Oleh. Yulweri Vovi Safitria
Sudah enam bulan lebih Pri dirumahkan, aturan WFH tidak bisa diterapkan pada perusahaan tempat Pri bekerja. Sebab, perusahaan milik asing tersebut bergerak di bidang produksi yang langsung melibatkan para pekerja.
Produksi kue basah buatan Imah juga harus terhenti, sejak petugas menemukan pasien covid-19 yang tertular melalui jajanan produksi rumahan di wilayah Bukit Seraya. Meski bukan buatan Imah, namun rasa khawatir menghantui dirinya.
Warung kue, tempat Imah biasa menitipkan kue-kuenya pun tutup, tidak tahu sampai kapan. Tidak ada kepastian terkait aturan yang diterapkan, sementara korban virus mematikan terus berjatuhan.
Untuk ke sekian kalinya, ujian hidupnya terasa amat berat bagi Imah, setelah jatuh, diinjak, diempaskan berkali-kali, bahkan ditabok kanan kiri. Begitu Imah memberikan perumpaan untuk hidupnya yang rumit.
**
Selang beberapa bulan, pemerintah mengeluarkan PPKM level tiga dan empat, artinya Pri sudah bisa bekerja kembali, dengan jumlah karyawan yang dibatasi setiap hari. Namun, rasa khawatir terus menghantui laki-laki itu, bila produksi menurun, maka perusahaan terancam bangkrut. Pri hanya mampu berdoa, semoga perusahaan Amerika tersebut masih menjadi wasilahnya mencari rezeki untuk menghidupi keluarganya.
“Bu, nama Bapak termasuk dalam salah satu dari karyawan yang bakal di-PHK bulan depan,” ucap Pri memulai obrolannya. Imah tidak begitu kaget, karena sudah diprediksi, keadaan tersebut bakal terjadi.
Wabah covid-19 yang menghantam negeri berdampak bagi perekonomian masyarakat Batam, tidak terkecuali bagi sejumlah perusahaan elektronik. Begitu pula perusahaan tempat laki-laki itu mengais rezeki.
“Tapi Bapak diajukan dua pilihan Bu, tetap bekerja tetapi dengan gaji sesuai UMK karyawan baru, dan kontrak baru, atau di-PHK dengan menerima pesangon, sesuai gaji selama Bapak bekerja.” Pri melanjutkan obrolannya sambil menatap Imah meminta pendapat sang istri.
“Menurut Bapak bagaimana?” Imah balik bertanya, karena ia tahu kalau Pri sudah tahu jawabannya sebelum membicarakannya dengan Imah.
“Bapak memilih di-PHK, Bu. Daripada kontrak baru, otomatis Bapak bukan karyawan permanen lagi, sewaktu-waktu bisa diputus kontraknya, jika perusahaan tidak membutuhkan tenaga Bapak lagi. Apalagi usia Bapak semakin bertambah. Ibu setuju ‘kan jika Bapak menerima tawaran itu?”
Imah mengiyakan pertanyaan sang suami. Tentu saja menerima tawaran PHK lebih baik ketimbang bertahan. Mereka bisa memulai usaha sendiri jika pesangon Pri sudah diterima.
Dan Pri tidak mungkin selamanya jadi pekerja. Mereka harus membuat sejumlah rencana untuk masa depan keenam orang anaknya.
**
Imah sudah berangkat mengajar, sedangkan Pri bersiap-siap pula untuk membuka toko kelontong miliknya. Toko tersebut disewa Pri dari laki-laki berdarah Cina. Sang pemilik toko juga memilih untuk menjual semua isi tokonya kepada Pri dengan harga suplier, sehingga Pri masih bisa memiliki untung lebih. Pesangonnya masih tersisa untuk tabungan pendidikan anak-anaknya.
“Bu, bagaimana kalau Ibu berhenti saja mengajar. Ibu bantu-bantu Bapak di toko. Pembeli lagi ramai-ramainya Bu, Bapak kewalahan,” ucap Pri sambil menikmati ronde bikinan Imah.
Meski terbilang baru, toko Pri sangat ramai dikunjungi. Kadang, laki-laki itu kewalahan melayani pembeli sendirian. Walaupun sudah dibantu putri keempatnya setiap hari sepulang dari sekolah.
Imah tidak menolak permintaan Pri, ia pun menyetujuinya. Kerut lelah mulai tampak di wajah Pri, meski baru beberapa bulan tokonya beroperasi. Imah membayangkan betapa lelahnya laki-laki tersebut mondar-mandir melayani pembeli. Sangat berbeda dengan pekerjaan Pri dulu, hanya duduk dan memastikan barang oke. Dan jika dirinya berhenti mengajar, ia akan memiliki banyak waktu untuk berjualan.
“Ibu sambil jualan makanan matang ya, Pak?” Imah begitu antusias, lebih tepatnya ambisi yang begitu kuat untuk hidup lebih baik. Imah selalu berusaha untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Pri hanya tersenyum memandang wajah Imah. Keringat masih menempel pada wajah perempuan yang sudah berusia kepala empat itu. Wajahnya makin sedikit gelap setelah hampir dua tahun mengayuh sepeda saat berangkat pergi dan pulang mengajar.
Walaupun lelah, Imah tidak pernah mengeluh. Imah menganggap bersepeda sebagai olah raga untuk terapi kesehatan asmanyanya. Terbukti selama Imah mengajar, asmanya tidak pernah kumat, begitu pula alergi terhadap benda-benda berbau tajam. Tubuhnya terasa sehat sempurna.
**
Imah menikmati pekerjaan barunya, membantu sang suami di toko. Pri sengaja membelikan satu etalase makanan untuk tempat Imah menjual masakannya. Berangkat pagi dan pulang hingga magrib menjelang. Dengan begitu, Imah dan Pri masih bisa ikut pengajian di masjid ataupun berkumpul dengan warga, RT atau RW, sesuatu yang tidak pernah Pri lakukan semasa ia masih bekerja di perusahaan.
“Sudah beberapa minggu ini, toko kita sepi pembeli ya, Pak.” Imah mengeluhkan kondisi tokonya yang sudah beberapa minggu belakangan sepi. Padahal, toko yang menjual produk seperti yang mereka jual, hanya toko milik mereka satu-satunya.
Rasa khawatir mulai menghinggapi Imah. “Baru juga tiga minggu, Bu,” ucap Pri berusaha menenangkan Imah. Pri beranjak dari tempat duduknya menuju meja tempat penyimpanan nota belanja toko mereka.
Masih ada beberapa tagihan barang yang belum dibayar lunas ke suplier. Pri pun mengecek stok, menghitung apakah balance antara stok dengan nota tagihan. Pri meniliti satu persatu dengan bantuan Imah.
Pri menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan, gurat kecemasan tampak di wajahnya yang lelah. Suara hatinya tidaklah sama dengan lisannya yang terucap pada Imah. Ada perasaan tidak menentu menghantui Pri. Pri pasrah, berserah atas semua apa pun yang terjadi nanti.
Sementara Imah tidak kalah cemas, meski sudah pernah merasakan di titik terendah, Imah tetap khawatir memikirkan keluarganya. Terutama masa depan keenam buah hati mereka.
Bersambung …