Sains di Pusaran Agama dan Kekuasaan

Prof. Dr. Fahmi Amhar
(Alumnus Vienna University of Technology)

Sains adalah usaha sistematis membangun dan mengatur pengetahuan dalam bentuk penjelasan & prediksi yang dapat diuji tentang alam semesta. (Merriam-Webster Online Dictionary). Karena itulah sains tidak membahas alam ghaib seperti penciptaan Adam, pahala – dosa, atau surga – neraka. Itu urusan agama. Sains juga tidak membahas yang tidak mungkin diuji secara independen.

Sementara itu agama didefinisikan sebagai sistem sosial-budaya, perilaku dan praktik yang ditentukan, moral, kepercayaan, pandangan tentang dunia, kitab suci, tempat suci, nubuwat, etika, atau organisasi, yang umumnya menghubungkan manusia dengan unsur supernatural, transendental, dan spiritual (Nongbri (2013). Before Religion). Namun, tak ada konsensus tentang apa yang dimaksud dengan agama. Karena itu, kearifan lokal atau mitologi sering juga dimasukkan ke dalam “agama”.

Sedang kekuasaan adalah produksi sosial dari efek yang menentukan kapasitas, tindakan, keyakinan, atau perilaku aktor. Kekuasaan tidak secara eksklusif mengacu pada penggunaan kekuatan oleh satu aktor terhadap aktor lain, tetapi juga dapat dilakukan secara tersebar. Kekuasaan juga dapat mengambil bentuk struktural [semisal negara], karena memerintahkan aktor dalam hubungannya satu sama lain, dan bentuk diskursif, karena kategori dan bahasa dapat memberikan legitimasi pada beberapa perilaku dan kelompok di atas yang lain. (Barnett & Duvall (2005) “Power in International Politics”)

Istilah otoritas sering digunakan untuk kekuasaan yang dianggap sah atau disetujui secara sosial. Kekuasaan dapat dilihat sebagai kejahatan; namun juga dapat dilihat sebagai sesuatu yang baik untuk menjalankan tujuan membantu, menggerakkan, dan memberdayakan orang lain. Di Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengatakan “Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama adalah dasar, dan negara penjaganya. Sesuatu tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaga akan hilang”.

Krisis Berpikir dan Literasi

Kita melihat fenomena bahwa dewasa ini banyak ilmuwan malas berpikir religius & politis. Mereka memandang, agama hanya membawa pada kejumudan, bukan kemajuan. Sementara itu, ilmuwan juga jarang yang tertarik dengan politik. Bagi mereka yang penting bisa tetap berkarya, sedang politik biar diurus oleh politisi saja.

Sementara itu banyak agamawan malas berpikir saintifik & politis. Banyak agamawan buta sains, percaya konspirasi bumi datar, menyangkal adanya pandemi covid-19 dan di sisi lain ikut kampanye antivaksinasi. Sementara itu, mereka buta politik juga, sehingga sering tak menyadari ketika dimanfaatkan oleh para petualang politik untuk mendukung mereka mencapai kekuasaan.

Sayangnya banyak politisi malas berpikir saintifik & religius, makanya banyak keputusan politik yang total keliru secara saintifik, dan syirik menurut agama, bahkan mendzalimi sebagian umat beragama. Bagi politisi ini, kaum agamawan diperalat untuk memperluas dukungan grassroot. Dan kaum ilmuwan perlu dikerahkan untuk memberikan legitimasi akademis pada kekuasaan.

Kekuasaan di atas Agama dan Sains

Ada beberapa tipe hubungan di sini ketika kekuasaan menjadi variabel bebasnya.

(a) Kekuasaan menjaga agama. Inilah yang dulu terjadi sejak Holy Roman Empire hingga Negara Ottoman. Kekuasaan juga menjaga sains. Ada sains-sains yang difasilitasi dan dibiayai oleh negara.

(b) Kekuasaan membungkam agama. Ini terjadi di negeri komunis semacam Korea Utara atau (dulu) Uni Soviet. Di sisi lain, kekuasaan kadang membungkam sains, terutama atas ilmuwannya yang kritis pada kebijakan penguasa.

(c) Kekuasaan membatasi pandangan agama tertentu di ruang privat, sedang ruang publik wajib steril dengan itu. Boleh saja di ruang publik ada aturan yang berasal dari ajaran agama, namun hanya yang telah dilegalisasi. Kekuasaan juga bisa membatasi sains. Hanya sains-sains tertentu yang bebas dipelajari atau dikembangkan. Misal: beberapa kearifan lokal masih dianggap pseudo-science, dan belum layak didanai untuk diriset.

(d) Kekuasaan memanfaatkan agama. Penguasa memilih beberapa ajaran agama yang dianggap memantapkan kekuasaannya, semisal dulu Muawiyah berkata bahwa, “Khalifah itu harus Quraisy”, walaupun hal ini di belakang hari oleh Ibnu Khaldun dikatakan hanya syarat afdholiyat. Kekuasaan juga memanfaatkan sains tertentu untuk memantapkan penjajahan. Misal: negara-negara adidaya membatasi percobaan nuklir, ketika mereka sudah punya.

(e) Kekuasaan menengahi agama, yakni ketika ada berbagai pendapat yang saling bertentangan. Di situlah berlaku kaidah “Amrul Imam Yarfa’ul Khilaf” atau keputusan ulil amri (penguasa) menghentikan perbedaan pendapat. Demikian juga kekuasaan menengahi sains, menentukan sains mana yang akan dianggap legal. Misal: ketika ada ikhtilaf di antara para ilmuwan tentang batas aman laju kendaraan di jalan raya. Ada negara yang mengadopsi maksimum 130 kpj, ada yang 100 kpj.

Agama dan Sains untuk Kekuasaan

Sementara itu ketika agama atau sains yang menjadi variabel bebas, maka:

(a) Agama melegitimasi kekuasaan, kekuasaan dapat pembenaran dari agama, baik dalil maupun institusi. Hasilnya tergantung kekuasaan itu adil atau dzalim. Bila adil, maka keadilan itu membuat dakwah semakin mudah; namun bila dzalim, maka kedzaliman itu membuat dakwah semakin sulit. Contohnya adalah Eropa di masa Dark Age, dan Daulah Khilafah di era kemundurannya. Sedang sains dapat mendukung kekuasaan dalam bentuk telaah akademis agar keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kalau hasilnya buruk, maka akan muncul antipati terhadap sains.

(b) Agama menjauhi kekuasaan. Ada sejumlah ulama yang membuat jarak dengan kekuasaan, menolak jadi pejabat, atau di manapun tetap kritis pada kekuasaan. Sains juga demikian, ketika ada keputusan yang bertentangan dengan sains, semisal membiarkan barang berbahaya beredar, atau keliru mensikapi pandemi.

(c) Agama maupun sains juga dapat menengahi konflik kekuasaan. Agama dapat menunjukkan pelajaran dari sunnah Nabi, sahabat atau sejarah. Sains dapat menunjukkan secara objektif dampak dari pilihan-pilihan politik, semisal tentang sistem pemilu.

Interaksi Agama dan Sains

(a) Agama dapat menginspirasi Sains. Namun ini bisa menjadi blunder, ketika sains terjebak dalam “Sains Takwili”, misal: penafsiran bumi datar. Namun juga bisa menjadi berkah, ketika sains sebatas pada inspirasi ontologis dan epistemologis, seperti di era Khilafah. Sebaliknya, sains dapat mendukung dogma agama. Di zaman dulu, keterbatasan temuan sains digunakan untuk memperkuat dogma agama, semisal bahwa seolah agama membenarkan rasisme (terjadi pada bangsa Yahudi)

(b) Agama memusuhi Sains, ini terjadi di era DarkAge, ketika beberapa penemuan sains dianggap bertentangan dengan kitab suci. Namun ini pernah juga terjadi di dunia Islam ketika sebagian ulama salah memahami filsafat, sehingga mendewakan filsafat, atau sebaliknya mempersetankan filsafat (yang berakibat turunnya animo belajar sains). Sebagian muslim juga berasumsi bahwa Islam hadir hanya untuk perbaiki iman & ahlaq, sehingga menolak memahami wabah atau bencana alam dari sisi sains. Sebaliknya, kadang sains menolak dogma agama. Ini banyak terjadi di negeri sekuler, ketika ada sains yang bertentangan dengan ajaran Bible, seperti hasil-hasil carbon-dating (pengukuran umur fossil dengan carbon radioaktif), temuan-temuan astronomi dan astrofisika, dll.

(c) Agama memanfaatkan sains yang mendukung pelaksanaan syariat sesuai kaidah “Maa la yatimul wajib illa bihi, fahuwa wajib”. Sains sebagai pendukung ibadah, seperti jam adzan, teknologi pemeriksaan halal, dsb. Namun masih ada ikhtilaf pada beberapa syariat, seperti persoalan rukyatul hilal, aplikasi cctv, saksi ahli, transfusi darah, test DNA, dsb. Sebaliknya, sains mendorong reinterpretasi agama. Sains dapat membantu memberi tafsir yang tepat tentang suatu ayat mutasyabihat. semisal tentang “7 lapis langit”, “Lailatul Qadar”, juga fenomena over-populasi, climate change, industri 4.0, dll.

Yang menarik, sains kadang bisa menengahi ikhtilaf ahli agama, semisal: mungkinkah seekor hewan dapat dihamili manusia? Bumi bulat atau datar? mengelilingi atau dikelilingi matahari? Lailatul Qadar itu fenomena alam objektif atau fenomena spiritual subjektif?

Pusaran Kompleks (2 Tingkat)

Kadang interaksi sains, agama dan kekuasaan cukup kompleks. Misal, pernah [pemuka] agama mempengaruhi kekuasaan dan menekan [dunia] sains, atau sebaliknya, [pemuka] sains mempengaruhi kekuasaan dan menekan [dunia] agama. Ini bisa baik atau buruk.

Bila hubungan agama dan sains buruk, maka bisa terjadi seperti era DarkAge (agama mempengaruhi kekuasaan untuk menekan sains) atau era komunis (sains mempengaruhi kekuasaan untuk menekan agama).

Sedang bila hubungan agama dan sains ini harmonis, maka agama dan sains saling mendukung dengan tangan kekuasaan. Ini terjadi di sebagian besar era Khilafah.

Umat Islam harus belajar menempatkan sains, agama dan kekuasaan secara tepat. Salah langkah di sini, akan membuat umat jadi makin jauh dari sains, atau juga dari agama. Dan itu rawan justru makin mengokohkan ideologi sekulerisme.

(Media Umat Edisi 312, terbit 27 Mei 2022)

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi