Bubur Bang Dul

Serial: Istri Shalihah
Oleh. Afiyah Rasyad
Setiap keindahan perhiasan dunia
Hanya isteri salehah perhiasan terindah
Setiap keindahan yang tampak oleh mata
Itulah perhiasan, perhiasan dunia
Namun yang paling indah di antara semua
Hanya isteri salehah, isteri yang salehah
Setiap keindahan perhiasan dunia
Hanya isteri salehah perhiasan terindah
Hanya isteri yang beriman
Bisa dijadikan teman
Dalam tiap kesusahan
Selalu jadi hiburan
Hanya isteri yang salehah
Yang punya cinta sejati
Yang akan tetap setia
Dari hidup sampai mati
Bahkan sampai hidup lagi
Ayuna mematut diri di depan cermin. Kerudung hijau botol membalut wajah ayu, serasi dengan oval wajah Ayuna. “Alhamdulillah,” Ayuna membalik tubuhnya hendak ikut kajian virtual.
“Astaghfirullah, sejak kapan Abang di sini?” Ayuna bersemu merah.
“Sejak ijab qobul,” jawab Bang Dul asal.
“Ih, apaan sih. Udah aku mau ngejum dulu,” Ayuna salim sama Bang Dul.
Begitulah kemesraan suami istri itu. Bang Dul bersyukur dipertemukan dengan seorang Ayuna yang mampu melengkapi kekurangannya dengan ketaatan. Meski istrinya zoom meeting di studio khusus, tetap pamitan padanya, padahal jaraknya hanya 5 meter.
Bang Dul segera membuka warung bubur kesayangan. Tak disangka sudah pada antri di luar. Untung sudah siap semua, Ayuna yang menyiapkannya. Kali ini dia ditemani Muad putra sulungnya.
Lagu Istri Shalihah Bang Haji masih mengalun di ruangan itu. Begitu tanda close diganti, para pelanggan Bang Dul berhamburan antri di depan pintu.
“Bisa duduk di luar, Mas,” Bang Dul mempersilakan dengan ramah.
Muad tak kalah sigap seperti Bang Dul. Lompat sana lompat sini mengantar pesanan ke meja makan para pelanggan. kecepatannya bagai chitah yang mengejar mangsa. Badan gempalnya seolah ringan saja dia bawa serta.
58 mangkok tersaji dalam waktu 15 menit. Kekompakan Bang Dul dan putranya semakin membuat pelanggannya jatuh cinta. Cepat, lezat, bersih dan halal thoyyib sudah menambatkan hati pelanggan pada layanan Bubur Bang Dul.
“Siapa, Bang Dul?” tanya pak Wito
“Dia anak saya, Pak,” jawab Bang Dul ramah.
“MasyaAllah, kok baru sekarang aku lihat, Pak?” lelaki berseragam coklat itu heran.
“Iya, Pak. Dia baru pulang dari menuntut ilmu.”
“Oh, berapa bulan sekali pulang?”
“Kalau kami kangen, terutama umminya, dia akan pulang, Pak. Jika tidak sibuk, sih!” Bang Dul menjawab sambil membungkus pesanan bubur.
Pak Wito mengamati Muad dengan seksama. Lelaki yang hampir pensiun itu menerawang jauh di atap, mengingat anak-anaknya sudah lama tak pulang. Si bungsu 2 tahun sudah di negeri jiran, dirinya yang mengalah menjenguk putra bungsunya itu.
“Maaf, Bang Dul. Bagaimana caranya agar anak mau pulang dengan senang. Bahkan bisa seperti siapa itu yang ganteng namanya?”
“Oh, Muad. Anak-anak kami diberi pengertian sejak kecil untuk senantiasa taat pada Allah dan Rosulnya, saling menyayangi, berbakti pada orang tua terutama ibu. Alhamdulillah, Muad dan adik-adiknya begitu karena doa dan didikan istri saya, Pak!”
“Memang saya salah, Bang Dul. Anak saya sejak kecil tidak kenal agama. Saya sebagai kepala rumah tangga melakukan kesalahan fatal. Saya biarkan istri saya terlalu sibuk di luar rumah. Anak-anak diasuh baby sitter. Sekarang mereka jauh dari saya, sudah lama tidak pulang, Bang.”
Bang Dul melihat kesedihan yang bergelantung di netra pelanggan setianya itu. Rasa simpati menyusu di hatinya, tak tega melihat orang tua yang kehilangan anaknya. Bang Dul teringat bagaimana stresnya moni, kucing kesayangan Ayuna saat tahu anak-anaknya tak ada di kardus karena dipindah. Ah tentu hati pria tegas di hadapannya ini lebih susah dari si moni, induk yang kehilangan anaknya.
“Sabar, Pak. Coba ditelpon. Sering-sering ditelpon meski hanya tanya kabar atau sudah makan lalu ditutup, jangan lupa didoakan, Pak!”
“Nah, itu Bang. Saya dan istri hampir melupakan doa. Makasih banyak, Bang. Andai tak korona, sudah saya peluk kau, Bang.”
Binar netra pak Wita semakin terang. Dadanya membuncah ingin segera menelpon anak-anaknya. Akan dicoba petuah Bang Dul itu. Dia segera pamit.
Bang Dul menatap punggung pak Wito yang kian jauh. Angannya berkelana pada kisah pak Mail yang bertemu sesorang di pesawat. Mereka duduk satu seat, pak Mail bilang bahwa laki-laki yang duduk di sampingnya merasa sedih karena ketika istrinya meninggal, tak seorang pun anaknya yang pukang.
Bang Dul menarik nafas panjang sembari memejamkan mata. Teringat kisah Uwais Al Qorni yang dikenal penduduk langit. Beliau tak pernah bersua Nabi meeski hidup di zaman Rosulullah. Namun begitu, beliau taat pada Allah dan Rosul, berbakti pada ibu tercinta.
Rasa syukur bergemuruh di dadanya, semakin bertambah dan terus bertambah. Ditatapnya Muad yang sedang asik mencuci piring. Bahkan, liburan seperti ini dia bukan istirahat, malah membantunya tanpa diminta. Lagi-lagi Bang Dul bersyukur memiliki istri seshalihah Ayuna. Istri shalihah memang sebaik-baik perhiasan dunia.
Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi