Potret Generasi Masa Kini
Menjadikan satu sisi mereka tetap muslim, tapi disisi lain pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya dalam cara berpakaian, bergaul, bermuamalah telah banyak dicemari oleh pikiran, perasaan dan tingkah laku tidak Islami, yang kebanyakan bersumber dari khasanah pemikiran Barat. Barat memang sangat gencar melakukan proses pembaratan. Melalui racun sesat pikir Barat, mereka berusaha mempengaruhi dan membelokkan pemahaman kaum muslimin terutama kaum mudanya agar jauh dari nilai-nilai Islam yang murni. Di bidang ekonomi mereka mengembangkan kapitalisme yang berintikan asas manfaat. Pandangan kapitalis mengajarkan, apa saja boleh dilakukan asal menguntungkan secara materi, tidak peduli kendati itu bertentangan dengan aturan agama. Di bidang budaya menyebarkan westernisasi yang berinti amoralisme jahiliah. Bagi mereka tidak ada yang tabu, termasuk seks bebas, pakaian tak senonoh, miras, atau perbuatan jahiliah lain sepanjang tidak mengganggu kepentingan orang lain.
Telah menjadi kenyataan yang menyedihkan, bahwa Barat seolah menjadi kiblat “kemajuan” ke arah mana generasi harus menengok. Musik, mode, makanan, film dan gaya hidup Barat makin deras menggejala. Generasi muslim yang tidak memiliki kepribadian kuat mudah sekali tercemar, dan memunculkan pribadi yang terpecah. Ia muslim tapi tingkah lakunya seperti yang sering dilihat di layar kaca. Penampilannya dan cara bergaulnya juga seperti mereka. Film-film yang menggambarkan kehidupan bebas yang banyak diputar di berbagai stasiun TV. Begitu pula dengan iklan. Iklan yang telah menjadi nafas kapitalisme telah pula menghembuskan budaya hedonistik dan mencitrakan gaya hidup baru.
Semenjak tidak adanya kehidupan Islam, umat memang tidak lagi dibina keIslamannya secara praktis. Hal ini pada gilirannya menyebabkan racun-racun Barat dengan mudah masuk pada diri umat. Dan racun yang paling dasyat adalah pemikiran sekularisme.Kehidupan yang sekularistik nyata-nyata telah menjauhkan manusia dari hakikat visi dan misi penciptaannya. Syekh Taqiyyudin An Nabahani (1953) dalam kitabnya Nidzamu al-Islam, menjelaskan sekulerisme sebagai fashlu al-din ani al-hayah atau memisahkan agama (Islam) dari kehidupan. Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual dengan urusan duniawi. Shalat adalah ibadah yang merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syariat di bidang yang lain, seperti ekonomi dan sosial politik. Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas. Dan merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman kepada ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain. Oleh karena itu, benar-benar sangat aneh jika umat Islam ikut-ikutan menjadi sekuler.
Kelemahan pada unsur keluarga umumnya tampak dari lalainya para orang tua untuk secara sungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar keislaman yang memadai kepada anaknya. Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang juga tidak kalah penting dalam membentuk kepribadian anak. Sekolah memiliki peran dalam menanamkan (secara terstruktur) dan meningkatkan iman/aqidah serta mengokohkan pembinaan di keluarga. Sekolah juga merupakan tempat untuk mengajarkan, mengarahkan dan memberi teladan pengalaman syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Saat ini sekolah sebagai unsur pelaksana pendidikan belum optimal memainkan perannya. Kacaunya kurikulum, tidak berfungsinya guru dalam proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani. Lingkungan fisik sekolah yang tidak tertata dan terkondisi secara Islami turut menumbuhkan budaya yang tidak memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik. Akumulasi kelemahan pada unsur sekolah itu akhirnya menyebabkan tidak optimalnya pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur sekolah dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik. Semestinya adalah sinergi positif diantara ketiga unsur tersebut (keluarga, sekolah dan masyarakat).
Suatu saat, ketika negara Khilafah Islamiyah sedang ditimpa paceklik sehingga terjadi kekurangan pangan, Khalifah (kepala negara) Umar bin Khaththab ra mengajak beberapa pejabat negara untuk berdiskusi, seraya berkata, “Cobalah kalian beranda-andai”. Seorang pejabat dengan semangat berkata, “Aku ingin ruangan besar ini (ruang rapat) dipenuhi dengan emas untuk keperluan negara”. Yang lain menimpali, “Aku berangan-angan rumahku penuh dengan permata lu’lu’ah yang akan kusumbangkan untuk membela agama”. “Kalau aku ingin kaya raya. Kekayaan itu untuk membantu kesejahteraan rakyat”, kata seorang pejabat yang lain. Khalifah tersenyum lebar, kemudian berkata, “Kalau aku, ingin kemunculan kembali generasi seperti Mu’adz bin Jabal, Salim Maula Abi Hudzaifah dan Abu Ubaidah bin al-Jarah”.
Dalam suasana “krisis”, Khalifah Umar bin Khaththab yang biasa kita kenal sebagai satu di antara empat sahabat utama Rasulullah Saw justru mengutamakan kemunculan sumber daya manusia unggulan. Mu’adz bin Jabal, yang disebut Khalifah Umar tadi adalah seseorang yang Rasulullah Saw memujinya: “Muadz bin Jabal adalah orang yang paling tahu tentang halal dan haram di kalangan umatku”. Adapun Salim Maula Abu Hudzaifah, Khalifah Umar pernah memuji: “Kalau Salim masih hidup, maka dialah yang layak menjadi penggantiku”. Sedangkan Abu Ubaidah, beliau adalah ahli strategi perang yang teruji dalam peristiwa-peristiwa bersejarah. Rasulullah pernah memujinya: “Setiap umat mempunyai seorang “amin”, Abu Ubaidah bin al-Jarah adalah “amin” umat Islam”. Yang menarik, Mu’adz bin Jabal dan Salim Maula adalah mereka yang masih berusia muda. Muadz bin Jabal, saat dinobatkan menjadi hakim agung negara, usianya masih 18 tahun.
Kita bisa membandingkan generasi sekarang dengan genersi muda Islam ketika kehidupan Islam tegak. Kita juga mengenal sosok yang namanya Ali bin Abi Thalib, anak muda bahkan bisa dibilang masih anak kecil pada waktu itu, sudah mempunyai kualitas diri yang luar biasa, untuk memilih Islam sebagai jalan hidup. Begitu juga dengan Aisyah yang sudah terlihat cerdas dan cemerlang sejak remajanya. Generasi selanjutnya tak kalah hebat. Ada yang namanya Ibnu Sina, di usia 10 tahun sudah hafal Al-Qur’an, menguasai ilmu sastra, tasawuf dan geometri. Belum genap 16 tahun usianya, ia sudah ahli di bidang kedokteran dan mengobati banyak pasien. Subhanallah. Bandingkan dengan kualitas generasi muda masa kini yang di usia seperti itu pastilah waktunya habis untuk hura-hura saja. Walau mungkin tidak semuanya.