UMAT ISLAM DALAM PUSARAN PERADABAN

Oleh. H. M. Ali Moeslim (Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah)

Bismillahirrahmaanirrahiim

HIDUP pada saat ini serasa kian sulit —lapangan kerja, sandang, pangan, papan, transportasi dan hajat hidup lainnya terasa serba sulit dan mahal— sesungguhnya ini terjadi akibat dari kapitalisasi hajatr publik dalam sistem ekonomi kapitalis. Jika di depan dan di belakang, samping kiri-kanan kita banyak terjadi kriminalitas, asusila, dan sejumlah pelanggaran sosial lainnya, bahkan bisa jadi dilakukan atau menimpa keluarga kita, maka itu adalah buah dari liberalisasi dalam sistem kehidupan demokrasi-liberal ini. Allah Swt. berfirman,

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى ۝١٢٤

“Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 24)

Sebagai orang beriman wajib menyadari bahwa sekulerisasi agama dari kehidupan umat Islam melahirkan banyak kesulitan dan penyimpangan.

Sistem ini berhasil memformat identitas umat Islam yang bertentangan dengan syariat Islam. Padahal inti dari agama ini adalah syariat, yakni seperangkat aturan yang mengatur segala aspek kehidupan. Kehidupannya menyimpang dari fitrah, tidak tahu lagi yang haq dan batil, menjauhi kebaikan.

Kaum muslim dipaksa berlari mengikuti arus modernitas yang dibentuk tatanan sekuler, seraya menanggalkan keislamannya. Jika tidak demikian, ia khawatir terasing dari pergaulan lingkungan modern.

Faktanya, pada saat yang sama, seorang muslim merasakan disorientasi. Antara tujuan hidup hakiki dan apa yang ia alami tidak sejalan. Kerap disergap ketidakpuasan materi, kelelahan fisik, dan kekacauan psikis, serasa hampa dari kesadaran ruhiah. Lingkungan tidak menopang dirinya untuk kembali pada fitrah alaminya, justru menjeratnya dengan kesalahan yang berulang.

Di sisi lain, umat Islam dalam pusaran peradaban postmodern hari ini gagap bersikap. Kebenaran dianggap tidak tunggal, bukan milik agama tertentu. Semua penganut agama berhak menyatakan kebenaran yang dia yakini seraya mengakui kebenaran yang diyakini orang lain.

Di tengah kehidupan majemuk, umat dipaksa menanggalkan identitas ideologisnya, bak’ kerbau dicocok hidung pada tatanan kapitalistik-liberalistik. Akibatnya, ia berada pada anak tangga terbawah peradaban, diformat sesuai keinginan musuh, dilabeli buruk tanpa pembelaan, dimiskinkan, direndahkan dalam peradaban materialis, syariat Islam dimonsterisasi (berbahaya jika diterapkan).

Umat Islam menjadi bantalan politik oportunis, suaranya diperlukan untuk kekuasaan kapitalis, sekaligus menjadi pasar potensial untuk produk kapitalis. Hingga hari ini, meski disebut peradaban modern, tidak tampak kebangkitan umat Islam. Karena itu, tindakan penyelamatan umat Islam agar kembali pada identitas hakikinya sebagai “khayru ummah” adalah agenda urgen yang wajib diwujudkan.

Dibutuhkan aktivitas “muhawalah al-mukhatabah” (usaha menyeru masyarakat), memunculkan penyadaran (al-idrak) dan pemahaman (al-fahm) kepada masyarakat tentang realitas apa yang sesungguhnya terjadi, yakni kerusakan yang sangat parah di tengah masyarakat. Semua itu adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme-sekuler.

Dibutuhkan dakwah perubahan pemikiran (da’wah fikriyyah), terjun dan bergerak di tengah-tengah masyarakat, membangunkan mereka dari tidurnya. Tujuannya agar sadar bahwa secara pemikiran, politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi, sejatinya semua negeri-negeri muslim sedang dalam penjajahan oleh apa yang sekarang dikenal dengan neoimperialisme atau penjajahan gaya baru.

Sebagai contoh, jika dahulu Barat datang ke negeri ini, kemudian menjajah serta menjarah sumber daya alam yang melimpah, kemudian dibawa ke negara mereka, maka sekarang berbeda. Barat dengan mudahnya masuk ke dalam negeri ini, mengelola (baca: menjarah) sumber daya alam di negeri ini melalui UU yang dibuat oleh pemerintah. Lihatlah bagaimana kekayaan alam yang melimpah di Papua, yakni emas, dijarah oleh pihak asing.

Lebih jauh, saat ini perlu ditanamkan keyakinan dan kemauan yang kuat dan sungguh-sungguh pada umat. Keyakinan dan kerinduan untuk meraih kemuliaan dalam Islam, membutuhkan amal yang sungguh-sungguh dengan mengikuti sunnatullah dan kaidah kausalitas (sababiyah).

Tidak cukup berdoa, wajib ada ikhtiar ter-indera untuk meraih tujuan mulia ini. Inilah yang juga dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih dan kaum muslim sebelumnya; melakukan amal nyata yang cerdas, sungguh-sungguh dan pantang menyerah.

Saat itu, menjelang penaklukan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih menyadari, untuk meraih kemenangan Allah dibutuhkan ketaatan dan kedekatan dengan Allah Swt. (taqarrub alaAllah). Inilah jalan turunnya kemenangan dari Allah Swt. (nashrulLaah). Hal itu dimulai dari dirinya sendiri.

Sang panglima itu tidak pernah berhenti berdoa agar dirinya, pasukannya dan umat Islam diberi kemenangan. Salat tahajud menghiasi malam-malamnya. Pasukannya pun dipastikan oleh dirinya sendiri agar tidak berbuat maksiat, yang bisa menghalangi datangnya pertolongan Allah Swt.

Inilah juga jalan optimisme untuk negeri ini. Kembali kepada Islam, yakin akan janji kemenangan dari Allah Swt., berusaha dengan sungguh-sungguh tidak putus asa, dan senantiasa membangun keterikatan dengan syariah Islam. Sekarang, masih ada kabar gembira Rasulullah yang tersisa untuk kita, penaklukan Roma, kembalinya Khilafah, dan peperangan terhadap Yahudi. Inilah kesempatan emas generasi kita untuk meraih janji kemuliaan dari Allah, dan menorehkan Kembali sejarah dengan tinta emas. Wallahu a’lam bishawab.

Bandung, 23 Juli 2024/17 Muharam 1446

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi