”Building Muslim Family In The West”: Generasi Tangguh, Bukan Impian

Oleh Dra.(Psi) Zulia Ilmawati

Zulia Ilmawati

Potret Generasi Masa Kini

Generasi muslim sekarang hidup dalam lingkungan jahili. Di sekitarnya berlangsung tatanan kehidupan tidak Islami dalam hampir semua aspek kehidupan, disertai proses deIslamisasi yang demikian deras melalui media.

Menjadikan satu sisi mereka tetap muslim, tapi disisi lain pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya dalam cara berpakaian, bergaul, bermuamalah telah banyak dicemari oleh pikiran, perasaan dan tingkah laku tidak Islami, yang kebanyakan bersumber dari khasanah pemikiran Barat. Barat memang sangat gencar melakukan proses pembaratan. Melalui racun sesat pikir Barat, mereka berusaha mempengaruhi dan membelokkan pemahaman kaum muslimin terutama kaum mudanya agar jauh dari nilai-nilai Islam yang murni. Di bidang ekonomi mereka mengembangkan kapitalisme yang berintikan asas manfaat. Pandangan kapitalis mengajarkan, apa saja boleh dilakukan asal menguntungkan secara materi, tidak peduli kendati itu bertentangan dengan aturan agama. Di bidang budaya menyebarkan westernisasi yang berinti amoralisme jahiliah. Bagi mereka tidak ada yang tabu, termasuk seks bebas, pakaian tak senonoh, miras, atau perbuatan jahiliah lain sepanjang tidak mengganggu kepentingan orang lain.

Telah menjadi kenyataan yang menyedihkan, bahwa Barat seolah menjadi kiblat “kemajuan” ke arah mana generasi harus menengok. Musik, mode, makanan, film dan gaya hidup Barat makin deras menggejala. Generasi muslim yang tidak memiliki kepribadian kuat mudah sekali tercemar, dan memunculkan pribadi yang terpecah. Ia muslim tapi tingkah lakunya seperti yang sering dilihat di layar kaca. Penampilannya dan cara bergaulnya juga seperti mereka. Film-film yang menggambarkan kehidupan bebas yang banyak diputar di berbagai stasiun TV. Begitu pula dengan iklan. Iklan yang telah menjadi nafas kapitalisme telah pula menghembuskan budaya hedonistik dan mencitrakan gaya hidup baru.

Akar Masalah   
         Semenjak tidak adanya kehidupan Islam, umat memang tidak lagi dibina keIslamannya secara praktis. Hal ini pada gilirannya menyebabkan racun-racun Barat dengan mudah masuk pada diri umat. Dan racun yang paling dasyat adalah pemikiran sekularisme.Kehidupan yang sekularistik nyata-nyata  telah menjauhkan  manusia dari hakikat  visi dan misi penciptaannya.  Syekh Taqiyyudin An Nabahani (1953) dalam kitabnya Nidzamu al-Islam, menjelaskan sekulerisme  sebagai fashlu al-din ani al-hayah  atau  memisahkan agama (Islam) dari kehidupan. Islam jelas tidak mengenal  pemisahan antara urusan ritual dengan urusan duniawi.  Shalat adalah  ibadah yang merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat  sebagaimana keterikatan kaum muslimin  pada syariat di bidang  yang lain, seperti ekonomi dan sosial politik.  Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas. Dan merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman kepada  ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain.  Oleh karena itu,  benar-benar  sangat aneh jika umat Islam  ikut-ikutan menjadi sekuler.
Peran Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pembentukan Generasi
Tiga unsur pelaksana  pendidikan, yang sangat berperan besar terhadap pembentukan generasi adalah:
a. Keluarga
Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Keluarga memiliki tanggungjawab yang besar dalam mendidik anak dengan melakukan pembinaan kepribadian, meletakan penguasaan dasar-dasar tsaqafah Islam melalui pengajaran dan pengamalan hidup sehari-hari dan dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di keluarga, utamanya orang tua. Keluarga adalah institusi pertama yang menjadi peletak fondasi kepribadian anak. Dengan dasar aqidah yang kuat, kepribadian anak akan tercermin dari perilaku dan cara berfikirnya. Perilakunya didasarkan pada aturan Islam sebagai tolok ukur perbuatannya. Dan ajaran Islam dijadikannya sebagai landasan dalam berfikir. Seperti yang digambarkan Allah SWT dalam Surat Luqman ayat 13-19, bahwasanya pribadi seorang muslim adalah pribadi beriman, taat beribadah, berakhlaq terpuji, kuat pendirian, pandai bergaul, lemah lembut, dan mempunyai kepedulian terhadap masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan anak harus dapat menanamkan aqidah Islam secara benar. Juga pemahaman terhadap semua aspek ajaran Islam, baik yang menyangkut masalah ibadah, akhlaq, makanan, minuman, pakaian dan muamalah.
Keluarga ideal berperan menjadi wadah pertama pembinaan ke- islaman dan sekaligus membentenginya dari pengaruh-pengaruh negatif yang berasal dari luar. Peran keluarga menjadi penting karena orang tualah yang paling tahu bagaimana perkembangan dan kemajuan anak, baik fisik maupun mentalnya.Tentang peran keluarga dalam pendidikan Al-Qur’an mengingatkan:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS. At-Tahrim:6)

Kelemahan pada unsur keluarga umumnya  tampak dari lalainya para orang tua untuk secara sungguh-sungguh menanamkan  dasar-dasar keislaman yang memadai kepada anaknya.  Lemahnya pengawasan  terhadap  pergaulan anak dan minimnya teladan  dari orang tua dalam  sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.

 b. Sekolah

Sekolah merupakan tempat pendidikan yang juga tidak kalah penting dalam membentuk kepribadian anak. Sekolah memiliki peran dalam menanamkan (secara terstruktur) dan meningkatkan iman/aqidah serta mengokohkan pembinaan di keluarga. Sekolah juga merupakan tempat untuk mengajarkan, mengarahkan dan memberi teladan pengalaman syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Saat ini sekolah sebagai unsur pelaksana pendidikan belum optimal memainkan perannya. Kacaunya kurikulum, tidak berfungsinya guru dalam proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang  sekadar  berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak   sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian  (transfer of personality), karena memang kepribadian guru sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani. Lingkungan fisik sekolah yang tidak tertata dan terkondisi secara Islami turut  menumbuhkan budaya  yang tidak memacu  proses pembentukan kepribadian peserta didik. Akumulasi kelemahan pada unsur sekolah itu akhirnya menyebabkan tidak  optimalnya pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan.

c. Masyarakat.

Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi  media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari  berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik,  termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat.  Kelemahan pada unsur sekolah dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah  sinergi pengaruh negatif  kepada  pribadi anak didik.  Semestinya adalah sinergi positif  diantara ketiga unsur tersebut (keluarga, sekolah dan masyarakat).

Generasi Muslim Di Masa Keemasan

Suatu saat, ketika negara Khilafah Islamiyah sedang ditimpa paceklik sehingga terjadi kekurangan pangan, Khalifah (kepala negara) Umar bin Khaththab ra mengajak beberapa pejabat negara untuk berdiskusi, seraya berkata, “Cobalah kalian beranda-andai”. Seorang pejabat dengan semangat berkata, “Aku ingin ruangan besar ini (ruang rapat) dipenuhi dengan emas untuk keperluan negara”. Yang lain menimpali, “Aku berangan-angan rumahku penuh dengan permata lu’lu’ah yang akan kusumbangkan untuk membela agama”. “Kalau aku ingin kaya raya. Kekayaan itu untuk membantu kesejahteraan rakyat”, kata seorang pejabat yang lain. Khalifah tersenyum lebar, kemudian berkata, “Kalau aku, ingin kemunculan kembali generasi seperti Mu’adz bin Jabal, Salim Maula Abi Hudzaifah dan Abu Ubaidah bin al-Jarah”.

Dalam suasana “krisis”, Khalifah Umar bin Khaththab yang biasa kita kenal sebagai satu di antara empat sahabat utama Rasulullah Saw justru mengutamakan kemunculan sumber daya manusia unggulan. Mu’adz bin Jabal, yang disebut Khalifah Umar tadi adalah seseorang yang Rasulullah Saw memujinya: “Muadz bin Jabal adalah orang yang paling tahu tentang halal dan haram di kalangan umatku”. Adapun Salim Maula Abu Hudzaifah, Khalifah Umar pernah memuji: “Kalau Salim masih hidup, maka dialah yang layak menjadi penggantiku”. Sedangkan Abu Ubaidah, beliau adalah ahli strategi perang yang teruji dalam peristiwa-peristiwa bersejarah. Rasulullah pernah memujinya: “Setiap umat mempunyai seorang “amin”, Abu Ubaidah bin al-Jarah adalah “amin” umat Islam”. Yang menarik, Mu’adz bin Jabal dan Salim Maula adalah mereka yang masih berusia muda. Muadz bin Jabal, saat dinobatkan menjadi hakim agung negara, usianya masih 18 tahun.

Kita bisa membandingkan generasi sekarang dengan genersi muda Islam ketika kehidupan Islam tegak. Kita juga mengenal sosok yang namanya Ali bin Abi Thalib, anak muda bahkan bisa dibilang masih anak kecil pada waktu itu, sudah mempunyai kualitas diri yang luar biasa,  untuk memilih Islam sebagai jalan hidup. Begitu juga dengan Aisyah yang sudah terlihat cerdas dan cemerlang sejak remajanya. Generasi selanjutnya tak kalah hebat. Ada yang namanya Ibnu Sina, di usia 10 tahun sudah hafal Al-Qur’an, menguasai ilmu sastra, tasawuf dan geometri. Belum genap 16 tahun usianya, ia sudah ahli di bidang kedokteran dan mengobati banyak pasien. Subhanallah. Bandingkan dengan kualitas generasi muda masa kini yang di usia seperti itu pastilah waktunya habis untuk hura-hura saja. Walau mungkin tidak semuanya.

Khatimah
Kualitas sumber daya manusia memang aset masa depan. Tak heran jika Khalifah Umar berangan-angan demikian. Jika potret generasi muda sekarang ini didominasi dengan tingginya angka kejahatan, depresi, kemalasan, gaya hidup hedonis dan konsumtif, maka jika kondisi ini dibiarkan, bisa kita bayangkan apa jadinya generasi mendatang. Karenanya, berpikir tentang masa depan umat harus mencakup berpikir tentang sistem penanganan generasi yang mampu menghasilkan generasi unggulan, generasi berkualitas, generasi tangguh.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi