Bab 4 Gaya Hedon

Oleh. Yulweri Vovi Safitria

Sifat konsumtif Pri semakin hari semakin menjadi. Gaya hidupnya pun tak bisa dinalar lagi. Bahkan, jatah Imah dan anak-anaknya pun perlahan dipangkas untuk memenuhi hidup hedonnya.

Pri mulai banyak menghabiskan waktu di luar rumah ketimbang berkumpul dengan keluarganya. Makin terasa sekat antara Pri dan Imah beserta anak-anaknya.

“Pagi-pagi begini sudah rapi, Bapak mau ke mana, kan baru saja pulang kerja, masa nggak istirahat,” ucap Imah saat melihat Pri yang sudah berdandan rapi. Padahal, ia baru saja pulang kerja pagi karena semalam jadwalnya shift malam. Harusnya Pri istirahat setelah semalaman bekerja.

“Tadi, Bapak janjian dengan teman-teman, ada kolam pemancingan baru di Bukit Mata Kucing, jadi Bapak mau ke sana,” ucap Pri sambil memasang jacket kulit branded yang baru beberapa hari lalu dibelinya.

Lagi-lagi, Pri berkumpul untuk hal-hal yang tidak penting. Aroma praktik judi tercium dari gelagat Pri. Imah paham, apa yang akan dilakukan Pri bukan sekadar memancing, dan itu jamak diketahui, memancing di kolam pemancingan akan berujung judi.

“Tapi, Pak, apa nggak sebaiknya memancing di danau saja,” Imah bertanya diplomatis.

“Nggak seru, Bu, ikannya lama, baru tertangkap, udah gitu, ikan di danau kan sudah tidak sehat lagi, karena banyaknya yang beternak babi di sepanjang aliran danau,” ucap Pri memberi alasan. Meskipun alasan Pri benar adanya, tetap saja Imah tidak menginginkan Pri pergi ke kolam memancing.

“Ya, tidak usah memancing, lebih baik di rumah. Mumpung Ahad, Bapak sudah lama lho nggak main dengan anak-anak, pasti mereka senang.” Imah berusaha mengeluarkan semua jurusnya agar Pri tidak jadi berangkat.

Pri bergeming, ia berlalu ke luar rumah dan memasang sepatu sport kesayangannya, menyiapkan alat pancingan, serta pamit beranjak menaiki kuda besi yang bersih mengkilap, tanpa noda.

Imah mematung di depan pintu, sambil memandangi punggung suaminya yang sudah menjauh.

Kegundahan Imah makin menjadi, ia bingung mau berbagi cerita kepada siapa. Imah dan Pri bukanlah pasangan muda yang baru menikah yang masih labil dalam menghadapi berbagai masalah rumah tangga. Mereka pasangan sudah menginjak usia tua, rasanya kurang pantas menceritakan masalahnya pada orang lain.

Namun, Imah tidak bisa membantah, batinnya butuh teman untuk cerita, tempat ia mencurahkan semua persoalannya, teman yang bisa menjaga nama baik ia dan suaminya. Tapi siapa? Pada keluarga, orang tua? Tentu saja tidak mungkin. Sama saja dengan Imah membangun penilaian negatif pada keluarganya, terhadap Pri. Imah tidak ingin hal itu terjadi.

**
“Saya khawatir kalau ia ikut minum-minum, Bu.” Pertahanan Imah akhirnya jebol juga. Imah menceritakan persoalan dan perubahan tingkah laku Pri pada Ibu mertuanya, Ibu Pri. Di antara banyaknya anggota keluarga, Imah memilih curhat kepada ibu mertuanya. Menurutnya, itu lebih aman ketimbang curhat kepada ibunya sendiri. Bisa-bisa berujung perceraian, sebab sang ibu akan membela anak perempuannya, apalagi melihat perlakuan Pri.

“Nanti, Ibu bicara sama Pri, kamu tidak usah mikir yang aneh-aneh, ya, kalau sampai Pri macam-macam, Ibu yang marahi dia,” Suara sang mertua sedikit menenangkan Imah. Tidak ada pembelaan seorang ibu untuk anak laki-laki yang telah melalaikan keluarganya.

Imah sedikit lega, ia berharap masalah yang membelit keluarganya bisa terurai perlahan dengan bantuan ibu mertuanya.

**
“Ibu tidak suka, tidak sepatutnya kamu memperlakukan keluargamu seperti itu. Kamu itu pemimpin keluargamu, di mana tanggung jawabmu? Ingat Pri, Imah yang menemani kamu, mulai dari nggak ada hingga kalian punya segalanya. Apa kamu tega melalaikan mereka.” Sayup-sayup Imah mendengar suara ibu mertuanya sedang berbicara melalui sambungan telepon.

Imah menuju ruang tengah, terlihat Pri sedang berbicara. Pri melirik Imah sekilas lalu kembali fokus mendengar nasihat ibunya. Karena tidak mau menggangu, Imah balik arah menuju dapur. Menyiapkan sarapan untuk Pri dan keenam anaknya.

“Memangnya Imah cerita apa sama, Ibu,” Pri balik bertanya pada sang ibu. Cerita yang jelek-jelek ya tentang aku,” tanya Pri menggoda ibunya.

“Apa yang Imah ceritakan tidak perlu kamu ketahui, yang pasti, Ibu akan selalu mengingatkan kamu, menasihati kamu, bila kamu salah langkah. Ibu tdak ingin kamu menjadi suami sekaligus ayah yang zalim pada keluarganya,” Nasihat bijak sang ibu. Wanita berusia 60 tahun itu memilih tidak menceritakan apa pun mengenai curahan hati menantunya.

Sebagai seorang ibu yang telah mengandung dan membesarkan Pri, sang ibu paham betul tabiat anak laki-lakinya, sekecil apa pun itu. Maka, nasihat adalah lebih baik ketimbang menceritakan aduan menantu pada anaknya agar rumah tangga mereka tetap rukun dan tidak melanggar agama.

**
Imah sedikit bergembira. Kebiaasan Pri perlahan mulai berubah semenjak dapat wejangan dari ibunya. Pri mulai banyak menghabiskan waktu di rumah. Perubahan yang drastis itu tak pelak menimbulkan sejumlah tanya di benak Imah. Bukan Imah tidak bersyukur dengan perubahan sikap sang suami. Namun berubah tiba-tiba meski diawali dengan nasihat sang bunda, bukan sesuatu yang lazim menurut pandangan Imah.

“Tumben Pak, nggak ke luar? Ini kan libur,” Rasa penasaran terhadap sikap suaminya tidak bisa ditutupi Imah begitu saja. Pri tidak mengalihkan perhatiannya dari gawai keluaran terbaru yang baru satu bulan yang lalu ia beli.

“Bapak lagi malas ke luar, apa lagi cuaca mendung begini, khawatir turun hujan,” ucap Pri beralasan. Imah hanya menggeleng perlahan mendengar alasan tak masuk akal suaminya.

Tidak seperti biasanya, mau hujan atau panas, Pri tetap sibuk di luar, Imah tidak tahu sama sekali apa yang dikerjakan Pri di luar sana. Imah selalu berusaha berprasangka baik kepada suaminya, sembari mendoakan kebaikan, dan tidak salah pergaulan.

Imah hanya menyerahkan segala sesuatunya pada genggaman Allah, Sang Pemilik jiwa.

Bersambung ..

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi