Berapa besar sumberdaya di negeri-negeri Islam? Seberapa besar kekuatan mereka bila bersatu di bawah Daulah Khilafah? Sanggupkah Khilafah dihadapkan pada negara adidaya Amerika Serikat atau Tiongkok? Dapatkah Khilafah bertahan kalau diembargo? Mampukah Khilafah menang bila terlibat dalam konflik militer? Ini pertanyaan-pertanyaan yang kadang hinggap di benak kaum Muslim bila melihat peta dunia saat ini.
Data Dunia Islam
Di antara lembaga yang mengumpulkan data seperti itu adalah Statistical, Economic and Social Research and Training Centre for Islamic Countries (SESRIC) yang berada di bawah Organisasi Kerjasama Islam (Organization of Islamic Cooperation, OIC). Data yang dikumpulkan dapat diakses melalui alamat: https://www.sesric.org/.
Memang sudah cukup menolong. Namun, angka-angka di dalam database ini tentu belum lengkap atau 100% akurat dan terkini. Ada peluang terlalu tinggi (over-estimated) atau terlalu rendah (under-estimated). Informasi di negeri-negeri Islam memang langka atau sering simpang-siur. Banyak Pemerintah Muslim yang menutup-nutupi informasi dengan berbagai motif. Kadang data yang diberikan justru data yang dibuatkan oleh konsultan asing. Oleh sebab itu, data yang diturunkan di sini harus dipandang sebagai taksiran atau pendekatan awal. Harus disadari, bila Khilafah tegak, data ini masih akan berubah lagi.
Untuk menjembatani beberapa negara yang datanya tidak tersedia, atau pada tahun-tahun tertentu kosong, dalam mengolah data ini kadang dipakai angka maksimum atau rerata dari data beberapa tahun terakhir.
Dewasa ini ada 57 negara yang masuk dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Negara-negara ini menerima julukan sebagai bagian dari “Dunia Islam”, yakni karena hampir semua berpenduduk mayoritas Muslim.
Populasi di negeri anggota OKI ada di kisaran 1,7 Miliar atau 21,5% populasi dunia. Masih ada sekitar 200 juta Muslim India (13,4% populasi) dan 25 juta Muslim Cina (2% populasi) yang belum terhitung. Bersama-sama dengan Muslim di negeri-negeri lainnya, populasi Muslim sedunia di kisaran 2 Miliar, di tengah 7,8 Miliar manusia (25%).
Menurut CIA the World Factbook dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_ of_the_OIC, produk domestik bruto (PDB) Dunia Islam secara daya beli setempat atau Purchasing Power Parity) ada pada kisaran US$ 22,2 Triliun, atau sekitar 17,48% dunia. Untuk perbandingan, PDB-PPP Cina adalah US$ 26,7 Triliun, Amerika Serikat US$ 22,9 Triliun dan Uni Eropa US$ 20,9 Triliun. Namun, bila dibagikan jumlah penduduknya, PDB/kapita Amerika Serikat masih tertinggi, disusul Uni Eropa, Cina dan baru Dunia Islam.
PDB negeri-negeri Islam bila dibagi populasinya, pada 2020 sebesar US$ 7.360/tahun, atau dengan kurs sekarang Rp 8,7 juta perorang/bulan. Namun, saat ini distribusi harta ini tidak merata. PDB/kapita tertinggi diraih Qatar (US$ 133.357/tahun atau Rp 158 juta/bulan) dan terendah Niger (US$ 1267/tahun atau Rp 1,5 juta/bulan).
Luas wilayah 57 negara OKI ini bersama-sama adalah 32 juta km2, lebih luas dari Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina bersama-sama. Dengan demikian kepadatan penduduk rata-ratanya adalah 38 orang perkilometer persegi. Kepadatan tertinggi dialami oleh Bahrain yang memang hanya sebuah “negara kota”, yaitu 1055 jiwa perkilometer persegi, diikuti Maladewa (933), Bangladesh (817) dan Palestina (626). Mereka harus berdesak-desakan di tempat yang sempit. Padahal bumi Allah yang dititipkan pada umat Islam sangat luas.
Memang area luas ini baru bermakna bila produktif. Banyak Bumi Islam yang masih berupa gurun yang belum dihidupkan. Karena itu perlu ditinjau sejumlah indikator produk vital, seperti produksi energi, bahan pangan, dan sebagainya.
Pada tabel berikut diberikan daftar negara anggota OKI dengan luas, jumlah penduduk, PDB-PPP, PDB/kapita dan Index Pembangunan Manusia yang diurutkan menurut abjad.
Tabel-1 PDB dan IPM negara-negara anggota OKI
Indikator Produk Vital
Untuk analisis ekonomi yang lebih komprehensif diperlukan seluruh parameter yang ada dalam statistik. Namun, mengingat tidak untuk setiap item tersedia data lengkap di seluruh negara serta belum adanya pembobotan yang disepakati, maka dipilih produksi migas sebagai sumber energi utama (meski di sejumlah negara tersedia sumber energi lain), lalu biji-bijian dan daging sebagai bahan pangan, serta baja untuk industrialisasi.
Cadangan minyak (proven reserves oil) di seluruh negeri Islam adalah 998 Miliar barel. Produksi minyak mentah tahun 2019 total adalah sekitar 12 Miliar barel pertahun. Pada 2020 produksi ini turun karena ada pandemi covid-19 sehingga konsumsi dunia turun. Lima “lumbung minyak” terbesar adalah Saudi Arabia, Iran, Irak, Kuwait dan Uni Emirat Arab.
Untuk gas, cadangannya adalah 117 Triliun meter kubik. Produksinya pertahun adalah 1,3 Triliun meter kubik, atau setara 8,8 Miliar barel.
Saat ini, hampir separuh produksi migas yang bersama-sama sekitar 20,8 Miliar barel ini diekspor ke negeri-negeri non OKI seperti USA, Uni Eropa atau Tiongkok.
Konsumsi total energi di negeri Muslim adalah setara 10,4 Miliar barel minyak pertahun. Sebagian kecil energi ini sudah berasal dari energi baru (nuklir dan biofuel), atau energi terbarukan (surya, angin, air atau geothermal). Total listrik dari energi terbarukan adalah 367 Terra Watt-jam atau setara 0,23 Miliar barel minyak.
Untuk pangan, produksi biji-bijian makanan pokok adalah 425 juta ton setahun. Lima penghasil biji-bijian terbesar adalah Indonesia, Bangladesh, Pakistan, Turki dan Nigeria. Kalau dibagi populasi, akan didapat angka sekitar 0,67 kg perorang perhari. Ini masih di bawah kebutuhan rata-rata (menurut FAO), yakni 750 gram perorang perhari. Namun demikian, teknologi pertanian masih bisa ditingkatkan dan umat Islam bisa dilatih berpuasa sunnah. Persoalannya, banyak hasil biji-bijian ini yang diekspor ke negara-negara maju karena ladangnya sudah dikontrak ke pengusaha asing.
Adapun produksi daging (unta, sapi, kambing) ditaksir 36,8 juta ton. Lima penghasil daging terbesar adalah Turki, Pakistan, Indonesia, Iran dan Mesir. Kalau ini dibagi dengan populasi akan didapat angka 21 kg daging perorang pertahun, atau 58 gram perorang perhari. Sebuah angka yang kecil untuk komposisi gizi harian. Untunglah lauk-pauk kita masih bervariasi antara daging, ikan, unggas atau protein nabati.
Setelah energi dan pangan, baja adalah produk vital yang jadi modal dasar industri maupun konstruksi. Produksi baja di Dunia Islam saat ini ditaksir baru 99 juta metrik ton pertahun. Bila duapertiga jumlah ini dipakai untuk konstruksi (rangka gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik & telekomunikasi), mesin-mesin pabrik, kereta api, kapal dan persenjataan, lalu sepertiganya lagi untuk memproduksi kendaraan yang berbobot rata-rata 1 ton, maka ini baru menghasilkan 33 juta mobil. Angka yang relatif kecil untuk 1,7 miliar populasi. Pasalnya, bila satu keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang, akan ada 425 juta keluarga. Jadi baru setelah 13 tahun setiap keluarga itu akan memiliki kendaraan baru.
Memang lebih cerdas bila keterbatasan itu mendorong inovasi efisiensi, misal mempopulerkan transportasi massal dengan kereta ringan yang hemat baja, atau menggalakkan sepeda yang selain hemat baja dan energi, juga baik untuk menjaga kesehatan dan lingkungan.
Namun kenyataannya, saat ini sumberdaya dari negeri-negeri Islam banyak diekspor, sering dengan nilai tukar yang sangat rendah karena kandungan nilai tambahnya rendah.
Neraca perdagangan Dunia Islam sebenarnya positif (1747 Miliar US$ ekspor – 1620 Miliar US$ impor). Namun, dari jumlah ini, yang merupakan ekspor ke sesama Dunia Islam hanya sekitar 113 Miliar US$ dan impor dari sesama Dunia Islam 118 Miliar US$. Jadi ketergantungan ke luar Dunia Islam masih sangat besar. Kerjasama sesama Organisasi Kerjasama Islam masih mimpi. Bila ini dibiarkan akan dapat menjadi kendala saat Daulah Khilafah ditegakkan dan lalu diembargo dari luar.
Sumberdaya Tak Berwujud
Selain sumberdaya yang dapat terukur dalam bentuk materi/uang, terdapat sumberdaya tak berwujud (non-tangible) yang tak dapat langsung terukur, misalnya SDM terdidik, organisasi (jejaring) yang telah terjalin, informasi (pengalaman) yang terkumpul dan infrastruktur yang telah terbangun. Sumberdaya ini terukur dengan melihat data penduduk melek huruf, rasio yang masuk perguruan tinggi, bagian pemerintah pada penciptaan GDP, distribusi penghasilan dan cicilan utang.
Pertumbuhan penduduk dan ekonomi sedikit banyak juga memberi gambaran atas tren yang ada di suatu negara. Ini berkorelasi dengan keunggulan non-tangible, sepanjang faktor-faktornya proporsional (tak bertumpu hanya di satu aspek keunggulan saja).
Dilihat dari angka literasi, ternyata angka melek huruf orang dewasa di Dunia Islam baru sedikit di atas 73%! Ini pun masih dengan bahasa nasional masing-masing (Farsi, Urdu, Turki, Melayu, dll.).
Rasio yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi (tertiery education) ada di kisaran 30% lulusan SLTA. Ini pun masih di luar soal mutu asal-asalan pendidikan di sistem sekuler kapitalistik.
Bagian pemerintah dalam penciptaan GDP menggambarkan tingkat partisipasi rakyat dalam aktivitas ekonomi. Makin tinggi sharing pemerintah, makin rentan ekonomi negeri itu pada gejolak politik. Idealnya pemerintah mengatur urusan umat dengan syariat Islam, bukan sebagai pelaku bisnis, dan baru intervensi di mana mekanisme ekonomi tidak berfungsi. Namun demikian, nilai 0% dalam penciptaan GDP berarti pemerintah lepas tangan, dan ini indikasi sebuah negara gagal.
Di Dunia Islam, pemerintah rata-rata berperan hingga 20% dalam aktivitas ekonomi. Afghanistan sewaktu di bawah penjajahan Amerika pernah mencapai 40%. Di beberapa negeri lain yang dilanda perang tidak ada data.
Dalam hal ekonomi terkait sumberdaya alam yang besar, angka-angka statistik ini boleh jadi akan rancu antara pemerintahan feodalistik, sosialistik dan yang ideal dalam Islam. SDA masuk kepemilikan umum yang memang harus dikelola pemerintah, namun bukan dibisniskan.
Menyatukan Ekonomi Dunia Islam
Dengan berbagai cara, kekuatan ekonomi Dunia Islam ini telah berkali-kali dicoba untuk disatukan. OKI telah gagal. Pakta Selatan-selatan, yang juga melibatkan negara-negara berkembang di Amerika Latin pun, gagal. Percobaan terakhir adalah dengan kelompok D-8 (Development-Eight), yang terdiri dari Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan dan Turki. Realitasnya, pengaruh D-8 ini bahkan lebih kecil dari kelompok regional semacam ASEAN, apalagi terhadap G-8, yakni kelompok negara-negara industri maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Jepang dan Rusia) yang merupakan 65% dari ekonomi dunia.
Jadi usaha ini sepertinya akan gagal juga. Penyebabnya terlalu banyak, mulai dari ego-nasionalisme tiap negara, para pemimpinnya yang tidak benar-benar kapabel maupun independen (menjadi boneka negara besar), hingga produk antar negara yang terlalu mirip sehingga tidak saling melengkapi.
Tanpa suatu perubahan yang fundamental dalam cara berpikir di Dunia Islam, yaitu cara berpikir tentang visi dan misi negeri mereka di dunia, rasanya sulit akan ada sinergi dari penyatuan ekonomi Dunia Islam.
Baru dengan perubahan paradigma berpikir itu akan ada upaya-upaya di masyarakat tiap negeri untuk tidak sekedar menjadi “lahan” bagi negara-negara maju, tetapi menjadi agen perubahan ke dunia baru yang diridhai Allah. Perlahan namun pasti, mereka akan mereformasi cara berpikir, bersikap, serta ikatan-ikatan yang selama ini menjadikan mereka berbangsa dan bernegara.
Kemudian suatu negara yang masyarakatnya serta kekuatan politik dan militer di dalamnya paling siap, akan memimpin mendeklarasikan berdirinya sebuah negara baru, Daulah Khilafah. Negara baru ini di saat awal akan menunjukkan kinerjanya sebaik mungkin, sebagai negara yang adil dan benar-benar merdeka, sambil mengajak negeri-negeri Muslim yang lain untuk bergabung.
Ketika rakyat negeri-negeri Muslim yang lain melihat bahwa dengan bergabung bersama Daulah Khilafah itu terbuka peluang yang lebih luas untuk berkehidupan yang lebih baik, maju dan kuat sehingga mampu memimpin dunia, mereka akan berbondong-bondong mendesak pemerintahnya masing-masing untuk bergabung ke Daulah Khilafah.
Akhirnya, satu demi satu negeri Islam akan masuk ke dalam Daulah Khilafah, seperti dulu bergabungnya daerah-daerah Hindia Belanda ke Republik Indonesia, atau kini bergabungnya negara-negara Eropa ke Uni Eropa. Kekuatan Dunia Islam yang bersatu di bawah Daulah Khilafah akan menjadi realita, dan bahkan akan lebih besar lagi, jika sistem Islam telah mengoptimasi pengaturan seluruh potensi sumber daya alam maupun manusia di dalamnya, serta Muslim-muslim terbaik yang selama ini berada di negara-negara maju berbondong-bondong pulang untuk membaktikan dirinya demi kemuliaan Islam dan kaum Muslim.
WalLahu a’lam. [Prof. Dr. Fahmi Amhar; Peneliti Sumber Daya, Himpunan Ilmuwan Muslim Indonesia]
Kepustakaan
Amhar, F. (2007): Analisis Futuristik: Kekuatan Umat Islam Terkini Bila Bersatu. Majalah Al-Waie, edisi Maret 2007.
Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC). www.sesric.org/query.php (accessed 14 Oct 2021).
CIA World Factbook (accessed 14 Oct 2021). https://en.wikipedia.org/wiki/The_World_Factbook dan https://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_the_OIC