Syariah dan Khilafah Mencegah Perampasan Ruang Hidup Perempuan dan Generasi

Islam sebagai sistem hidup yang sempurna telah memberikan regulasi yang detil dalam memberikan perlindungan ruang hidup dan kesejahteraan bagi perempuan dan generasi. Penerapan Syariah secara kaaffah dalam negara Khilafah Islam telah meninggalkan ribuan jejak dalam catatan sejarah bagaimana perlindungan dan kesejahteraan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat selama ratusan abad. Hal yang utopia terjadi dalam sistem negara demokrasi.

Setidaknya ada tiga mekanisme dalam Islam untuk hal itu. Pertama, dalam regulasi lahan. Kedua, dalam regulasi tata ruang. Ketiga, dalam regulasi mitigasi bencana.

Islam juga memiliki regulasi tersendiri tentang pembiayaan ekonomi negara tanpa bergantung pada investasi asing sehingga terhindar dari penjajahan negara luar melalui skema investasi.

 

  1. Regulasi Lahan yang Melindungi dan Menyejahterakan Perempuan dan Generasi.

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, termasuk tanah, hakikatnya adalah milik Allah SWT semata (Lihat, antara lain:  QS an-Nur [24]: 42; QS al-Hadid [57]: 2). Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata (Yasin Ghadiy, Al-Amwaal wa al-Amlaak al-‘Aammah fi al-Islaam, hlm. 19).

Kemudian Allah SWT, sebagai Pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik-Nya ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Allah SWT berfirman (yang artinya): Nafkahkanlah sebagian dari harta kalian yang telah Allah jadikan untuk kalian kuasai (QS al-Hadid [57]: 7).

Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul-milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT” (Tafsir Al-Qurthubi, I/130).

Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu: Pertama, Pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai Pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah. Maka dari itu, filosofi ini mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah saja (Syariah Islam). (Abduh & Yahya, Al-Milkiyyah fii al-Islaam, hlm. 138).

Mengatur pertanahan dengan hukum selain hukum Allah telah Allah haramkan sebagai Pemiliknya yang hakiki (Lihat: QS al-Kahfi [18]: 26).

Kepemilikan (milkiyyah, ownership) dalam syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda (idznu asy-Syaari’ bi al-intifaa’ bi al-‘ayn) (An-Nabhani, An-Nizhaam al-Iqtishaadi fii al-Islaam, hlm. 73).

Kepemilikan tidaklah lahir dari realitas fisik suatu benda, melainkan dari ketentuan hukum Allah pada benda itu (Abdul Ghani, Al-‘Adalah fii an-Nizhaam al-Iqtishaadi fii al-Islaam, hlm. 8).

Syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan 2 (dua) aspek yang terkait dengan tanah, yaitu: (1) zat tanah (raqabah al-ardh);  (2) manfaat tanah (manfa’ah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.

Dengan demikian paradigma pembangunan ekonomi tentang lahan dalam regulasi syariah oleh Khilafah memastikan jaminan kepemilikan berada pada siapapun yang menghidupkan dan mengelola lahan. Negara dilarang merampas lahan yang sudah dihidupkan dan dikelola rakyat ini dengan alasan apapun. Dalam Islam, keberadaan investasi asing bahkan diposisikan sebagai alat penjajahan negara luar yang harusnya diwaspadai dan ditolak. Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., Ak., CA. mengatakan bahwa investasi asing makin mengukuhkan penjajahan ekonomi. Arim mengatakan, makin investasi asing masif dengan kekuatan oligarkinya, dengan kekuatan monopolinya, maka kebijakan negara akan disetir oleh mereka.

Kepastian kepemilikan lahan dalam Islam—sehingga lahan tidak bisa dirampas siapapun dengan alasan apapun—dijamin oleh hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan kepemilikan tanah. Menurut Abdurrahman al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui: (1) jual beli; (2) waris; (3) hibah; (4) ihyaa‘al-mawaat (menghidupkan tanah mati); (5) tahjiir (membuat batas pada tanah mati;, (6) iqthaa‘ (pemberian negara kepada rakyat) (Al-Maliki, As-Siyaasah al-Iqtishaadiyyah al-Mustlaa, hlm. 51).

Mengenai jual-beli, waris dan hibah sudah jelas. Adapun ihyaa‘ al-mawaat artinya adalah menghidupkan tanah mati. Pengertian tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati artinya memanfaatkan tanah itu, misalnya dengan bercocok tanam padanya, menanami tanah dengan pohon, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya. Sabda Nabi saw., “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR al-Bukhari) (An-Nabhani, An-Nizhaam al-Iqtishaadi fii al-Islaam, hlm. 79).

Adapun tanah yang di dalamnya ada tambang, misalkan minyak, emas, perak, tembaga, dan sebagainya, ada 2 (dua) kemungkinan: (1) tanah itu tetap menjadi milik pribadi/negara jika hasil tambangnya sedikit; (2) tanah itu menjadi milik umum jika hasil tambangnya banyak. Nabi saw. pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang kepada Bilal bin al-Harits Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini menunjukkan tanah yang bertambang boleh dimiliki individu jika tambangnya mempunyai kapasitas produksinya sedikit.

Nabi saw.  pun suatu saat pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Setelah diberitahu oleh para Sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka Nabi saw. menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal (HR at-Tirmidzi). Ini menunjukkan tanah dengan tambang yang besar kapasitas produksinya, menjadi milik umum yang dikelola negara, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu (swasta). (Al-Nabhani, ibid. hlm. 220).

Dengan berbagai regulasi lahan menurut syariah Islam ini, maka setiap perempuan dan generasi terjamin ruang hidupnya, termasuk pemastian kebutuhan lahan pendidikan bagi generasi.

 

  1. Regulasi Tata Ruang Negara Khilafah yang Melindungi serta Menyejahterakan Perempuan dan Generasi.

Mengutip pemaparan Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar, baik Baghdad maupun Cordoba, adalah kota-kota yang tertata rapi, dengan saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah serta jalan-jalan luas yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari.  Ini kontras dengan kota-kota di Eropa pada masa itu, yang kumuh, kotor dan di malam hari gelap gulita, sehingga rawan kejahatan.

Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.  Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan.  Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja. Sebabnya, semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.  Negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariah Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh Negara Dengan itu selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum.

Khalifah dari Dinasti Umayah mengawali langkah semacam itu di ibukota pemerintahan, Damaskus. Melalui karyanya, History of the Arabs, Philip K Hitti menguraikan, di tengah kota tersebut dirancang seperti sebuah mutiara pada gelang batu jamrud. Di sana berdiri megah Istana Umayah yang diberi nama Al-Khadhra. Dinasti Umayah turut membangun berbagai institusi di bidang kesehatan, di antaranya bagi penderita lepra. Rumah-rumah sakit juga didirikan di berbagai kota. Kufah dan Basra di Irak dikembangkan sebagai kota perdagangan, pendidikan, agama dan pemerintahan. Pada era itu pula, ujar Tamim Ansary dalam bukunya, Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam, kota-kota garnisun melunak menjadi sentra komersial yang sibuk.

Di Dunia Islam bertebaran kota-kota yang ramai dan sibuk. Ya’qubi, seorang ahli geografi Arab, menggambarkan bahwa Baghdad memiliki 6.000 jalan dan lorong. Selain itu, terdapat sekitar 3.000 masjid serta 10 ribu pemandian umum. Ratusan masjid berdiri di Kordoba. Kota metropolis ini pun memiliki akses terhadap kenyamanan pada zamannya, seperti air di setiap rumah dan lampu jalan. Perpustakaan besar juga dibangun. Begitu juga perluasan lahan pertanian.

Dengan regulasi tata ruang pembangunan suatu kota berdasar syariah Islam, terlihat kehidupan perempuan dan generasi berjalan nyaman, sejahtera dan yang lebih penting lagi dirasakan oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Bukan hanya dinikmati segelintir kelas tertentu.

 

  1. Regulasi Syariah Kaaffah dalam Mitigasi Bencana.

Kota-kota di dalam Peradaban Islam memberikan ruang hidup yang nyaman bagi perempuan dan generasi, juga karena adanya perlindungan antisipatif dari bencana. Khilafah—yang menjadi negara penerap syariah Islam—memiliki strategi dalam penanganan bencana, salah satunya gempa bumi. Mengutip pendapat pakar geospasial Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar, saat era Kekhalifahan di Turki misalnya, untuk mengantisipasi gempa, yang dilakukan adalah membangun gedung-gedung tahan gempa. Sinan, seorang arsitek yang dibayar Sultan Ahmet untuk membangun masjidnya yang berseberangan dengan Aya Sofia, membangun masjid itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh dan pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata. Masjid itu, dan juga masjid-masjid lainnya, diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya pada saat itu cukup stabil. Gempa-gempa besar di atas 8 SR yang terjadi di kemudian hari terbukti tidak menimbulkan dampak yang serius pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh. Jadi, bencana-bencana alam selalu diantisipasi terlebih dulu dengan ikhtiar.

Penguasa dalam Khilafah menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai jenis bencana. Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga menyiapkan masyarakat untuk selalu tanggap darurat. Selain itu, aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi terburuk sekalipun. Mereka tahu cara mengevakuasi diri dengan cepat, menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, mengurus jenazah yang bertebaran, dan merehabilitasi diri pasca kondisi darurat.

 

Khatimah

Demikianlah berbagai regulasi Islam yang sempurna yang terbukti telah memberikan ruang hidup yang nyaman, aman bagi perempuan dan generasi. Berbagai catatan sejarah dalam peradaban Khilafah Islam yang pertama menjadi bukti nyata betapa masyarakat hidup sejahtera ratusan abad, baik Muslim maupun non-Muslim tanpa ada kesenjangan ekonomi. Kehidupan aman, nyaman, sejahtera, terlindungi bisa dinikmati perempuan dan generasi secara merata, bukan hanya oleh segelintir kelompok kaya tertentu.

Syariah dan Khilafah bukan hanya kewajiban, namun menjadi kebutuhan mendesak bagi umat manusia hari ini.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Nida Saadah]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi