Bab 7 Titipan Allah

Oleh. Yulweri Vovi Safitria

Pri dan Imah berkemas-kemas, begitu pula dengan anak-anaknya. Keputusan mereka untuk menjual rumah dan pindah ke rumah yang lebih sederhana adalah keputusan yang tepat. Meninggalkan rumah yang penuh dengan sejuta kenangan dan memulai hidup baru kembali di rumah yang baru nanti.

Mereka beruntung, Teteh bersedia membeli rumah Pri dan Imah dengan harga yang pantas. Perempuan itu tidak menolak harus membeli cash, karena paham Pri butuh uang untuk melunasi utang-utangnya yang bejibun.

Uang sisa penjualan rumahnya masih bisa untuk membeli sebuah rumah yang lebih kecil. Imah tidak banyak berkomentar, yang penting utang Pri lunas, meski rumahnya harus terjual, termasuk sepeda motor Benelli kesayangan Pri.

Rumah baru yang jauh dari kata mewah, setara dengan harga tentunya. Imah berharap Pri mulai fokus bekerja dan berjanji untuk berubah dan memperbaiki diri seperti janjinya pada Imah. Kali ini, Pri terlihat bersungguh-sungguh. Begitu penilaian sang istri.

Imah tidak membantah, harta hanyalah titipan-Nya yang sewaktu-waktu akan diambil oleh yang punya. Harta juga ujian baginya, Imah teringat bagaimana sang suami terlena dan terjatuh karena harta. Hanya kesabaran Imah yang mampu membantu Pri bangkit dan mengarahkannya kembali ke jalan yang benar.

Kini, harta tersebut sudah diambil kembali, apakah karena Pri lalai dan tidak amanah dalam menggunakannya, entah karena apa. Yang pasti itu adalah rahasia-Nya. Namun, Imah masih bersyukur karena Allah masih memberi kesempatan sang suami untuk berubah menjadi orang benar.

“Sudah semua Bu? Mobilnya sudah datang.” Ucapan Pri membuyarkan lamunan Imah. Ia bersegera memereskan barang-barang sisa yang tinggal tidak seberapa karena sudah berulang kali diangkut pick up.

Pindah rumah adalah hal yang paling Imah tidak suka, apalagi barang bawaannya banyak. Capek juga lelah. Capek berbenah sebelum dan sesudahnya, tapi mau bagaimana, ini bagian dari perjalanan hidupnya dalam berumah tangga.

**
“Bu, kuenya sudah siap semua? Biar segera Bapak antar.” Ucap Pri dari arah kamar. Pri terlihat bersemangat membantu Imah.

“Bapak istirahat dulu sana, semalaman belum tidur lho! Ibu bisa naik sepeda.” Imah menolak tawaran sang suami. Imah bergegas menyiapkan sarapan untuk Pri, lalu pamit untuk mengantarkan kue-kue basah bikinannya untuk dititipkan ke warung-warung kue yang berada tidak jauh dari rumah mereka.

Sedangkan Pri baru pulang bekerja, dan belum beristirahat, karena semalaman laki-laki itu kebagian kerja shift malam. Imah mencium tangan sang suami dan berlalu sambil menenteng keranjang berisi kue.

Pri menikmati sarapannya, sederhana dan tidak mewah seperti makanan sebelum-sebelumnya. Namun, Pri sangat menikmati, sebab cinta Imah yang begitu ikhlas dan tulus untuknya.

Sangat berbeda dengan teman-teman yang selama ini bersamanya, berteman hanya karena Pri kaya, dan loyal dalam belanja. Sementara Imah, rela melakukan apa saja untuk menyelamatkan suaminya.

Pri baru menyadari semua itu ketika ia sudah kehilangan harta. Satu per satu menjauh, apalagi saat Pri dikandang di kantor polisi, tidak seorang pun yang sudi mengunjungi. Benar kata petuah ibunya, “Kita akan tahu teman sesungguhnya, kala diri kita ditimpa kesusahan, seorang teman yang baik akan setia, dan yang bukan akan menjauh.”

Netra Pri basah mengingat pengorbanan Imah. Sementara dirinya sempat melalaikan keluarga, istri juga anak-anaknya. Pri membiarkan air matanya mengalir, rasa asin menyeruak di tiap suapan makanan yang masuk ke mulut. Sudah lama sekali dirinya tidak menangisi segala kesalahan yang sudah diperbuat. Bahkan, Pri sudah lupa, kapan terakhir kalinya ia menangis.

Pri menyudahi makannya, dan membereskan meja makan, sebagaimana yang dilakukan Imah. Ia tak lagi sungkan membantu sang istri, sama seperti awal-awal keduanya menjadi pengantin baru.

**
“Ada sekolah teman saya yang sedang membutuhkan tenaga untuk mengajar anak-anak Paud, apakah Ibu bersedia? Gajinya lumayan Bu, meski bukan UMK.” Teteh memberi kabar kepada Imah.

Perempuan itu selalu saja punya cara untuk membantu Imah. Bak malaikat penolong yang selalu membantu Imah. Apalagi Teteh tahu, Imah punya pengalaman mengajar TK sebelum bekerja menjadi karyawan perusahaan, meskipun hanya beberapa bulan saja.

“Tapi, apa iya saya bisa Teh, saya sudah lama nggak bergaul dengan anak-anak.” Imah memberi alasan. “Memangnya anak Bu Imah bukan anak-anak?” Tanya Teteh sambil tertawa, “Diterima saja, siapa tahu ini menjadi jalan rezeki Bu Imah dan keluarga.” Ucap Teteh setengah memaksa.

Imah belum memberikan keputusan. Ia perlu izin dulu dengan Pri. Namun Imah yakin, laki-laki tersebut akan menyetujui keputusannya. Mengajar anak-anak tidak akan begitu menyita waktunya, apalagi hanya dua jam saja setiap harinya.

“Pak, Teteh menawari Ibu untuk mengajar anak-anak Paud, bagaimana menurut Bapak? Tapi belum Ibu iyakan, menunggu persetujuan Bapak,” Imah berkata, meminta pendapat sang suami.

“Memangnya Ibu sanggup? Ibu kan harus bikin kue, mengurus anak-anak juga.” Bukan menjawab, Pri balik mengajukan pertanyaan.

“Insyaallah sanggup Pak, kan ada Kak Naswa yang bisa bantu-bantu Ibu.” Imah tersenyum sambil melirik Naswa yang sedang belajar. Sang putri sulung mengangguk mengiyakan permintaan sang ibu.

“Ya sudah, Bapak ikut saja.” Pri menyetujui permintaan Imah. Imah bergegas meraih telepon selulernya untuk mengabarkan Teteh, sebelum posisi tersebut ada yang menempati.

Imah senang juga bahagia, pengharapannya untuk mendapatkan rezeki lebih terselip mengisi relung hatinya yang paling dalam.

**
Pagi-pagi sekali Imah sudah berkutat di dapur. Bangun sebelum subuh untuk menyiapkan kue-kue basah yang akan dibawa Pri ke tempat ia bekerja. Sementara putri sulungnya, bangun saat azan subuh berkumandang. Dengan sigap, Naswa membantu ibunya, menata kue-kue tersebut ke dalam keranjang. Semua dagangannya harus siap sebelum semua penghuni rumah berangkat.

Putri kembarnya menyiapkan kebutuhan adiknya, termasuk dua adik laki-laki yang akan berangkat ikut Imah ke sekolah, di mana Imah mengajar. Semua kebagian tugas.

Imah begitu bersemangat, begitu pula Pri. Semoga ini adalah awal yang baik. Semoga ini adalah pilihan yang tepat. Imah bersenandung lirih.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi