Jam

Oleh: Februastuti

“Bun, ini jam berapa?” tanya Abang.
“Jam tiga,” jawab emak cepat.

“Berarti kurang berapa jam lagi, Bun, kita berbuka?” tanyanya kemudian. Belum sempat emak mengeluarkan jawaban, bocah lima tahun itu langsung berujar, “Berarti kurang tiga jam lagi ya, Bun.”

Entah ia menghitung dahulu dengan jarinya, atau telah menghafal, tetapi jawabannya benar. Ya, hampir setiap hari ia menanyakan jam, ‘Sekarang jam berapa dan kurang berapa jam lagi menuju Maghrib’.

Memang tahun ini si Abang belajar puasa penuh. Meski tahun lalu sudah mulai belajar, tetapi belum penuh dan agaknya puasa tahun ia baru merasakan serius berpuasa.

Terkadang memang disertai drama kesedihan menahan haus. Namun, tak jarang dia tampak santai. Seperti hari ini.

Pulang dari masjid ia langsung menghampiri emak. “Bunda, Abang sudah shalat, Bun sama ayah di masjid,” ujarnya dengan bangga. “Hebat,” puji emak dengan apresiasi acungan jempol.

Mendapat pujian, si bocah ingin menambah dapat pujian. “Abang hari ini enggak haus-haus, Bun. Sebenarnya haus, tapi Abang tahanin. Abang lupain aja.”

“Hebat. Abang mau berbuka pakai apa?” tanya emak.

“Abang tuh mau jus. Bunda belanjalah,” rayunya.

Hujan deras datang tiba-tiba. Jus yang didamba batal didapat. Emak sudah khawatir ia bakal merajuk dan batal puasa. Alhamdulillah, tidak. Emak pun masak, sementara Abang mandi hujan.

Usai mandi, ia bermain sebentar. Emak pun usai masak, lalu mencoba hilangkan penat sejenak. Si Abang menghampiri dan bertanya,
“Bunda, ini sudah jam berapa?”
“Jam enam kurang seperempat,” jawab emak sambil membalas chat.

“Bun, kalau jam itu terbuat dari listrik juga, ya?” tanyanya kemudian.
“Kok terbuat dari listrik?” Emak balik tanya.
“Iya, itu bisa muter jarum jamnya,” jawabnya.
“Oh iya, itu kan ada baterainya. Baterai itu yang ada listriknya,” terang Emak.

“Kenapa enggak kita puterin aja jam kita di jam enam sekarang, Bun?” tanyanya.
“Kenapa memangnya mau diputerin?” Emak kembali bertanya, mencoba menerka maksudnya.

Ia tidak lagi memandang Emak. Netranya tertuju pada barisan angka di tombol remote televisi yang sibuk ia mainkan.

“Ya biar Abah bisa azan,” ujarnya.
“Ha … ha … ha ….” Emak tak kuasa menahan tawa. Ia hanya ingin jam bergerak lebih cepat, ia sudah sangat rindu kumandang azan Abah, sang marbot masjid.

Dibaca

 164 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi