Bab III Berawal dari Kartu Kredit

Oleh. Yulweri Vovi Safitria

“Untuk apa sih, Pak, pakai kartu kredit segala, sama saja dengan kita berutang ke bank, belum lagi bunganya yang tinggi, nanti bagaimana membayarnya?” Imah bertanya kepada laki-laki berwajah China dan bertubu mungil itu. Laki-laki yang telah 15 tahun bersama Imah hingga mereka memiliki enam orang anak.

Perasaan Imah belakangan ini merasa tidak enak dengan gaya, pergaulan, dan penampilan Pri yang makin perlente. Bukan itu saja, gaya Pri yang belakangan suka kongkow dengan teman-teman satu section di perusahaan tempat ia bekerja, serta menggunakan kartu kredit, sudah cukup membuat Imah geram, Imah tidak suka, namun ia tak berdaya. Imah serba salah, mau marah untuk apa, sebab uang tersebut adalah gaji Pri, namun bila dibiarkan, akan membuat gajinya habis untuk hal-hal yang mubazir. Sementara anak-anak semakin besar dan akan butuh biayabesar pula.

“Tadi ada teman Bapak yang ngajak bikin kartu kredit, jadi, ya Bapak ikutan, sekali-kali kita pakai kartu kredit, kan nggak ada salahnya,” ucap Pri sambil melepaskan seragam kerjanya dan berlalu ke depan televisi untuk menonton pertandingan sepak bola U19 Indonesia melawan Singapura.

Imah memandangi punggung Pri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Imah merasa kehilangan sosok Pri yang dulu, tak neko-neko, penampilan apa adanya. Entahlah, apa faktor usia yang membuat Pri berubah. “Laki-laki ketika memasuki usia 40 tahun akan berubah, ia merasa dirinya kembali muda, jadi ia akan berpenampilan seperti anak muda.” Tiba-tiba Imah ingat ceramah Ustazah Aisyah tempo hari.

Padahal sebelum menikah, Pri yang mengajak Imah untuk menutup auratnya, menjelaskan bahwa menutup aurat adalah kewajiban seorang wanita muslim yang telah baligh. Imah pun bersedia memenuhi permintaan Pri.

Usia yang terpaut cukup jauh tidak menghalangi Pri untuk meminang Imah, wanita asal Bandung, Jawa Barat. Pri yang berusia lebih muda memang tampak masih kekanak-kanakan, namun seiring mereka memiliki anak, sifat Pri berubah total. Dewasa dan bersifat layaknya seorang bapak yang menyayangi keluarganya.

Namun, kini semua berubah. Pri kembali seperti masa mudanya. Tidak hanya bergaul dengan teman lelaki, teman wanitanya pun ada.

“Ketika memasuki usia 40 tahun, apalagi jika memiliki materi lebih, jabatan, maka laki-laki akan menunjukkan kekuasaannya, dan itu wajar terjadi, memang fitrahnya laki-laki dijadikan Allah seperti itu,” suara Ustazah Aisyah kembali terngiang-ngiang di telinga Imah pada kajian keluarga sakinah yang beberapa waktu lalu dihadirinya di masjid yang tidak jauh dari rumahnya.

**
Imah menata camilan ringan di keranjang jualan. Meski gaji Pri besar, Imah tetap menitipkan kue-kue kering dan kue basah di kantin perusahaan tempat suaminya bekerja. Pekerjaan yang ia lakoni sejak mereka menikah, Imah beruntung, karena ia dulu juga karyawan di perusahan ini, maka dengan mudah kantin perusahaan menerima barang dagangan Imah.

“Mana yang mau Kakak bawa ke sekolah, Bu?” Naswa bertanya kepada Imah. Sang putri sulung selalu membawa barang dagangan ibunya setiap hari untuk dijual di sekolah. Tak ada rasa malu sedikit pun, di mana anak usia ABG lebih senang meminta pada orang tua, atau menunggu jatah belanja setiap bulannya.

“Kakak bawa banyak saja Bu, hari ini nggak belajar, pasti banyak yang jajan.” Senyum sumringah terpancar dari bibir anak perempuan 16 tahun itu. Perasaan optimis akan mendapatkan penghasilan lebih, padahal uang saku dari Pri cukup untuk jajan sehari. Namun, hasil keringat dari usahanya sendiri lebih ia harapkan, termasuk rasa bangga bisa membantu ibunya meski mereka bukanlah keluarga kekurangan.

**
“Tadi Teteh melihat Pri bersama perempuan, ada beberapa orang laki-laki dan perempuan. Sepertinya teman-teman sesama pekerja, tapi Teteh masih ragu, apakah itu memang Pri atau orang lain yang mirip dengannya,” Suara Teteh di ujung telepon tidak begitu mengagetkan Imah. Informasi ke sekian kalinya yang Imah dapatkan sejak Pri memiliki kartu kredit.

Bahkan beberapa waktu lalu, Imah menerima panggilan telepon dari seorang perempuan di ponsel milik Pri. Walaupun mengaku sebagai teman satu perusahaan, namun naluri Imah sebagai seorang perempuan dan istri tidak bisa dibohongi. Mungkinkah Pri punya wanita idaman lain?

Imah hanya mendiamkan saja perilaku suaminya, ia tidak mau ribut, malu dengan anak-anak yang sudah beranjak remaja.

“Mungkin salah orang, Teh,” jawab Imah menggantung. Ia berusaha menjaga nama baik suaminya, meski Pri sudah bertindak di luar batasan normal.

“Atau kalau iya, mungkin ada acara perusahaan, jadi mereka rame-rame,” Tambah Imah untuk meyakinkan Teteh.
“Mungkin juga, ya.” Balas Teteh meyakinkan dirinya sendiri.

“Ya, sudah, kamu baik-baik ya, kalau ada apa-apa dengan Pri, atau Pri berbuat macam-macam, jangan sungkan cerita pada Teteh. Kamu itu sudah kami anggap seperti keluarga sendiri.” Teteh mengingatkan Imah sebelum menutup telepon.

Imah terdiam, bingung antara menceritakan perilaku Pri atau menyembunyikan dengan menahan sendiri. Bagi Imah, ini adalah urusan rumah tangganya. Imah takut jika ia bercerita, akan membuka aib yang semestinya ia tutupi. Sementara pada anak-anaknya saja Imah tidak mau bercerita.

Imah tidak ingin anak-anaknya tahu mengenai kelakuan Pri. Baginya, Pri adalah bapak yang sempurna, itu harus ia pesankan untuk keenam anaknya, bapak yang berjuang untuk menafkahi mereka.

**
Imah kaget melihat motor keluaran terbaru terparkir di bagasi rumahnya. Tadi, sebelum berangkat ke pengajian, rumahnya sepi, sebab anak-anaknya belum pulang dari les privat. Sementara Pri pamit ke luar mau cari makan.

Imah celingak-celinguk melihat sandal, tapi tidak ada tamu, hanya ada sandal Pri. “Apakah Bapak yang beli?” Imah bertanya pada dirinya sendiri.

Tanpa sadar Imah memegang motor mewah keluaran Benelli tersebut, jika Imah taksir harganya sekitar 30 jutaan lebih. Imah terpaku berdiri. “Bapak pakai uang siapa untuk membeli motor semahal ini,” Batin Imah bernyanyi.

Pertanyaan yang tidak sanggup diajukan kepada Pri. Imah membayangkan kartu kredit yang selalu menjadi andalan Pri untuk membeli barang-barang branded yang sesungguhnya tidak perlu ia beli, toh masih ada motor yang masih bagus, sehat, yang bisa dipakai untuk berangkat kerja.

Baru kemarin Pri memeragakan ponsel keluaran terbaru, sepatu keluaran terbaru. Setelah beberapa hari sebelumnya, Pri juga memamerkan satu stel baju bermerk dan tas bermerk keluaran terbaru. Semua harga-harga barang branded tersebut cukup untuk belanja keperluan keluarga sebulan. Sifat konsumtif Pri semakin meningkat. Padahal, harga-harga tersebut hampir separuh dari gaji Pri.

Imah tidak sanggup membayangkan utangnya di kemudian hari. Mendadak Imah pusing memikirkan itu semua, dunianya berputar, tubuhnya ambruk di depan motor mewah yang baru saja dibeli.

Bersambung ..

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi