Oleh: Puspita Satyawati
(penggiat Revowriter)
“Udah punya pacar belum?”
“Eh, sekarang ceweknya siapa?”
“Masak, udah SMA kok belum punya cowok?”
***
Kalimat di atas sering terdengar di pendengaran kita. Tante/om yang menanyai keponakannya. Anak muda yang ngobrol dengan temannya. Bahkan orangtua terhadap anaknya.
Saya ingat. 14 tahun lalu. Saat menjemput putri sulung yang masih play group. Ada sesama ibu menjemput putranya juga di sekolah tersebut. Ketika lihat putranya keluar kelas bareng teman cewek, sang ibu spontan komentar, “Oo, sekarang ini ya Mas, pacarmu?” Hah? Saya kaget mendengarnya.
Padahal sebelumnya, saya telah dibuat terbelalak kala putri saya bertanya, “Ibu, pacar itu apa sih?” Hah? Anak tiga tahun menanyakan definisi pacar kepada ibunya? Padahal orangtua nggak pernah mengajarkan di rumah. Nggak pernah menyinggung istilah ini di depannya. Lamaa saya berfikir, merangkai kata yang tepat untuk disampaikan padanya.
***
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai: teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih, kekasih. Berpacaran artinya bercintaan, berkasih-kasihan.
Diakui atau tidak. Pacaran, baik secara penamaan maupun kelakuan, adalah hal “lumrah” terjadi di masyarakat. Dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasa dilakukan oleh anak muda. Justru ketika sudah SMA misalnya, tapi tidak nampak tanda-tanda memiliki pacar, malah dianggap aneh.
Si remaja jomblo jadi minder karena kejombloannya. Orangtua gelisah. Anak udah gede kok belum laku juga (dagangan kali ye). Bahkan ada seorang mahasiswi yang memutuskan untuk tidak pacaran, malah ditentang oleh orang tuanya. “Kalau nggak mau pacaran, emang ntar kamu mau nikah seperti membeli kucing dalam karung?” sergah bapaknya.
Saking pacaran dianggap hal biasa, akibat terburuk yaitu hamil di luar nikah pun dianggap wajar saja. “Nggih ngaten niku, sampun biasa,” kata seorang ibu menanggapi anak tetangganya yang dinikahkan dini karena tek dung tra la la alias hamil di muka.
***
Duuh, kacau ya. Jika kemaksiatan telah dianggap sebagai kelumrahan. Benarlah pendapat yang mengatakan, jika keburukan dilakukan berulang-ulang, maka dianggap sebagai kebenaran.
Tersebab noktah kemaksiatan telah memenuhi hati. Sehingga membutakan dan tak mampu membedakan dengan kesucian lagi.
Jika didalami dari fakta pacaran, tentu aktivitas di dalamnya tidak sesuai dengan syariat. Syariat jelas telah mengharamkan berkhalwat (berdua-duaan), memandang dengan tatapan syahwat, menyentuh/bergandengan, dst.
Dikaitkan dengan Alquran surat Al Isra’: 32, pacaran termasuk aktivitas yang mengantarkan pada zina. Padahal, tidak hanya zina itu sendiri yang dilarang. Tapi aktivitas apapun yang mampu mendekatkan pada zina, maka ini pun dilarang.
Allah SWT berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.(QS. Al Isra’: 32)
Ngeri. Jika pacaran masih dianggap hal biasa. Sesuai gejolak kawula muda. Bahkan satu-satunya cara menuju ke rumah tangga. Padahal efek buruknya sudah luar biasa.
Hamil di luar nikah, nikah dini tanpa edukasi, menjadi orangtua terpaksa, mendidik anak ala kadarnya, dst. hingga seperti lingkaran setan. Begini seterusnya.
***
Maka, setiap diri harus berkontribusi untuk memutus mata rantai kemaksiatan ini. Ayah bunda, bekali ananda dengan iman dan takwa. Juga rambu-rambu dalam bergaul dengan lawan jenis.
Sebagai bagian dari masyarakat, berikan kepedulian dengan nasihat dan edukasi pada lingkungan sekitar. Yang bertugas mengatur urusan rakyat, lindungi akidah umat, bina akhlaknya, jauhkan dari sarana pemicu syahwat, dan terapkan sanksi yang berefek jera.
Hmm… Tak mudah memang. Tapi untuk inilah, salah satunya mengapa kita harus terus berjuang. Selamatkan generasi Muslim hari ini. Demi kemenangan Islam di masa depan.
Sumber : https://www.facebook.com/puspita.satyawati/posts/2875976442416736