SENGKARUT SERTIFIKASI HALAL

H. M Ali Moeslim

Bismillahirrahmanirriim

SELAMA ini sertifikasi halal diperoleh dari Lembaga Pengkajian pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) yang dikelola Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun sejak lahirnya UU nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal, proses ini menjadi kewenangan Kementerian Agama (KEMENAG).

Kementerian Agama dalam hal ini membuat lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Lembaga baru ini ditargetkan sudah bisa mulai bekerja pada tahun 2019. Hanya saja, dalam pelaksanaanya lembaga ini masih dianggap belum bisa menjalankan tugasnya.

Kalau bicara halal dan haram, bukan semata berkenaan dengan makanan saja, akan tetapi lebih luas berkenaan dengan “ke-halal-an” perbuatan dalam setiap aspek kehidupan, karena standar perbuatan manusia yang beriman itu adalah halal dan haram, bukan sama sekali pertimbangan manfaat, apalagi bebas nilai alias liberal.

Masalah utamanya bukan persoalan sertifikasi halal terhadap makanan, akan tetapi negara benar benar menjamin akan makanan yang halal yang dikonsumsi oleh warga masyarakat terutama yang muslim, negara akan mengawasi dengan ketat dan bisa jadi memusnahkan asal atau akar produk dari makanan yang haram atau yang membahayakan, jika asal makanan itu dari luar negeri, negara akan dengan tegas melalui institusi pintu masuk barang dari luar dan menyaring makanan yang masuk.

Negara juga tidak hanya mengawasi aspek makanan, akan tetapi menjaga dan memelihara warganya dari perbuatan-perbuatan haram yang menyebabkan manusia terjerumus ke dalam kemadaratan di dunia dan akhirat.

Sejatinya negara itu tidak hanya menjamin kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan bagi warga serta memenuhi kebutuhan dasar yakni kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Dalam Islam, negara sebagai institusi pelaksana syariah secara kaffah, keberadaannya menjaga aqidah dan syariah umat, menerapkan hukum terkait dengan publik bagi warga muslim maupun non-muslim, memastikan setiap amal perbuatan umat islam terikat dengan syariah Islam dalam setiap aspek kehidupannya.

Keberadaannya juga menjaga jati diri manusia agar benar benar menjadi hamba yang memang diciptakan oleh Allah ke dunia untuk beribadah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Sebuah bentuk negara yang ideal yang menjamin kehidupan warganya kesejahteraan di dunia dan berusaha agar mendapat keselamatan di akhirat.

Allah SWT berfirman ;

وَمَا ٱخۡتَلَفۡتُمۡ فِيهِ مِن شَيۡءٖ فَحُكۡمُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۚ ١٠

“Tentang apapun kalian berselisih maka putusannya harus dikembalikan kepada Allah” (QS asy-Syura [42]: 10).

Allah SWT juga berfirman:

فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ ٥٩

“Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah)” (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Allah SWT pun berfirman:

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ٨٩

“Kami menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS an-Nahl [16]: 89).

Selain itu Rasulullah saw. pernah bersabda;

كُلُّ أَمْرٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Setiap perkara yang bukan termasuk ke dalam urusan kami (tidak kami perintahkan) adalah tertolak (HR ad-Daruquthni).

Semua nas di atas menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah mengikuti syariah dan terikat dengan syariah.

Kaidah syariah menyatakan.

اَلأَصْلُ فِى أَفْعَالِ اْلإِنْسَانِ التَّقَيُّدُ بَحُكْمِ الله

Pada dasarnya perbuatan manusia itu terikat dengan hukum Allah.

Dengan demikian seorang Muslim tidak boleh melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut, yang bersumber dari seruan Pembuat syariah.

Wallahu a’lam bishawab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi