Oleh. Yulweri Vovi Safitria
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, tapi Pri tidak kunjung pulang. Imah khawatir sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada Pri. Meskipun sang suami sering ke luar rumah, paling lama hingga pukul 22.00 WIB, apalagi Pri sudah berangkat kerja dari pukul 6.00 pagi.
Sementara telepon seluler Pri tidak bisa dihubungi. Hujan badai dan petir menghiasi langit kota. Sedangkan Pri tidak tahu keberadaannya.
Imah berusaha menelepon teman-teman Pri, tapi mereka tidak mengetahui ke mana laki-laki itu pergi. Pri raib tanpa kabar berita. Perasaan tak menentu mengaduk-aduk hatinya. Imah berusaha menenangkan dirinya, hingga dini hari. Ia pun terlelap di ruang tengah karena menunggu kedatangan sang suami.
**
Imah dikejutkan dengan kedatangan dua orang dari pihak Polresta Barelang. Entah mimpi buruk apa Imah semalam, pagi-pagi seperti ini harus berhadapan langsung dengan aparat kepolisian.
Salah seorang dari aparat yang memakai pakaian nonresmi tersebut menyerahkan amplop berwarna putih. Imah menerimanya dengan tangan sedikit gemetar.
Imah membaca detail surat yang diserahkan oleh polisi, nama Pri tertulis jelas di kertas berwarna putih tersebut. Apa yang Imah khawatirkan selama ini, akhirnya terjadi juga.
Benarlah kata pepatah, laki-laki akan selalu diuji dengan harta, tahta, dan wanita. Imah melipat kembali kertas tersebut. “Terima kasih, Pak, nanti saya segera ke sana.
**
Imah mendatangi Polresta Barelang, tempat Pri ditahan. Imah diantar Teteh, perempuan yang selama ini sudah dianggapnya seperti saudara pengganti orang tuanya.
Pri ditangkap pihak kepolisian karena kedapatan bersama-sama dengan perempuan di Taman Seribu Janji yang tak jauh di lokasi perusahaannya. Mereka bukan hura-hura, tapi sedang makan bersama, dan menurut Pri mereka bukan berduaan, tapi dengan banyak karyawan lain yang jumlahnya puluhan orang. Tapi entah kenapa, mereka semuanya ditangkap dan digelandang ke Polresta Barelang.
Apa pun alasannya, kelakuan Pri tidak bisa diterima Imah. Imah ingin menumpakan segala rasa amarahnya melihat tingkah laku Pri, Imah kecewa, marah, sekaligus sedih, tapi di sini kantor polisi. Sejenak Imah teringat anak-anaknya yang sudah beranjak remaja.
Setelah berbicara dengan pihak kepolisian, Pri diizinkan pulang, karena ada Imah yang memberikan jaminan, bahwa Pri memiliki keluarga, dan kehadiran mereka di Taman Seribu Janji untuk merayakan kesuksesan tim mereka yang telah melebihi target produksi. Entah benar atau tidak, untuk saat ini Imah harus percaya, yang penting suaminya bisa pulang ke rumah.
**
“Cukup sekali ini saja Bapak berurusan dengan polisi. Aku tidak mau kejadian yang sama terulang kembali.”
“Lagian, ngapain sih, Bapak kumpul-kumpul dengan perempuan, Bapak masih paham kan bahwa itu dilarang dalam agama kita, haram hukumnya Pak. Atau Bapak sudah lupa dengan syariat kita?” Kemarahan yang sedari tadi ditahan Imah, akhirnya tumpah juga setelah sesaat mereka sampai di rumah. Tak ada lagi Imah yang lembut sebagaimana khasnya. Mukanya merah menahan tangis dan juga amarah.
Imah tak lagi peduli, apakah ia pantas memarahi laki-laki yang telah menjadi imamnya belasan tahun lamanya. Namun, tingkah Pri benar-benar membuat Imah naik pitam.
Pri tidak punya nyali untuk membela diri. Ia pun sadar, bahwa itu sebuah kesalahan. Kesalahan fatal selama hidupnya. Namun, entah setan apa yang merasuki hatinya, sehingga perilakunya seakan tidak bisa dikontrol.
“Apalagi taman itu, semua orang pun tahu banyak maksiat di sana. Ini Bapak malah sengaja ke sana.” Imah benar-benar marah. Pri hanya diam, ia menjadi terdakwa yang tidak bisa berkutik dalam persidangan.
Imah melepaskan semua hal yang mengganjal hatinya selama ini. Imah pikir suaminya sudah berubah dan kembali pada keluarga, nyatanya tidak jua berbeda.
“Tapi, Bapak tidak melakukan apa-apa Bu, hanya makan dan minum, itu pun bukan berdua, tapi ramai-ramai. Banyak juga yang lainnya.” Pri berusaha membela dirinya, meskipun Imah tidak sudi menerima alasan apa pun yang ke luar dari lisan Pri.
Pri salah, kenapa harus ada perempuan di sana. Begitu alasan Imah. Andai saja Pri mampu menjaga pergaulannya, andai saja nasihat Imah dindahkan, tentu kejadiannya tidak akan seperti ini. Imah terus berandai-andai.
**
Telepon rumah Imah berdering berulang kali, Imah yang baru selesai salat duha, setengah berlari menuju meja telepon. Dari ujung telepon terdengar suara laki-laki yang menanyakan keberadaan Pri.
“Kami dari pihak bank, mau menanyakan pembayaran kartu kredit Bapak Pri yang sudah 6 bulan tidak dibayar. Nomor telepon ini tertera di data yang diberikan Bapak Pri waktu mengajukan kartu kredit. Apakah betul ini dengan keluarga Bapak Pri?” Suara di ujung telepon terdengar jelas.
Imah pun mengiyakan, sembari menanyakan total tagihan kartu kredit Pri. Imah kaget bukan kepalang dengan nominal yang disebutkan petugas tersebut. Jika dikalkulasikan, totalnya senilai dengan tiga per empat harga rumah yang mereka miliki, belum lagi bunganya. Imah beristighfar berulang-kali.
Imah meminta petugas tersebut untuk menghubungi Pri melalui ponselnya, atau melalui telepon perusahaan. Sang petugas pun menutup sambungan teleponnya, dan berjanji akan menelepon kembali, jika Pri masih tidak bisa dihubungi.
Imah tertegun di depan meja telepon, otaknya terasa mendidih, panas menahan amarah. Selesai masalah satu, timbul masalah baru. Seolah tidak pernah berhenti, semua karena ulah Pri. Iman membatin. Sontak perempuan itu tersadar dan mengucap istighfar.
Jika tagihan kartu kreditnya tidak dibayar, lalu ke mana uang gaji Pri selama enam bulan? Apakah Pri punya aset lain di luar, selain yang ada di rumah ini? Atau uangnya habis untuk kongkow bersama teman-temannya? Berbagai pertanyaaan mengganjal hati Imah, namun ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa, bertanya pada Pri? Tentu hal yang mustahil. Jawaban laki-laki itu tidak pernah memuaskan Imah. Pri punya seribu alasan untuk setiap pertanyaan yang Imah lontarkan.