bang Dul

Serial Goyang Korona
Oleh. Afiyah Rasyad
Syaraf tegang karena berpikir sehari-hari
Otot kejang karena bekerja sehari-hari
Santai santai

Yo kita santai agar syaraf tidak tegang
Yo kita santai agar otot tidak kejang
Yo kita santai agar syaraf tidak tegang
Yo kita santai agar otot tidak kejang

Santai
Santai
Santai

Kuping Bang Dul berasa mau pecah. Maklum saja, suara sound di halaman warung Bubur Bang Dul bisa terdengar hingga radius 5 km. Rasa jengkel merayapi hati sang pemilik warung, pasalnya kerumunan tak terelakkan, sound system di acara bakal bupati itu sedari pagi buta sudah menyapa telinganya.

Kora-kora dilakukan dengan dada terguncang. Ingin rasanya segera menutup warung, namun buburnya masih ada. Di tengah wabah korona melanda, dilihatnya orang hilir mudik dan berpesta tanpa jeda. Pemandangan yang menyesakkan mata berkeliaran di depan mata, mungkin saja diiringi goyangan virus korona.

“Assalamu’alaykum, Bang Dul!”
Bang Dul menoleh ke arah suara yang sudah akrab di telinganya, suara itu terdengar sedang berlomba dengan lagu dari sound yang mendera.
“Wa’alaykumussalam warohmatullahi wabarokatuhu, Pak Haji. Lama tak berjumpa, apa kabar Pak Haji?” dijawab dan disapa dengan sangat ramah pelanggan jauhnya itu.
“Alhamdulillah, baik Bang Dul. Iya, sejak pandemi, aku selalu di rumah. Pensiunan tua macam aku nih mudah diserang virus. Aku bubur Bang, 30 kotak. Ayamnya yang banyak, ya!” Pak Haji ngeloyor ke wastafel.

“MasyaAllah, Alhamdulillah. Ada tamu, Pak Haji?” Bang Dul bertanya sembari kelihaian tangannya meracik bubur ayam.
“Oh, itu tujuh bulanan cucuku, Bang. Anaknya si Fuad.”
“MasyaAllah, sudah lahir saja. Saya baru dengar, Pak Haji. Selamat, Pak Haji!” dengan cekatan Bang Dul mengemasi kotak bubur.
“Alhamdulillah, iya Bang Dul. Makasih! Ini kok berisik sekali. Sampai ngomong teriak-teriak begini,” Pak Haji agak mengeluh.
“Iya, Pak Haji. Sudah sejak pagi tadi,” jawab Bang Dul.
“Wah, bahaya ini, Bang. Berkerumun seperti itu. Banyak yang tak pakai masker. Aduh, ngeri!” Pak Haji melihat Bang Dul kembali setelah menengok ke luar.
“Ya beginilah masyarakat bangsa kita, Pak Haji. Edukasi dan sosialisasi sangat minim. Sanksi baru-baru saja digalakkan. Itu pun tak optimal,”

“Betul, Bang. Apalagi nih Pilkada mau diadakan. Ambyar tho, nanti? Konser diperbolehkan, duh bagaimana ini? Pemerintah kok tidak serius menangani virus ini,” raut muka Pak Haji sendu.
“Lha itu merayakan syukuran karena sudah lolos sebagai paslon Cabup-Cawabup,” sahut Bang Dul resah.
“Maaf, ikut nimbrung, Bang Dul. Memang sejak awal kehadirannya, virus korona dijadikan bahan becandaan para punggawa. Perhelatan lima tahunan ini sepertinya memang mendapat lampu hijau untuk diselenggarakan. Alasannya, tak ada yang tahu kapan pandemi ini usai. Sial benar, tinggal di negeri yang terlalu abai sama keselamatan nyawa,” pria berjaket ojek online ikutan nimbrung.

“Stay at home yang pernah dijalankan sangat menyengsarakan, bagaimana tidak, rakyat kecil seperti saya tak dijamin suaka dapurnya. Bisa-bisa mati kelaparan kami. PSBB juga setengah hati. Jadi wajar saja jika bersikukuh mau menyelenggarakan pesta lima tahunan,” bang ojek kembali berceloteh.

“Nah, apa daya jika sampai Pilkada itu mengundang kerumunan massa, pakai konser pula, tentu virus korona bergoyang samba, goyang caca, apalah …,” Pak Haji semakin menampakkan kekesalannya.

“Leres, Mas, Pak Haji. Kita yang harus super waspada. Mengingat pemerintah kita cenderung abai dan tenang dengan kasus positif yang merajalela.”
Bang Dul mulai memasukkan kotak ke dalam kardus bekas dengan cermat.
“Seharusnya dalam Islam, keselamatan rakyat itu utama. Iya kan, Bang Dul? Malah Kanjeng Nabi pernah karantina wilayah total saat wabah melanda agar tak menyebar,” kata bang ojek yang menyelesaikan suapan buburnya.

“Benar, Mas Gun. Sayangnya, sekarang tak sistem Islam di muka bumi ini. Makanya pandemi ini berkepanjangan …,” Bang Dul menjawab seraya mengikat kardus.
“Sudah, Bang?” istri Bang Dul datang memotong obrolan.
“Alhamdulillah, sudah.”
“Makasih, Bang. Aku pamit dulu,” bang ojek langganan Bubur Bang Dul sudah menyerahkan uang kontan.
“Makasih juga, Mas. Hati-hati!” pesan Bang Dul mengiringi langkah bang ojek.
“Sampun, Pak Haji.”

Bang Dul mengangkat kardus hati-hati mengantar bubur ke mobil Pak Haji yang terparkir di halaman warungnya yang padat. Halaman parkir warung Bang Dul memang luas, namun padatnya kendaraan kali ini bukan pelanggannya. Namun, para tamu yang tanpa permisi langsung markir.

“Makasih banyak, Pak Haji!” ujar Bang Dul saat menerima sejumlah rupiah dari Pak Haji.
Di warung, mangkok dan gelas sudah rapi tersusun di lemari. Etalase, meja dan kompor sudah kembali bening disentuh tangan istri kebanggaannya. Semua sampah sudah duduk manis di tempatnya. Fix, Bang Dul tutup warung lebih awal. Bang Dul menggamit lengan istrinya mesra.
Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi