Syaikh Abdush Shamad al-Falimbani
Dalam kitab Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah karya Muhammad Hassan bin Mohammad Arsyad diungkap bahwa Syaikh Abdush Shamad al-Falimbani lahir di Palembang dari pasangan Syaikh Abdul Jalil bin Abdul Wahid bin Syaikh Ahmad al-Mahdany, seorang Arab Yamani yang menjabat sebagai mufti negeri Kedah, Pamalayu dengan putri bangsawan Palembang, bernama Raden Ranti.
Ayahandanya adalah guru pertama bagi keilmuan Abdush Shamad muda sebelum beliau menempuh jenjang studi ke Haramayn. Di Kota Makkah, Abdush Shamad berguru kepada para masyaikh terkemuka, baik yang berasal dari Nusantara ataupun dari berbagai negeri Muslim lainnya. Di antara keterampilan beliau dalam berguru, Syaikh Abdush Shamad piawai dalam bidang tauhid dan tasawuf. Hal ini dapat terlacak pada berbagai kitab yang ia tulis. Di antaranya adalah: Hidayat as-Salikin, Sair as-Salikin, Zahrat al-Murid fi Bayan Kalimat at-Tauhid, Tuhfat ar-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’minin, Al-Urwat Wutsqa wa Salasilat Ulil Ittqa, Ratibbb Abdush Shamad al-Falimbani, Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabbal ‘Alamin. Yang paling fenomenal adalah kitab Nasihah al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabilillah.
Dalam kitab terakhir yang ia tulis itu, Syaikh Abdush Shamad al-Falimbani menguraikan tentang nasihat-nasihat bagi kaum Muslim dan pengingat bagi kaum Mukmin Nusantara tentang keutamaan dalam jihad di jalan Allah. Kitab yang ditujukan bagi Muslim Nusantara ini pun secara khusus diperuntukkan bagi para penguasa Islam di Jawadwipa. Terbukti dengan dua pucuk surat beliau kepada Sultan Hamengkubuwono I dari Jogjakarta dan Pangeran Singosari di Kediri yang secara halus meminta mereka melanjutkan perjuangan jihad para sultan Mataram melawan kolonial Belanda.
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjary
Ulama Nusantara yang berasal dari Banjar ini lahir pada 1710. Beliau lahir dari keluarga terdidik di wilayah Kesultanan Banjar. Saat berusia sekira 7 tahunan, Arsyad kecil sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya hingga diminta penguasa Kesultanan untuk bermukim di istananya agar beliau mendapat pendidikan Islam yang lebih layak.
Setelah cukup dewasa, Sultan Banjar mengirimkan Muhammad Arsyad untuk berhaji sekaligus memperdalam ilmu agama di Haramayn. Saat di Kota Makkah, Syaikh Muhammad Arsyad berguru kepada para masyaikh Makkah yang berasal dari Nusantara. Di antara yang pernah menjadi gurunya adalah Syaikh Abdush Shamad al-Falimbani dan Syaikh Abdul Wahab Bugis. Adapun ulama mancanegara yang pernah mengangkatnya sebagai murid adalah Syaikh Abdurrahman al-Mishri dari Kairo, Mesir. Kelak, gurunya dari Mesir ini mengajar pula para ulama Betawi di Batavia, Jakarta.
Setelah beliau lulus dari madrasah ilmu yang ia ikuti di Kota Makkah, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjary diminta untuk mengajar di Masjidil Haram, sekaligus diangkat sebagai mufti Haramayn yang memberikan fatwa tentang berbagai masalah yang ada di Dunia Islam. Berikutnya, pada 1773, Syaikh Muhammad Arsyad memohon diri untuk kembali pulang ke Nusantara. Beliau ingin mengabdikan ilmunya bagi kemajuan Islam di tempat kelahirannya, Kota Banjar.
Sesampainya di Banjar, Sultan pun menganugerahinya gelar mufti Kesultanan sekaligus memfasilitasinya dengan sebidang tanah luas untuk membangun madrasah ilmu di Kota Banjar. Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjary pun mengepalai pengadilan agama yang memutuskan berbagai persoalan hukum di antara umat Islam. Anak-anak keturuannya pun kelak menduduki jabatan tersebut sepeninggal beliau. Di antara peninggalan beliau yang merupakan ilmu yang ia wariskan bagi umat Islam Nusantara adalah kitab ilmu fikih dan tasawuf, kitab ilmu hisab dan falak, di antaranya adalah Perukunan Melayu dan kitab Sabilul Muhtadin.
Syaikh Ahmad al-Ripangi
Syaikh Ahmad al-Ripangi adalah ulama Nusantara yang lahir di Kendal, Semarang pada 1786. Sejak belia, beliau berguru kepada ulama-ulama tradisional yang ada di Jawadwipa. Setelah itu, Ahmad Ripangi muda melanjutkan pembelajarannya ke Haramayn, berhaji dan berguru kepada para masyaikh terkemuka dan maraji’ utama Kota Makkah.
Selama delapan tahun lamanya, Syaikh Ahmad al-Ripangi berguru di Makkah al-Mukaramah. Setelah lulus dari Haramayn, beliau segera pulang kembali ke Tanah Air, dan menetap di Kalisasak Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Di Kalisasak inilah beliau mendirikan Mah’ad Quran dan madrasah ilmu bagi masyarakat Jawadwipa.
Selama mengajarkan ilmu di madrasahnya ini, Syaikh Ahmad al-Ripangi menulis banyak kitab. Di antaranya adalah kitab Husnul Mathalib, Asnal-Maqasid, Jam’ul Masa’il, Abyan al-Hawa’ij dan Ria’ayah al-Himmat.
Selain mengajarkan ilmu kepada para muridnya di madrasah, Syaikh Ahmad al-Ripangi juga dikenal sebagai ulama Nusantara yang berani menentang kolonial Belanda. Beliau tidak mau tunduk pada keputusan Kolonial yang menerbitkan Ordonansi 1837 pasca Perang Diponegoro. Dalam aktivitasnya mengajar, menulis dan berceramah di banyak tempat, Syaikh Ahmad al-Ripangi selalu membakar semangat jihad Islam kepada para mad’u-nya. Tentu, aktivitasnya ini sungguh membahayakan bagi kepentingan kolonial Belanda.
Akhirnya, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan Surat Keputusan No. 35 tertanggal 9 Mei 1859 dengan amar putusan menangkap Syaikh Ahmad al-Ripangi sekaligus mengasingkannya ke penjara Ambon di Kepulauan Maluku.
Sekalipun Syaikh Ahmad al-Ripangi diasingkan ke Ambon, semangat juangnya tetap menggelora di antara para muridnya, baik di Pulau Jawa maupun Nusantara pada umumnya. Mereka tetap meneruskan perjuangannya di pondok-pondok pesantren, termasuk saat terjadi kegaduhan politik dan dialektika pemikiran yang ada di pusat Timur Tengah akibat munculnya pemikiran-pemikiran non-Islam yang meracuni nalar kaum Muslim menjelang kejatuhan Khilafah Utsmani. Para ulama di pusat pemerintahan Utsmani pun kerap berbagi berita dan upaya perjuangan dengan jaringan ulama Nusantara ini. Di antaranya Syaikh Yusuf an-Nabhani kerap bertukar berita dan metode perjuangan dengan para ulama yang ada di Jawadwipa, seperti Sayyid Utsman bin Abdillah bin Aqil bin Yahya al-Alawi yang masyhur dengan julukan mufti Betawi. Begitupun dengan murid Syaikh Yusuf lainnya, baik yang berguru secara langsung ataupun tidak. Di antaranya tokoh-tokoh Nahdliyin, seperti Syaikh Hasyim Asy’ari dan Syaikh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri.
Saat Khilafah Utsmani runtuh pada 3 Maret 1924, para ulama Nusantara pun bereaksi akibat ketiadaan pemimpin tunggal untuk Muslim sedunia tersebut. Bahkan HOS. Tjokroaminoto menyatakan, “Jika umat Islam tanpa Khilafah seperti tubuh tanpa kepala…” Berikutnya, demi merespon kejatuhan Khilafah itu, para ulama Nusantara pun diundang oleh panitia kongres umat Islam sedunia di Makkah dan Kairo untuk ikut membincangkan penegakkan kembali Khilafah Islam. Sayang, dari kongres ke kongres sepanjang 1924-1927, perjuangan pembentukan kembali Khilafah dan pengangkatan kembali seorang khalifah mengalami kegagalan. Namun, embrio untuk mewujudkan kembali Khilafah tetap diperjuangkan terus oleh generasi Muslim berikutnya, termasuk para ulama mukhlis di dalamnya. Ya Allah, saksikanlah. [Salman Iskandar]