Oleh. Yulweri Vovi Safitria
Sambil menunggu kabar dari agen penyalur tenaga kerja yang akan memberangkatkannya, Imah menyiapkan segala keperluan, tidak terkecuali mentalnya. Ini adalah kali pertama ia pergi ke luar negeri. Meskipun ada rasa was-was, tapi ia tepis segera.
Banyaknya berita yang beredar berupa penipuan terhadap para TKW, tak pelak membuat nyalinya juga ciut. Apalagi usianya sudah menginjak 49 tahun, usia yang sudah tidak muda lagi. Tekad Imah sudah bulat, bayang-bayang tagihan bank konvensional menguatkan tekadnya. Khawatir rumahnya disita dan bayangan anak-anaknya yang bakal putus sekolah terus menghantuinya.
**
Setelah menunggu beberapa pekan, akhirnya panggilan untuk Imah segera berangkat pun datang dari pihak agen penyalur TKI. Antara senang dan sedih, itulah yang Imah rasakan. Sedih meninggalkan keluarga, dan membayangkan kesendirian di negeri orang.
Secercah cahaya kebahagiaan ikut bertahta, harapan akan lunasnya utang yang menggunung. Ya, karena utanglah, Imah beranikan diri untuk merantau lagi ke negeri yang belum ia kenal sama sekali.
Imah memepersiapkan segala kebutuhannya. Ia tidak banyak membawa pakaian, hanya beberapa helai jilbab, khimar, dan beberapa pakaian ganti. Tak seperti kebanyakan orang yang merantau, membawa banyak barang bawaan.
“Ibu yakin hanya bawa segini? Ibu kan nggak langsung gajian, nanti kalau pakaian Ibu kurang bagaimana?” Si sulung, Naswa tak bisa menutupi rasa herannya, ketika membantu sang ibu berkemas-kemas.
“Tidak apa-apa, Nak, biar tidak terlalu berat tentengan Ibu,” jawab Imah singkat, sambil merapikan pakaian yang hendak dibawanya, dan memasukkan ke dalam travel bag ukuran sedang.
“Lagi pula, ibu baru pertama kali berangkat ke luar negeri, sendiri pula, tidak tahu kondisi di sana bagaimana nantinya. Tidak tahu majikannya baik atau tidak, semua masih samar.” Imah tak ingin membuat anak sulungnya cemas, namun sebagai anak pertama, Naswa merasakan kecemasan dalam nada bicara Imah. Imah berusaha meyakinkan Naswa bahwa ia akan baik-baik saja.
“Nanti Ibu segera kabari kita, ya!” Pinta Naswa, sambil menyerahkan mukena kepada Imah.
Imah menganggukkan kepala sambil berpesan agar Naswa menjaga kelima orang adiknya.
**
“Ibu kerja di Singapura, Teh!” Teteh kaget mendengar jawaban Zahira, salah satu putri kembar Imah dan Pri. Ia datang diantar Pri, berniat menawarkan jualannya kepada Teteh.
“Kapan Ibu berangkat? Berapa lama?” Berondong Teteh kepada gadis bermata sipit berkulit putih itu. Wajah yang begitu mirip dengan Pri.
“Baru dua minggu, Teh.” Ucap Zahira sambil menikmati mie tarempa yang disuguhkan perempuan berjilbab itu.
Keberangkatan Imah ke luar negeri memang sengaja tidak memberitahu Teteh, karena Imah tahu, Teteh akan menghalanginya berangkat, sebab tanpa mahram. Sedangkan waktu terus berjalan, utang mereka minta segera untuk dilunaskan.
Sungguh tidak enak dipandang mata, stempel yang tertera di dinding tembok rumahnya, harus menuntut Imah mengambil keputusan segera. Berharap mendapatkan pekerjaan di Batam, rasanya sia-sia.
“Berapa lama Ibu di sana?” tanya Teteh penasaran. Ia tidak habis pikir kenapa Imah berani berangkat, rasa khawatir hinggap pada perempuan yang belum dikaruniai anak itu.
“Dua tahun, Teh. Habis kontrak baru bisa pulang.” Teteh terperanjat kaget.
“Dua tahun itu waktu yang tidak sebentar lho, bagaimana kalau terjadi apa-apa di sana,” ucap Teteh was-was.
Zahira hanya terdiam, gadis berusia 17 tahun itu menghabiskan makanannya segera. Begitu pula dengan Pri dan suami Teteh. Suasana hening sejenak.
**
Semenjak kepergian Imah, Pri tetap berusaha mencari kerja. Seorang temannya menawarkan ia bekerja di sebuah usaha catering yang berada di Barelang. Katering untuk perusahaan elektronik di kawasan Industri Muka Kuning. Pri tidak menolak, baginya pekerjaan apa pun itu akan ia jalani untuk menunaikan kewajibannya menafkahi keluarganya.
Setiap pulang bekerja, Pri membawa makanan katering yang belum habis. Pemilik katering membolehkan seluruh karyawannya membawa makanan tersebut pulang, dari pada dibuang, kan mubazir.
Hanya bertahan beberapa bulan, katering tempat Pri bekerja gulung tikar. Banyaknya perusahaan yang tutup berimbas pada semua sektor, termasuk usaha katering tempat Pri bekerja.
Lagi pula, usaha rumahan harus mengalah terhadap usaha katering partai besar, yang memiliki banyak bakingan, dan modal besar. Dampak sistem yang sangat dirasa oleh masyarakat umumnya.
Pri menghela napas panjang. Meski bingung mau bekerja apa lagi, laki-laki itu tetap optimis, akan ada rezeki untuknya dan anak-anaknya.
**
“Aku ada lapak nganggur, tapi letaknya di Tanjung Piayu, kamu jualan di sana saja, bagaimana?” Untuk ke sekian kalinya, tawaran usaha datang menghampiri Pri.
“Kamu tidak perlu bayar, cukup bayar tagihan ATB dan PLN saja setiap bulannya.” Tawaran yang menarik. Secara, sewa kios di Batam terbilang cukup mahal, meski kios kecil sekalipun. Apalagi kios temannya terbilang cukup besar, kawasan strategis dan pusat belanja di komplek Perumahan Puri Agung.
Pri tidak menolak, meski jarak rumahnya dari Batu Aji ke tanjung Piayu cukup jauh.
Setelah diskusi dengan keempat putrinya, mereka sepakat untuk membantu sang ayah. Si kembar Zahwa dan Zahira yang jago masak, berperan menyiapkan jualan sang ayah sebelum berangkat sekolah.
Pagi-pagi sekali, Pri harus berangkat, sebelum kondisi jalanan macet parah karena lalu lalang kendaraan para pekerja yang berangkat dan pulang. Pri berjualan sendiri tanpa ditemani anak-anaknya.
Zahwa dan Zahira juga membuat salad buah, puding, untuk dititipkan di kantin sekolahnya. Kadang-kadang mereka jual secara online. Usaha maksimal untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka. Tidak ada beban, selain keikhlasan.