Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)
Opini–Semarak hidup dengan utang sudah menjadi hal yang biasa dalam atmosfer kapitalisme. Napas sebagian besar rakyat, bahkan negara telah tersandera oleh lilitan utang. Rasa sesak terus menemani kehidupa lantaran beratnya risiko utang dan bunganya.
Gaya Hidup Utang dalam Kapitalisme
Sudah sangat lumrah, khalayak menggantungkan ketidakmampuan finansialnya pada utang. Seakan utang satu-satunya jalan yang datangkan sumber dana guna memenuhi kebutuhan hidup. Mirisnya lagi, saat ini masyarakat berutang lebih banyak motif gaya hidup dari pada kebutuhan hiduo yang dhoruri (mendesak), seperti makan, minum, dan kesehatan.
Duhai, label Raja Utang seakan layak disandang negeri kaya ini. Mahkota bunganya malah membuat bangga dan ketahihan untuk terus berutang tanpa mencari jalan keluar untuk membayar dan berhenti utang. Kalangan penguasa, dari pusat hingga daerah pun begitu silau dengan harta. Hidup glamour berdansa dalam deru aliran darah mereka. Walhasil, saat cash in alias pendapatan tak mencukupi, jalan tak halal pun dijabani. Entah korupsi, suap, manipulasi, dan utang riba mrnjadi trend di kalangan mereka.
Baru-baru ini terdengar berita tak sedap menyapa rakyat. Peristiwa penganiayaan kepada seorang mantan bupati terjadi. Polisi mengungkap peristiwa itu lantaran utang piutang. Sungguh, peristiwa tersebut menambah deretan potret buram kasus utang piutang.
Peristiwa penganiayaan mantan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan S Landjar (58).Polisi mengatakan Sehan dianiaya oleh AJ, kini AJ sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kapolda Sulut Irjen Mulyatno menjelaskan, penganiayaan itu dilakukan karena persoalan utang piutang. Peristiwa itu terjadi pada Rabu (29/12/2021), sekitar pukul 23.30 Wita, korban datang ke rumah tersangka AJ, di Kelurahan Tumobui, Kotamobagu, dengan maksud hendak menyelesaikan utang-piutang dengan tersangka (detiknews.com, 31/12/2021).
“Saat itu tersangka menanyakan kepada korban perihal uang yang dipinjam, karena uang tersebut akan dipakai tersangka untuk keperluan keluarganya,” kata Mulyanto saat konferensi pers di Polda Sulut, Jumat (31/12). Memang pelik urusan utang piutang. Utang bisa membuat siapa saja gelap mata karena tabiat buruk yang dimiliki utang itu sendiri. Membuat candu, membuat orang suka berbohong, terhina di siang hari, gelisah di malam hari, dan segudang tabiat buruk lainnya menempel pada utang.
Wajar penganiayaan dan kriminalitas terjadi terkait urusan utang piutang. Apalagi negeri ini menanggalkan aturan agama dari kehidupan dalam bingkai sekularisme yang diadopsi negara, dimana kebebasan dan hak asasi manusia dibiarkan. Gaya hidup utang dalam pusaran kapitalisme mendorong siapa pun berlaku amoral dan kriminal. Utang dijajakan lewat perbankan ataupun lembaga keungan lainnya, tak terkecuali individu-individu kaya juga menebar uang untuk dipinjamkan. Cara menagihnya pun luar biasa kejam. Debt collector yang disewa terkenal dengan perilaku dan peringai sangar dan arogan.
Dalam kapitalisme, masyarakat dibuat konsumtif dan bergaya hidup bebas. Hidup serba wah dan mewah menjadi salah datu asas manfaat. Dimana keberlimpahan harta menjadi tolok ukur kebahagiaan dan kesuksesan. Walhasil, jalan pintas utang semakin menjamur dalam sistem ini. Sehingga, banyak kejahatan yang dihasilkan akibat utang piutang.
Utang dalam Pandangan Islam
Benar jika Rasulullah menyatakan dalam hadits mmbahwa berutang itu mandub atau sunnah. Namun, utang yang bagaimana? Utang yang memang sangat mendesak alias membawa bahaya atau mengancam nyawa, seperti kebutuha makan, minum, ataupun sakit. Utang untuk kebutuhan jasadiyah yang sangat mendesak inilah yang sunnah. Jika untuk gaya hidup dan memenuhi keinginan semata boleh saja.
Utang dalam pandangan Islam tidak boleh ada kompensasi. Apa pun namanya, bunga, riba, profit sharing, interest, ataupun yang lainnya tak boleh ada dalam akad utang piutang. Sebab, utang piutang itu murni ta’awun (tolong-menolong). Selain itu, Rasulullah Saw. mengharamkan ada kelebihan pengembalian utang walau hanya dengan seikat rumput atau tumpangan.
Apabila riba atau bunga tetap diberlakukan dalam utang piutang. Maka, hendaklah nash Al-Qur’an dan Hadis berikut menjadi sebuah refleksi dan cambuk untuk kehidupan, terutama di keabadian kelak. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَاإِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَفَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَوَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat dhalim lagi terdhalimi. Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan. Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi kalian, bila kalian mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 278-280)
Rasulullah Saw. bersabda:
الرِّبا اثنان وسبعون بابًا أدناها مثلُ إتيانِ الرَّجلِ أمَّ
“Dosa riba terdiri dari 72 pintu. Dosa riba yang paling ringan adalah bagaikan seorang Iaki-Iaki yang menzinai ibu kandungnya.” (HR Thabrani)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah bersabda:
إن الدرهم يصيبه الرجل من الربا أعظم عند اللهفي الخطيئة من ست وثلاثين زنية يزنيها الرجل
“Sesungguhnya satu dirham yang didapatkan seorang Iaki-laki dari hasil riba Iebih besar dosanya di sisi Allah daripada berzina 36 kali.” (HR Ibnu Abi Dunya)
Namun demikian, utang untuk kebutuhan jasadiyah ataupun sekadar keinginan sama-sama wajib ditunaikan di dunia. Sangat masyhur kisah bahwa Rasulullah enggan mensholati jenazah yang masih menanggung utang. Rasulullah juga bersabda terkait risiko bagi orang yang masih menanggung utang di akhirat, yakni terhalang masuk surga sekalipun syahid. Rasulullah Saw. bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR Muslim Nomor 1886)
Sejatinya utang adalah sebuah petaka bagi setiap Muslim jika meremehkannya. Apalagi mereka mengulur-ulur waktu menunaikannya padahal mampu. Sungguh, kehidupan kapitalisme akan terus menyuburkan utang plus riba. Sementara Islam, akan menjaga siapa pun dari tabiat buruk utang. Sebab, sekalipun hukumnya sunnah, konsekuensi neraka lebih dekat jika orang yang berutang menelantarkan akad-akadnya. Hanya sistem Islam yang mampu meredam persoalan utang sehingga meminimalisasi kriminalitas dan dosa jariyah.
Wallahu a’lam bishowab.