Visi Generasi Islam: Jadi Influencer, Bukan Follower

Oleh. Lilik Yani

“(Ingat) ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, ‘Aku ingin menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka bertanya, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana? Padahal, kami bertasbih memuji dan menyucikan nama-Mu.’ Dia berkata, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah: 30)

Visi Generasi Islam adalah menjadi khalifah di bumi. Pemimpin yang mengatur, menguasai, memimpin bumi sesuai aturan Allah agar keberkahan turun, umat hidup sejahtera. Seperti yang disampaikan oleh Prof Dr. Mas Roro Lilik Ekowanti, M. (Pakar Administrasi Publik), di agenda Risalah Akhir Tahun, 31/12/2022.

“Visi Generasi Islam yang harus disepakati adalah menjadi khalifah fil ardhi. Bukan menjadi buruh, karyawan maupun tenaga kerja, seberapapun kamu dibayar,” tanda Lilik penuh semangat.

Sebuah kehormatan bagi manusia, dipilih Allah menjadi khalifah (wakil Allah) di bumi. Akankah manusia menjalankan amanah mulia itu atau mengabaikan? Dengan cara apa menjalankan amanah istimewa itu, apakah sesuai aturan Allah atau menggunakan aturan yang mereka buat sendiri. Pastinya semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah nantinya.

Allah memilih manusia sebagai Khalifah di bumi, pastinya bukan dengan tangan kosong tanpa bekal. Manusia dilengkapi akal pikiran untuk berfikir benar atau salah, baik atau buruk. Juga ditambahkan hati untuk bisa merasakan. Tak cukup itu, ada pedoman hidup agar manusia berjalan sesuai arahan dan tidak tersesat. Pedoman itu tiada lain adalah Al Quran.

Allah masih menambahkan lagi, agar manusia tidak bingung dalam menunaikan amanah, diberikan teladan terbaik yaitu Rasulullah Saw. Bukankah sudah sangat lengkap perbekalan yang diberikan Allah hingga manusia bisa menunaikan amanah sebagai Khalifah fil ardhi dengan sangat baik?

Memilih Jadi Follower

Amanah mulia itu ternyata diabaikan. Manusia lebih memilih aturan sendiri untuk menunaikan amanah. Apakah jadinya? Kekacauan, banyak masalah, tak sesuai apa yang Allah harapkan. Bukankah seharusnya menjadi pemimpin di bumi ini dengan menjadi influencer tapi justru puas sebagai pengikut (follower) yang dibayar.

Manusia cenderung memilih yang aman, tidak begitu beresiko. Menjadi karyawan, tenaga kerja yang tidak dalam posisi pengambil kebijakan. Tinggal menjalankan apa kata pimpinan. Ketika ada masalah dalam proses menjalankan amanah, maka yang dipanggil duluan adalah pemimpin, pengambil kebijakan.

Manusia lebih suka jadi pegawai yang stagnan. Merasa save, tak menanggung resiko jika ada kendala, rintangan dalam perjalanan. Pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Manusia lebih memilih jadi pegawai negeri dibanding jadi pengusaha. Bukan sekedar ada atau tidak adanya modal. Bukan pula karena ada atau tidak adanya skill. Namun karena tak siap menanggung resiko kegagalan.

Apakah karena efek penjajahan yang lama, hingga tumbuh jiwa pesimis, insecure, tidak percaya diri, takut menanggung resiko. Coba tanyakan, dalam forum kecil saja. Siapa mau menjadi ketua kelompok? Adanya saling menunjuk temannya, bukannya mengajukan diri.

Akibatnya, kebanyakan manusia bukannya memilih menjadi pembuat kebijakan, justru menjadi pelaku kebijakan. Bukan pengatur tapi diatur. Manusia cukup puas sebagai tenaga kerja yang dibayar, apa bedanya dengan buruh, meski dibayar mahal?

Bagaimana dengan Generasi Calon Pemimpin Umat?

Akankah generasi kita dibiarkan jadi follower, jika sistem yang berjalan tidak sesuai Islam? Bisakah negeri ini diselamatkan jika generasi calon pemimpin umat cukup puas sebagai tenaga kerja yang dibayar, bukan pemegang tampuk pimpinan?

Inilah PR besar bagi kita, meningkatkan percaya diri bahwa kita adalah pemimpin, pembuat kebijakan bukan karyawan yang melakukan apa perintah pimpinan.

Perlu peran semua pihak untuk membangkitkan rasa percaya diri generasi kita. Berikan pemahaman bahwa kita lahir sebagai generasi pemenang. Berapa sel sperma yang mati karena seleksi alam? Hanya satu yang akhirnya bisa membuahi sel telur. Hingga lahirlah kita sebagai pemenang.

Tak cukupkah membuat percaya diri? Coba kita buka Kalamullah. Akankah tidak percaya jika itu ayat Al-Qur’an?

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS Ali Imron: 110)

Jika Allah sudah menyebut umat Islam sebagai umat terbaik yang dilahirkan manusia. Akankah kita merasa insecure karena pernah menjadi Negera terjajah. Okelah dulu negeri kita terjajah ratusan tahun, jika kita pesimis maka akan semakin terbenam tak ada yang mau melihatnya.

Coba berfikir positif, dulu memang kita pernah tertekan hidupnya. Semua serba diatur waktunya, jadilah tak bebas berekspresi. Hidup dalam tekanan penjajah. Tapi kita berhak berubah. Kita berhak hidup sejahtera, bebas merdeka. Tidak dalam tekanan negara siapapun. Kita hanya boleh tunduk kepada Allah dengan syariat Islam yang sangat peduli kepada umat seluruh alam.

Tidak boleh ada satu pun negara yang menekan kita lagi. Tidak boleh lagi jadi generasi bebek atau follower. Kita harus merdeka seutuhnya. Ketundukan hanya pada Allah semata. Bukan kepada negara adidaya Amerika atau penguasa lainnya.

Kita juga bukan negara boneka yang mau dibodohi. Meminjam tangan untuk saling bermusuhan antar sesama umat. Sementara pelakunya seolah cuci tangan, atau melempar batu sembunyi tangan. Sudah saatnya berubah, berani melawan, jangan mau terkekang lagi.

Peran Negara untuk Menjadikan Generasi Influencer

Nah, masalahnya tugas berat itu tak bisa dilakukan perindividu, komunitas, atau organisasi. Karena sudah termasuk kerusakan sistemik maka harus diatasi secara sistem pula. Harus ada peran negara yang terlibat untuk memikirkan.

Mau jadi apa generasi kita sekarang jika sibuk menjadi follower semata. Tak punya kendali bicara atau berpendapat. Hanya manut kata pemimpinnya. Akankah ikut jika pemimpinnya masuk jurang atau yang mengerikan lagi, masuk neraka?

Coba evaluasi semuanya, jika sistem yang diterapkan negara saat ini adalah kapitalis liberalis. Oriantasinya mencari keuntungan materi semata, maka generasi yang dihasilkan juga generasi yang materialistis. Setiap aktivitas orientasinya juga uang, menteri, duniawi belaka.

Jika demikian, mampukah generasi seperti ini memimpin negeri di masa depan? Jika negeri kita saat ini dipimpin oleh generasi yang dulu dididik dengan nilai agama dan adab. Bagaimana hasilnya saat ini? Bisa dibayangkan kondisi negeri sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Apa jadinya jika dipimpin generasi materialistis saat ini? Generasi follower yang hanya ikut tanpa berfikir baik atau buruknya menimpa dirinya?

Coba bandingkan generasi sahabat dan sahabiyah yang dibina Rasulullah. Generasi yang dididik dengan Islam. Mereka jadi pejuang Islam tangguh, penolong agama Islam dan berani berjihad membela Islam. Mereka generasi pioner yang bisa memberikan teladan kebaikan. Mereka generasi influencer yang mempunyai pengaruh dalam hal kebajikan.

Jika jelas perbedaan yang dihasilkan, masihkah tetap bertahan dalam sistem kapitalis seperti sekarang? Saatnya harus berubah, kembali menerapkan aturan Islam yang akan membawa pada keselamatan dunia akherat. Sistem yang sudah diterapkan Rasulullah dan para sahabat yang berhasil melahirkan generasi tangguh pemimpin umat.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Surabaya, 13 Januari 2023

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi