Sesajen, Kearifan Lokal, dan Syariah

Oleh. H. M Ali Moeslim

Bismillahirrahmanirrahim

Dalam Islam jelas hukumnya bahwa ritual pemberian sesajen itu tergolong sebagai perbuatan syirik. Pasalnya, ritual mempersembahkan sesajen tersebut ditujukan kepada makhuk halus yang dianggap sebagai penguasa tempat tertentu. Tentu saja, hal tersebut termasuk sebagai perbuatan menyekutukan Allah dengan makhluk. Bahkan, perbuatan tersebut sangat berbahaya bagi para pelakunya.

Dalam Islam sendiri sudah jelas hukumnya menyembah, memohon kepada yang selain Allah SWT. adalah perbuatan syirik dan tidak boleh dilakukan walaupun sekadar perantara.

Jika dilakukan oleh mereka yang bukan Muslim tentu itulah lahan dakwah kepada mereka, namun jika dilakukan oleh ummat Muslim, sekadar partisipasi atau berpendapat positif terhadap kemusyrikan tersebut, tetap saja dipertanyakan kelurusan aqidahnya. Sebab, Allah hanya memerintahkan hamba-Nya untuk tolong-menolong hanya dalam perbuatan kebaikan. Seperti halnya Allah berfirman dalam ayat berikut:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maaidah: 2)

Allah SWT berfirman:

قُلِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَٰمٌ عَلَىٰ عِبَادِهِ ٱلَّذِينَ ٱصْطَفَىٰٓ ۗ ءَآللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ

“Katakanlah, “Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?” (QS An-Naml: 59)

Dijelaskan dalam tafsir Al-Mukhtashar, Katakan -wahai Rasul- “Segala puji bagi Allah atas segala nikmat-nikmat-Nya dan amanat dari-Nya atas para Rasul-Nya yang telah dipilih-Nya untuk menyampaikan agama-Nya. Apakah Allah yang berhak disembah, di Tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu yang lebih baik ataukah sesembahan-sesembahan yang disembah oleh orang-orang musyrik yang tidak mampu memberikan manfaat maupun mudarat?”

Karena cara pandang berbeda dengan Islam, maka argumen pembelaan terhadap sesajian itu dilabeli dengan kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal (local wisdom) dalam dekade belakangan ini sangat banyak diperbincangkan. Perbincangan tentang kearifan lokal sering dikaitkan dengan masyarakat lokal dan dengan pengertian yang bervariasi.

kearifan lokal dipandang sebagai pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dalam masyarakat, baik dalam pelestarian sumber daya alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan.

Bagaimana Islam memandang hal tersebut? Adat-istiadat adalah produk pemikiran. Hanya saja, tidak dalam bentuk materi, tetapi nonmateri. Karena itu, adat-istiadat adalah bagian dari peradaban [hadhârah], bukan madaniyyah [produk materi].

Sebagai produk pemikiran, adat-istiadat itu lahir atau terpancar dari akidah tertentu. Karena itu, ketika adat-istiadat itu tidak bertentangan atau sesuai dengan syariah Islam, tidak bisa serta-merta diklaim sebagai bagian dari Islam. Sebabnya, adat-istiadat tersebut lahir atau terpancar dari akidah lain, bukan dari akidah Islam. Memang ada sebagian fuqaha’ menjadikan adat-istiadat [al-‘âdat] dan konvensi [al-‘urf] sebagai dalil. Alasannya, karena Allah SWT. memerintahkan:

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ

“Jadilah pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang makruf dan jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199).

Frasa, “wa’mur bi al-urf” (suruhlah mengerjakan berdasarkan kebiasaan) ini mereka gunakan sebagai justifikasi. Mereka menjustifikasi konotasi ini dengan beberapa masalah fikih, yang mereka klaim, ditetapkan berdasarkan penggunaan konvensi [‘urf]. Bahkan, mereka juga mengklaim Nabi Saw. telah mengakui sejumlah konvensi dan adat-istiadat. Karena itu, bagi mereka adat-istiadat dan konvensi itu merupakan dalil syariah.

Mengenai QS Al-A’raf ayat 119 di atas yang mereka gunakan untuk menjustifikasi adat-istiadat sebagai dalil, jelas keliru.

Pertama, ayat yang mereka klaim sebagai dalil syariah ini sebenarnya tidak ada relevansinya dengan adat-istiadat atau konvensi. Ayat ini merupakan ayat Makkiyah. Diturunkan sebelum Nabi Saw. hijrah ke Madinah. Makna ayat ini adalah, “Ambillah perbuatan, akhlak masyarakat, dan apa saja yang datang dari mereka, yang dibenarkan untukmu [Muhammad]. Kamu pun mudah [berinteraksi] dengan mereka, tanpa beban. Kamu tidak meminta jerih payah dari mereka, dan apa saja yang bisa memberatkan mereka, sehingga mereka lari.”1

Kedua, konvensi [‘urf], adalah perbuatan yang dilakukan terus-menerus. Jika dilakukan oleh individu disebut adat-istiadat [al-‘âdat]. Jika dilakukan oleh komunitas atau kelompok disebut konvensi [al-‘urf]. Semua perbuatan ini harus dilaksanakan berdasarkan syariah Islam. Ini karena setiap Muslim wajib melaksanakan perbuatannya mengikuti perintah dan larangan Allah SWT. Karena itu, syariahlah yang harus menjadi patokan adat-istiadat atau konvensi, bukan sebaliknya. Karena itulah, adat-istiadat atau konvensi tidak bisa dijadikan, baik sebagai dalil maupun kaidah syariah.

Ketiga, kadangkala adat-istiadat atau konvensi tersebut menyalahi syariah, kadangkala tidak. Jika adat-istiadat atau konvensi menyalahi syariah, maka syariah datang untuk membersihkan atau mengubahnya. Hal ini karena di antara tugas syariah adalah mengubah adat-istiadat atau konvensi yang rusak, bukan memeliharanya. Jika adat-istiadat atau konvensi tersebut tidak menyalahi syariah, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan dalil dan ‘illat syariah, bukan berdasarkan adat istiadat atau konvensi tersebut. Karena itu, syariahlah yang menjadi patokan adat-istiadat atau konvensi, bukan sebaliknya.

Keempat, adat-istiadat atau konvensi tidak memiliki akar [ushûl], baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun Ijmak Sahabat. Karena itu, adat-istiadat atau konvensi tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai dalil syariah. Pasalnya, apa pun tidak diakui sebagai dalil syariah, kecuali dinyatakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Wallahu a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi