Volkswagen dan Vox Populi Vox Dei

Oleh. H. M Ali Moeslim

Bismillahirrahmanirrahim

Siapa yang tidak kenal dengan sebuah kendaraan mobil yang berasal dari Jerman ini? Terutama varian beetle. Kisah Volkswagen (VW) yang melegenda dimulai dengan produksi kendaraan untuk armada perang. Ide soal Volkswagen pertama kali dicetuskan Adolf Hitler, pemimpin Nazi Jerman yang menginginkan kendaraan berkualitas yang andal serta terjangkau. Dalam bayangan sang diktator, Volkswagen merupakan sebuah sedan kecil yang dapat berlari 100 km/jam di sepanjang Autobahn, jalan tol yang baru saja selesai dibangun di negara itu.

Sesuai namanya yang berarti “mobil rakyat”, mobil Volkswagen (VW) tidak saja menjadi kendaraan perang yang berkualitas, namun menjadi ‘mobil rakyat’ dan sekaligus menjadi mobil paling ikonik di seluruh dunia. Mulai dari anak-anak kuliah hingga para hippies sangat menyukai mobil ini. Beetle yang diluncurkan di Amerika Serikat pada 1959 bahkan menjadi mobil buatan luar negeri terlaris di Negeri Paman Sam itu sepanjang tahun 1960-an dan terus merambah ke beberapa negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.

Sedangkan “Vox Populi Vox Dei” adalah bahasa latin berarti “suara rakyat adalah suara Tuhan.” Dalam sejarah, ungkapan “Vox Populi Vox Dei” muncul pada awal berkembangnya demokrasi modern, sejak revolusi Prancis. Slogan “suara rakyat adalah suara Tuhan” ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa kesepakatan mayoritas (wakil) rakyat dalam sistem demokrasi itu pasti mencerminkan kebaikan dan bakal menghasilkan penyelesaian yang memuaskan bagi seluruh rakyat. Logikanya, bila kebanyakan orang setuju, pastilah persetujuan itu akan berkaitan dengan hal-hal yang dipandang baik oleh kebanyakan orang. Bila Tuhan diyakini sebagai sumber kebaikan, maka persetujuan kebanyakan orang atas sesuatu yang dipandang baik itu juga tentu selaras dengan kehendak Tuhan. Dari situlah disimpulkan, “suara rakyat adalah suara Tuhan”.

Kebenaran adalah kebenaran. Ia tidak ditentukan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang menyepakati. Sesuatu itu disebut benar bergantung pada dasar yang digunakan untuk menetapkan sebuah kebenaran. Di situlah pemikiran menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang akan sangat menentukan kebenaran dari sesuatu yang dianggap benar, karena ia menjadi dasar berpikir dan landasan untuk menilai sesuatu itu benar atau salah. Bila pemikiran mendasar tadi benar, pemikiran yang bertumpu di atasnya juga akan menjadi benar, begitu sebaliknya, tak peduli berapa jumlah pendukungnya.

Kalau kita perhatikan, setidaknya ada dua kubu umat yang menyikapi berbeda berbagai pemahaman dan hasil kreativitas inovasi dari Barat.

Kubu pertama beranggapan bahwa semua yang datang dari Barat boleh diambil baik teknologi maupun budaya atau peradabannya. Mereka mengagung-agungkan Barat, bahkan rela digiring untuk mengadopsi pemikiran-pemikirannya seperti kesetaraan gender, hak asasi, dan demokrasi. Jika ada di antara Muslim mengingatkan bahaya pemikiran tersebut dianggap sebagai orang yang tidak konsisten. Menolak pemikirannya tapi memanfaatkan produknya seperti kemajuan teknologi. Mereka menjadi liberal, bahkan hampir bisa dikatakan ikatannya terhadap hukum Islam sudah sangat rapuh.

Sementara kubu kedua menolak semua yang berasal dari Barat. Produk teknologi, ideologi, pemikiran, semuanya haram. Sikap ini pun merugikan karena umat Islam menjadi terbelakang di tengah kemajuan IPTEK, bahkan cenderung membawa pada kebodohan.
Jika pemahaman ini tidak diluruskan, ummat Islam tetap dikungkung kerancuan pemikiran. Umat akan kelimpungan menghadapi berbagai gempuran dan terpecah karena sibuk berselisih, padahal yang seharusnya sudah jelas hukumnya atau menghormati pada hal yang memang khilafiyah.

Tentang hal tersebut ada pembahasan yang menarik dan pas yakni tentang hadharah misalnya demokrasi yang berprinsif “Vox populi Vox dei” dan madaniyah misalnya kendaraan volkswagen, membantu meluruskan pemahaman terkait berbagai produk yang dihasilkan Barat.

Menurut Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nidhamul Islam, bahwa hadharah adalah mafahim (ide yang dianut dan mempunyai fakta) tentang kehidupan, bersifat khas karena terkait dengan pandangan hidup. Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Madaniyah bisa bersifat khas karena berkaitan dengan hadharah, bisa pula bersifat umum sehingga bisa digunakan seluruh manusia. Secara sederhana hubungan antara keduanya dapat dijelaskan hadharah adalah peradaban dan madaniyah adalah produk dari peradaban.

Dalam Islam hukumnya haram mengambil hadharah selain dari Islam karena bertentangan dengan prinsip aqidah Islam. Sebagai contoh pemikiran sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, demokrasi (kewenangan membuat hukum ada pada manusia) misalnya.

Di tengah gempuran pemikiran Barat saat ini, seharusnya umat Islam sudah tidak kebingungan membedakan mana yang boleh diambil dan mana yang tidak, mana yang merupakan hadharah asing dan produknya dan mana yang hanya madaniyah. Umat tidak terus menerus terjebak dalam kebodohan dan kebingungan.

Permasalahan ini memang tidak baru muncul sekarang melainkan sudah dimulai saat peradaban Islam mengalami kemunduran dan ditutupnya pintu ijtihad. Keterpurukan kian terasa tatkala Daulah Islam runtuh dan ummat seperti anak yang kehilangan induknya. Tidak ada yang menjaga aqidah dan memberikan perlindungan. Um.at kehilangan arah, terombang-ambing dalam kesesatan yang diciptakan oleh penguasa sistem sekuler. Rasulullah Saw. bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR Muslim Nomor 2669)

Wallahu a’lam bish shawwa

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi