Oleh. Indah Permatahati
Laki-laki bertubuh tegap itu merapikan kembali bajunya. Menenteng tas berisi laptop serta berkas-berkas pekerjaan yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun. Hari itu, ia merapikan meja kerjanya seperti biasa. Seperti yang ia lakukan bertahun-tahun lamanya selama ia bekerja. Gedung berlantai lima itu mungkin tak akan lagi didatanginya seperti biasa.
“Pak Adi, ini surat dari yayasan, dengan ini sudah tidak ada lagi tanggung jawab kami sebagai pimpinan. Dan hubungan kita sebagai atasan dan bawahan pun sudah berakhir dengan terbitnya surat ini,” kata laki-laki berdasi itu sambil memberikan sebuah map.
“Baik Pak, saya terima surat ini,” ucap laki-laki yang diajak berbicara. Mereka saling berjabat tangan kemudian.
Laki-laki yang dipanggil Pak Adi itu menyusuri dengan gontai lorong demi lorong kantornya. Kantor yang besok sudah bukan lagi tempat kerjanya. Besok, Adi tak akan datang lagi ke tempat ini. Meski begitu, ia sempatkan diri menyapa ibu penjaga kantin, tukang parkir kantor, dan petugas cleaning servis yang hampir setiap hari ditemuinya. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terbayang wajah istri dan anak-anaknya. Betapa sedihnya jika pulang kerja ia membawa kabar buruk. Membayangkan saja ia tak kuasa. Ia begitu takut membuat keluarganya bersedih. Ia tak menyiapkan kata-kata apa pun.
Sesampainya di rumah, seperti biasa anak-anaknya menyambut kedatangan Adi dengan penuh sukacita. Keempat anak-anaknya bergantian mencium tangannya. Tak jarang mereka saling berebut ingin menjadi yang pertama.
“Ayah bawa kue?” tanya Ahmad, anak Adi yang terkecil. Ahmad selalu menanyakan hal yang sama setiap Adi pulang kerja. Adi tersenyum, ia mengeluarkan sebuah kotak kue dari dalam tasnya.
“Ini dibagi dengan kakak-kakak ya Nak,” kata Adi sambil mengelus kepala Ahmad. Sontak Ahmad sangat bahagia menerimanya. Ia segera mengajak saudara-saudanya mengerumuni kotak kue itu dan menikmatinya bersama. Melihat kerukunan anak-anaknya, Adi sangat bahagia.
“Ada kabar apa dari kantor?” tanya Linda, istrinya. Adi tak bisa menyembunyikan kesedihan yang telah ia tahan.
“Apakah ada kabar buruk?” tanya Linda lagi.
“Maafkan aku, besok aku tidak berangkat ke kantor lagi,” jawab Adi sambil menunduk tak mampu menatap wajah istrinya.
“Maksudnya bagaimana?” tanya Linda lagi, sambil mengernyitkan keningnya.
“Aku dipecat Lin, kantor melakukan perampingan pegawai. Ini surat dari yayasan tentang PHK,” Adi menguatkan dirinya menjawab semua pertanyaan Linda. Awan kesedihan kini hinggap di benak Linda. Ia seakan tak percaya, sepuluh tahun bekerja kini suaminya harus kehilangan tempat mencari nafkah.
“Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Linda lagi.
“Aku belum tahu,” jawab Adi terbata-bata.
“Ayah, ayah nggak bawa parcel dari kantor? Biasanya ayah dapat parcel menjelang lebaran,” tanya Taqiya anak pertamanya.
“Maaf ya, Sayang, Ramadan kita kali ini tanpa parcel. Ayah nggak dapat dari kantor,” jawab Adi.
“Ayah jangan sedih, mungkin besok dapatnya, Yah,” kata Fian anak keduanya menenangkan.
Adi hanya tersenyum melihat tingkah polah anak-anaknya. Kesedihan yang sengaja tak dirasakan konon akan lebh mudah hilangnya.
“Ayah, hari ini aku puasa penuh lho, adik-adik juga,” Taqiya anak pertama Adi mulai bercerita.
“Alhamdulillah, Kakak yang pinter, jadi contoh yang baik untuk adik-adik,” jawab Adi.
“Iya, Ayah, aku selalu ingat kata Ayah agar puasa kuat, aku memohon kekuatan dari Allah,” jawab Taqiya sambil tersenyum.
“Anak hebat, semoga Allah mudahkan untuk menjadi anak soliha ya, Nak,” jawab Adi lagi.
“Adik-adik tadi bantu Ibu menyiapkan menu berbuka, Yah, sekarang kami mau bersiap ke masjid dulu, ya,” pamit Taqiya. Belum sempat Adi menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum,” Terdengar tamu itu berucap salam.
Ternyata ada kurir mengantar sebuah bingkisan. Bingkisan ini dialamatkan kepada Adi, tapi pengirimnya meminta untuk dirahasiakan identitasnya.
Maa syaa Allah, semua bahagia. Adakalanya Allah menutup satu pintu rizki dan membuka pintu rizki lainnya.