Oleh. K.H. Hafidz Abdurrahman
Percaya atau tidak, pengaruh persepsi dalam kehidupan kita sangat besar. Contohnya persepsi kita soal rizki.
Coba bayangkan, ketika kita menganggap rizki itu adalah kepemilikan, maka apa yang bukan milik kita, kita anggap bukan rizki kita. Padahal, boleh jadi kita bisa mendapatkan manfaatnya dari pemiliknya, tanpa harus memiliki. Kadang kita butuh mobil, ada yang meninjami. Kadang butuh tempat tinggal, ada yang pinjami ini itu namanya rizki.
Karena rizki itu tidak identik dengan milik kita, tetapi apa saja yang diberikan kepada kita dan bisa kita manfaatkan. Maka, rizki itu luas cakupannya, bisa fisik dan non fisik. Bisa tampak dan tidak.
Kesalahan kita, karena menganggap rizki kita hanya yang tampak dan dalam kekuasaan kita. Akibatnya, ketika yang tampak dan dalam genggaman kita berkurang, habis bahkan hilang, kita gelisah, khawatir bahkan stress.
Maka, diberi harta, rumah, kendaraan, suami, isteri, anak, adalah rizki, tetapi tidak diberi semuanya itu juga rizki. Karena “tidak diberi harta, rumah, kendaraan, suami, isteri dan anak” itu juga pemberian. Itu artinya rizki.
Karena itu rizki kita tidak bisa kita hitung dengan hitungan angka. Kalau rizki kita matematikakan, maka inilah yang menyebabkan kita gelisah, khawatir dan stress.
Akhirnya, mau menikah takut. Mau punya anak takut. Mau menyekolahkan anak takut. Semuanya serba takut. Khawatir kalau tidak cukup.
Bagaimana caranya supaya tidak stress, persepsinya harus diubah. Rizki itu pemberian Allah, bisa fisik dan non fisik. Bisa dihitung dan tidak. Yang pasti, harus yakin, rizki itu di tangan-Nya, tidak terbatas, dan selalu ada untuk kita, selama kita masih hidup.
Karena Dia jamin rizki setiap makhluk hidup. Kita pun tak akan mati, sebelum rizki kita sempurna. Kerja atau ikhtiar hanya mengusahakan kondisi (hal), bukan sebab. Kadang dari situ rizki datang, kadang tidak…
Rizki tidak ditentukan akal, pendidikan dan kedudukan. Kalau tidak, burung dan hewan akan mati kelaparan…
.
Maka, Allahlah Yang Maha Mengurus kita semua dan mereka melebihi ibu kita pada anak-anaknya.
Wallahu a’lam bish-shawab.