Bab 10 Antara Dua Pilihan

Oleh. Yulweri Vovi Safitria

“Pri, mau nggak kamu kerja di toko buku?” Teman sesama karyawan di perusahaan elektronik dulu menawarkan pekerjaan untuk Pri.

“Gajinya nggak banyak sih, tapi bisalah untuk membantu keuangan keluargamu, dari pada kamu nggak kerja. Nanti juga bisa sambil cari-cari pekerjaan yang lebih baik,” ucap temannya, melalui sambungan telepon.
“Boleh, kapan aku mulai kerja?” ucap Pri sumringah. Ia merasa kejatuhan durian runtuh. Saat tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, ia bersyukur, Allah masih memberikan keluarganya secercah harapan.

**

Waktu terasa begitu cepat berlalu bagi Imah dan Pri. Tidak ada yang berubah, justru kondisi tokonya makin hari kian sepi. Sementara si sulung, Naswa sedang membutuhkan biaya untuk membayar kuliahnya. Belum adanya kampus terakreditasi A, menjadi alasan Naswa untuk kuliah di luar kota Batam. Namun, Imah tidak berdaya, kala ia dan suaminya akhirnya macet membayar uang kuliah sang anak.

“Apa dijaminkan saja sertifikat rumah kita ini, Bu?” Pertanyaan yang seharusnya tidak keluar dari lisan Pri, akhirnya meluncur juga. Ia buntu, tidak tahu meminta bantuan kepada siapa, sedangkan usahanya butuh dana segera.

“Tapi, Pak … Ibu sudah kapok berurusan dengan riba,” jawab Imah memberikan alasan. Ia teringat bagaimana pengalaman pahit ketika dulu Pri memiliki utang riba melalui kartu kredit. Siang dan malam, Imah dihantui rasa gelisah.
Namun saat ini, Imah merasa tidak ada plihan lain. Mungkin begitu pula yang dirasakan Pri.

“Nanti kita pakai untuk tambahan modal, dan membayar uang kuliah Naswa,” Pri kembali mengeluarkan pernyataan. Keputusan untuk menyekolahkan sertifikat rumahnya adalah pilihan yang sulit, tapi ia tidak mungkin meminjam uang dalam jumlah yang banyak pada orang lain.

Ternyata menjalankan bisnis tidak semudah yang Imah bayangkan. Butuh modal besar dan tidak cukup sekali jalan. Meskipun yang Imah jual adalah bahan-bahan kering dan tidak mudah basi, tetap saja, konsumen senang dengan produk-produk baru, dan lebih berkualitas.

Bisnis mereka oleng dan butuh suntikan dana. Imah menyetujui begitu saja usulan Pri untuk menyekolahkan sertifikat rumah ke bank. Imah merasa tidak punya solusi untuk masalah yang mereka hadapi.

**

Hari-hari Imah terasa berbeda, hawa di rumah terasa panas, masalah kecil menjadi besar. Sementara tokonya makin hari kian sepi, meski sudah dapat kucuran dana dari bank konvensional.

“Apa sebaiknya toko ini kita tutup saja Pak?” ucap Imah sambil merapikan barang-barang aneka plastik di tokonya. “Bahan-bahan makanan ini bisa kita kembalikan ke supliyer, lumayan untuk menutupi utang-utang kita,” Tambah Imah, sambil memandangi beberapa karung tepung terigu, beras, dan beberapa bahan makanan.

Imah berpikir keras, entah salah di mana manajemen keuangan toko mereka, sehingga yang tersisa hanya utang, utang ke supliyer, dan cicilan utang ke bank, karena sertifikat rumah yang telah digadaikan Pri.

“Mungkin karena utang riba, Pak, jadi usaha kita makin sulit,” Imah mengeluarkan rasa yang mengganjal di hatinya. Pri bergeming, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dalam diamnya, Pri sebenarnya memikirkan ucapan sang istri.

Padahal, Pri sudah diingatkan Teteh untuk tidak meminjam uang ke bank, tapi Pri keukeh, meski Teteh bersedia meminjamkan uang untuk mereka berjualan. Pri menyerah, tokonya pun ditutup, seluruh barangnya dijual untuk menutupi utang ke supliyer. Pihak suplyer pun tidak banyak pinta, walau Pri tidak membayar berupa uang, tapi berupa barang yang dikembalikan. Meskipun utangnya tidak sebanding dengan barang, setidaknya utang Pri bisa dicicil dengan barang-barang tersebut.

“Mungkin sudah takdir kita begini, Bu,” ucap Pri pasrah, tapi batinnya berontak. Apa benar ini takdirnya? Bukankah semua yang terjadi karena ulah dirinya sendiri yang berani berutang dengan cara riba? Mungkin Allah murka? Segudang pertanyaan menyesak hatinya. Pri gundah, begitu pula Imah.

“Sebagiannya dijual online saja, coba Kakak posting di marketplace,” kata Imah kepada Naswa. “Nanti Ibu tawarin ke ibu-ibu taklim, siapa tahu ada yang butuh, setidaknya bisa balik modal sudah cukup,” Pesan Imah kepada anak sulungnya.

Semua barang sisa jualan diobral agar bisa balik modal. Begitu pula dengan etalase, lemari, dan perabot toko lainnya. Semuanya habis dijual, tidak ada yang tersisa kecuali utang yang terus berbunga.

“Bagaimana cicilan kita ke bank, Pak? Sebentar lagi jatuh tempo.” Waktu terasa begitu cepat bagi Imah. Utangnya ke bank konvensional harus dicicil segera, sedangkan mereka tidak punya pegangan uang. Semua sudah tidak bersisa.

**
Pri dan Imah sudah rapi. Pagi ini mereka akan menghadiri Forum Masyarakat Tanpa Riba, undangan dari sahabatnya Teteh. Dengan narasumber yang pernah terjerat riba, lalu tobat dan aktif mengisi forum-forum khusus membahas tentang riba. Dengan harapan mereka tobat dan mengkaji Islam secara keseluruhan.

“Riba itu ada beberapa jenis, salah satunya adalah, riba nasi’ah, atau sama dengan riba dalam utang piutang (riba al-duyuun). Termasuk di dalam riba nasi’ah adalah riba dalam akad qardh (pinjaman). Bentuk riba dalam qardh, yakni segala manfaat yang muncul karena qardh, baik uang, barang, manfaat, dan lain-lain. Dan bunga bank adalah bentuk modern riba nasi’ah.”

“Dalam sebuah hadis, Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita akan bahaya riba. ‘Riba mempunyai 73 macam dosa, yang paling ringan seperti laki-laki yang menikahi (berzina) dengan ibu kandungnya sendiri. (HR Hakim)”

“Satu hal yang patut kita ketahui juga, bahwa utang riba itu seperti candu, sekali kita berutang, maka akan membuat sesorang ketagihan.”
Dada Imah terasa sesak setelah mendengar paparan narasumber. Selama ini ia menggap riba hanya sebatas takut tidak bisa membayar utang. Itulah yang membuat ia tidak berani meminjam uang ke bank. Ternyata, dosanya jauh lebih besar dibandingkan ketakutannya akan utang.

Apa iya utang riba membuat dirinya kecanduan. Pri membatin. Pri takut dosa akibat riba. Di sisi lain, pilihan berat bagi Pri, melunasi utangnya segera atau menjual rumah satu-satunya. Lantas anak-anaknya mau tinggal di mana, jika rumah yang mereka tempati dijual. Melunasi utang tanpa menjual rumah, sesuatu yang tidak mungkin, sebab Pri tidak punya pemasukan. Dilema meraja.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi