PERBANDINGAN SAINSTEK DUA PERADABAN

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Anggota Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Sering ada pertanyaan, seperti apa persamaan dan perbedaan sains dan teknologi antara di dalam peradaban Islam dengan peradaban selainnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita sepakati dulu tiga hal. Pertama cakupan sains dan teknologi. Kedua tentang peradaban. Ketiga tentang peradaban Islam.

Sains adalah pengetahuan yang sistematis dan objektif atas fakta yang teramati dan teori yang dapat diandalkan untuk menjelaskan fenomena di dunia ini, baik pada makhluk hidup, benda mati, serta interaksi dan perubahan di antaranya.

Sedang teknologi adalah pengetahuan, keterampilan, proses, dan perangkat yang digunakan manusia untuk menciptakan dan menghasilkan barang dan layanan yang berguna demi memenuhi tujuan atau kebutuhan. Teknologi bisa berupa aplikasi sains dalam menciptakan alat, perangkat lunak, atau sistem yang membantu memecahkan masalah, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan kualitas hidup manusia.

Peradaban adalah tingkat perkembangan dalam budaya, sosial, politik, ekonomi, juga sains dan teknologi suatu masyarakat. Peradaban menunjukkan level organisasi, kompleksitas, dan pencapaian dalam berbagai bidang.

Peradaban tak selalu positif. Beberapa peradaban mundur atau hancur karena berbagai alasan seperti perang, bencana alam, atau konflik internal yang rumit. Peradaban yang berkelanjutan memerlukan kerja sama, inovasi, dan penanganan bijak terhadap tantangan yang dihadapi.

Di sinilah posisi ideologi yang mendasari peradaban. Ideologi adalah kumpulan gagasan, keyakinan, dan nilai, tentang dunia, yang membentuk pandangan hidup dan orientasi berpikir, bagaimana dunia seharusnya diatur.

Peradaban Islam adalah peradaban berdasarkan ideologi Islam, yaitu iman tauhid, menjadikan Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagai rujukan atau kedaulatan tertinggi.

Peradaban Islam bertahan sekitar 12 abad, merujuk pada periode kemajuan budaya, ilmiah, sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di berbagai wilayah di bawah penguasa Muslim dan mencakup periode yang panjang dari abad ke-7 hingga ke-19 Masehi.

Beberapa ciri khas peradaban Islam meliputi:

Pendidikan dan Riset, didirikannya pusat-pusat belajar seperti universitas dan lab/observatorium yang melayani orang belajar, memajukan dan menyebarkan ilmu. Kontribusinyanya dalam matematika, astronomi, kimia, kedokteran, filosofi, dan banyak lagi amat signifikan.

Seni dan Arsitektur, dengan masjid-masjid, istana, dan monumen berbentuk kubah dengan kaligrafi dan geometris yang indah.

Perdagangan yang jejaringnya memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi. Bazar-bazar di kota-kota besar menjadi pusat kegiatan ekonomi yang sibuk.

Kearifan Sosial, menciptakan kerangka sosial dan hukum yang menghargai hak-hak tiap individu. Masyarakat Islam adalah masyarakat egaliter, tak kenal stratifikasi sosial berdasarkan keturunan, seperti kasta. Semua punya kesempatan sama untuk mobilitas vertikal.

Maka di sini kita bisa lihat perbandingan peradaban sainstek Islam dengan peradaban selainnya. Baik peradaban pagan kuno, theokrasi Eropa abad-15, sosialis-komunis, maupun sekuler Barat hari ini.

Pertama dari sisi landasan.

Ilmuwan Muslim akan bertolak dari (1) kewajiban syar’iyyah, tetapi dapat juga (2) terinspirasi ayat Qur`an yang memuat soal yang dapat dikaji secara ilmiah, atau (3) termotivasi ayat yang menantang, mau tak mau berarti pengembangan sainstek terkait.

Ilmuwan Muslim tergelitik meneliti hingga seluruh kebutuhan yang termasuk hajatul udhowiyah (kebutuhan asasi seperti sandang-pangan-papan) dapat terpenuhi. Juga agar seluruh kewajiban syar’i terlaksana. Konon, Al-Khawarizmi membuat aljabar karena ingin membantu membagi waris dengan akurat.

Kedua, ada ratusan ayat Qur’an yang menginspirasi riset pada ilmuwan Muslim. Bahkan ayat tentang surga saja masih dapat memberikan inspirasi riset, misalnya:
“Di surga itu mereka diberi segelas minum yang campurannya adalah jahe.” (Al-Insan [76]: 17). Mereka tergelitik meneliti jahe, ada apa di dalam jahe sehingga disebut sebagai campuran minuman ahli surga?

Ketiga, mereka tertantang ayat-ayat Qur’an seperti ini:
“Kalian umat terbaik yang dihadirkan untuk manusia, menggiring ke yang makruf, dan menghalangi dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS [3]: 110).

Dua ayat di atas mendorong kaum Muslim menjadi yang terbaik di dunia, yakni yang mampu menggiring ke jalan yang makruf dan menghalangi dari jalan munkar.

Sementara itu ilmuwan sekuler akan riset demi kepuasan batin dan/atau kebutuhan pasar. Mereka meneliti apa saja yang memenuhi selera konsumtif, meski melanggar syariat. Riset bahkan dapat memperbudak manusia pada teknologi, atau “menjajah” masyarakat pada pihak yang menguasai teknologi.

Banyak juga riset terdepan di kosmologi, palaeobiologi atau ilmu-ilmu sosial, hubungannya dengan realitas kini sudah kabur. Ilmuwannya kesulitan menjelaskan ke awam manfaat risetnya selain memenuhi curiosity.

Sementara banyak riset dari korporasi besar terus ingin mendapatkan cara yang efisien untuk mengeruk sumberdaya alam, walau berdampak negatif pada lingkungan.

Kedua dari sisi cara pengembangan.

Cara ilmuwan Muslim mengembangkan ilmu dibatasi syariat, sehingga: (1) tidak mengingkari dalil qath’i yang harus diimani secara aqidah; dan (2) berjalan sesuai koridor halal-haram.

Maka mereka tak akan membiarkan suatu maksiat terjadi sekalipun demi kemajuan ilmu. Karena itu, percobaan cloning pada manusia wajib dilarang, karena bila berhasil, berkonsekuensi melahirkan manusia tanpa nasab (dan akan menimbulkan musykilah syara’). Cloning pada hewan tetap halal dengan memperhatikan syariat perlakukan pada hewan.

Sedang peradaban sekuler pada dasarnya ingin bebas dan hukum, kalau perlu diubah sesuka mereka.

Di era NAZI dulu, Hitler memerintahkan riset biologi-demografi untuk mengenali cepat kemurnian ras Jerman. Riset ini ingin mengidentifikasi “bibit musuh dalam selimut”. Riset dilakukan dengan biometris secara paksa pada sampelnya. Terkadang riset ini dibumbui penyiksaan, perlukaan hingga pembunuhan atas nama kemajuan ilmu pengetahuan.

Ketiga dari sisi penerapan.

Produk ilmuwan Muslim didesain untuk kemanfaatan maksimal sesuai syariat. Penemuan sains justru makin mempertebal keimanan. Aplikasi teknologi hanya untuk aktivitas yang halal. Matematikawan Muslim yang mempelajari teori permutasi tidak akan menggunakan ilmu itu untuk memenangkan perjudian.

Pada ilmuwan sekuler, sains justru bisa ditafsirkan untuk mengingkari agama. Sedang semua penemuan sainstek boleh dipakai – sepanjang selaras hukum produk demokrasi yang bisa diubah kapan saja. Wajar jika ada teknologi untuk optimalisasi perjudian, layanan seks komersial, pembuatan khamr, dsb. Di Technical University Munich Jerman bahkan ada program studi teknologi pembuatan bir. Di sisi lain, ada penemuan yang bisa bermanfaat luas tapi dibatasi penggunaannya dengan aturan kekayaan intelektual.

Khatimah

Jadi banyak perbedaan sainstek yang dikembangkan peradaban Islam dengan selainnya. Sainstek Islam tidak cenderung rakus sampai merusak lingkungan, atau menjajah bangsa lain, atau menjadikan manusia melupakan jati dirinya sebagai hamba Allah. Sedang sainstek dalam peradaban selainnya telah melahirkan penjajahan, krisis lingkungan global, dan disorientasi kehidupan pada peradaban mereka sendiri.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi