#InspirasiRamadhan
Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
DI sebuah rumah sakit, di sebuah ruang perawatan, sesosok tubuh terbaring lemah di atas ranjang. Sebuah jarum infus tertanam di salah satu pergelangan tangannya. Tubuhnya tampak lemas. Wajahnya pucat pasi. Tak tampak senyum di bibirnya. Yang ada hanyalah suara keluh-kesah karena menahan rasa sakit yang diderita.
***
Pembaca yang budiman, saat ini ada puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu orang yang terbaring lemah di rumah sakit dengan aneka penyakit yang mereka derita, dari penyakit yang ringan hingga yang berat. Karena itu tentu pemandangan seperti di atas adalah pemandangan yang terlalu biasa bagi kita.
Namun, ada hal menarik yang sebetulnya patut jadi bahan renungan kita. Saat seseorang sakit, apalagi sampai dirawat di rumah sakit, para penjenguknya biasanya akan berbasa-basi bertanya, “Sudah berapa lama sakit, Pak?” Atau, “Sejak kapan sakit dan dirawat di sini, Bu?”
Kontan, orang sakit biasanya akan menjawab: tiga hari, lima hari, seminggu, dua minggu, sebulan, dst. Ia akan begitu hapal masa-masa sakitnya. Ia akan berusaha menghitung hari-hari sakitnya. Bukan apa-apa. Masa-masa sakit adalah masa-masa penderitaan yang seolah dianggap ‘penting’ untuk dihitung dan diingat-ingat.
Namun, cobalah sesekali kita bertanya kepada orang sakit tersebut, termasuk bertanya kepada diri sendiri yang sekian lama hidup sehat, “Sudah berapa lama merasakan sehat?”
Pasti, kebanyakan dari kita tak akan mampu menjawab secara pasti. Mengapa? Karena bagi kebanyakan kita, sehat adalah perkara biasa. Sehat seolah perkara yang ‘tidak penting’ apalagi istimewa. Sehat baru dianggap penting dan istimewa justru saat kita sakit. Saat itulah kita rela mengeluarkan uang–bagi yang memiliki banyak uang–puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah, supaya bisa segera sembuh dan sehat kembali.
Begitulah manusia. Tak pandai menghitung nikmat. Hanya pandai menghitung musibah dan bencana yang menimpa dirinya. Karena itu saat dikarunia banyak nikmat—di antaranya nikmat sehat—kebanyakan manusia tak bersyukur. Sebaliknya, ia akan mudah berkeluh-kesah saat ditimpa musibah, seperti sakit.
Padahal jika ditafakuri, kebanyakan manusia jauh lebih sering sehatnya daripada sakitnya. Sakitnya hanya sesekali. Kadang-kadang tak terlalu lama. Tentu jika dibandingkan dengan masa-masa sehatnya yang amat panjang, sepanjang usia kehidupannya di dunia.
Karena itu sepantasnya kita belajar kepada NabiyulLah Ayyub as. Awalnya ia memiliki harta yang sangat banyak. Ia juga memiliki istri yang salih dan 12 anak keturunan yang baik.
Namun kemudian, hartanya yang banyak habis. Anak-anaknya semuanya meninggal dunia. Ia sendiri menderita penyakit kulit yang sangat berat hingga sekujur tubuhnya bernanah.
Namun demikian, dalam menjalani musibah itu, ia tetap bersabar dan mengharap pahala. Ia tetap beribadah dan berzikir pada malam dan siang, pagi dan petang.
Tentang Nabi Ayyub as. ini, Anas bin Malik menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Nabi Allah Ayyub mendapat cobaan berat selama 18 tahun hingga orang dekat dan jauhnya menjauhi dia, kecuali dua orang saudara akrabnya yang sering menjenguk dia pada pagi dan sore…” (HR Abu Ya’la dan al-Bazzar).
Karena begitu lamanya Nabi Ayyub as. menderita sakit parah, suatu saat istrinya berkata kepada dia, “Ayyub, tidakkah engkau berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu?”
Nabi Ayyub as. malah berkata, “Janganlah begitu! Aku ini telah diberi kesehatan dan kenikmatan selama 70 tahun, sementara aku ditimpa penyakit ini baru 18 tahun.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Durr al-Mantsur fi at-Ta’wil bi al-Ma’tsur, 8/414).
Demikianlah Nabi Ayyub as. Kesabarannya dalam menanggung berbagai derita tentu amat penting kita teladani. Apalagi, bagi seorang Muslim, memiliki sifat sabar adalah kewajiban, sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya): Bersabarlah atas apa saja yang menimpa kamu. Sungguh hal itu termasuk hal-hal yang Allah wajibkan (atas kamu) (TQS Luqman [31]: 17).
Alhasil, marilah kita sering mengingat-ingat kembali masa-masa yang demikian lama saat kita berada dalam ragam kenikmatan yang telah Allah berikan: nikmat sehat; nikmat panjang umur, nikmat punya orangtua, harta, istri/suami; anak-anak, dll. Ingat pula masa-masa yang demikian panjang saat kita banyak diberi oleh Allah SWT berbagai kemudahan.
Hanya dengan cara seperti itulah kita bisa senantiasa memiliki kesabaran, bahkan tetap bisa bersyukur, meski kita sedang dirundung musibah dan banyak masalah.
Lalu apa kaitannya dengan shaum? Tidak lain karena shaum sejatinya mengajari kita banyak hal penting. Salah satunya adalah sikap sabar.
Semoga Allah SWT menjadikan kita orang-orang yang sabar, juga orang-orang yang selalu bersyukur. Amin.
Waa maa tawfiiqii illaa bilLaah’alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []
170422
Hikmah Ramadhan:
قال الإمام النووي رحمه الله تعالى: اعلم أن تلاوة القرآن هي أفضل الأذكار، والمطلوب القراءة بالتدبر. (النووي، الأذكار 101)*
Imam an-Nawawi rahimahulLaah berkata: “Ketahuilah bahwa membaca al-Quran adalah sebaik-baiknya zikir kepada Allah SWT. Yang dituntut adalah membaca al-Quran dengan men-tadabburi (merenungkan) isinya.” (An-Nawawi, Al-Adzkaar, hlm. 101). []