Saat Ajal yang Pasti itu Tiba

 

Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman

Hidup adalah rangkaian waktu yang memiliki tenggat waktu masing-masing, yaitu ajal. Ketika tenggat waktu yang diberikan telah berakhir, maka tidak satu pun yang bisa meminta ditangguhkan. Begitupun ketika tenggat waktu itu belum tiba, maka ia tidak bisa dipercepat, meski hanya sesaat. Itulah ajal manusia.

Allah Swt. berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ

“Setiap umat mempunyai ajal (tenggat waktu). Ketika tiba ajal mereka, maka mereka tidak bisa meminta ditangguhkan meski hanya sesaat. Juga tidak bisa minta dipercepat.” (QS Al-A’raf: 34)

Sesungguhnya rangkaian waktu yang telah dilalui, meski hanya setahun, sebulan, seminggu, sehari, sejam, semenit atau bahkan sedetik, tidak akan bisa ditarik kembali. Jika semuanya itu telah pergi, maka umur kita bertambah, tetapi ajal kita semakin dekat.

Ajal kita sudah ditetapkan oleh Allah, maka ke mana pun kita berlari, meski bersembunyi di dalam benteng yang paling kukuh sekalipun, tetap saja kematian akan menghampiri kita. Allah Swt. berfirman:

أَيْنَمَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِيْ بُرُوْجٍ مُشَيَّدَةٍ

“Di mana pun kamu berada, kematian pasti akan menemukanmu, sekalipun kamu berada dalam benteng yang tinggi lagi kukuh.” (QS An-Nisa’: 78)

Begitulah ajal manusia, pasti tiba. Pertanyaannya, siapkah kita menghadapinya? Sudah cukupkah perbekalan amal demi menghadap kepada-Nya? Pernahkan kita menghitung waktu yang kita gunakan, lebih banyak untuk maksiat atau untuk taat? Berapa banyak waktu yang kita berikan untuk Allah, Rasul-Nya, dan Agamanya? Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui semua itu dan malaikat tanpa lalai telah mencatatnya, sehingga kita tidak kuasa mengelaknya (Lihat QS Maryam: 93-100).

Itulah mengapa Al-Junaid bin Muhammad, membaca tasbih sebanyak 30.000 kali setiap harinya. Bahkan, ketika kematian menjemputnya, beliau sedang membaca Al-Qur’an. Putranya bertanya, “Mengapa Ayah membaca Al-Qur’an, padahal Ayah sedang sibuk menjemput kematian?” Beliau menjawab, “Apakah ada di dunia ini yang lebih membutuhkan amal saleh ketimbang ayah?”

Dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, Ibn Rajab menuturkan bahwa Khalid bin Ma’dan membaca tasbih sebanyak 100.000 kali dalam sehari. Subhanallah, begitulah orang-orang saleh menjaga waktunya.

Umar bin Al-Khaththab pun mengingatkan,

حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا

“Hitunglah amal perbuatan kalian sebelum kalian dimintai pertanggungjawaban (oleh Allah).”

Oleh karena itu, rangkaian waktu yang kita lalui lebih berharga ketimbang emas, perak, kedudukan, atau apa pun yang kita miliki. Jika kita tidak bisa melaluinya sesuai dengan syariat Allah, meski kita telah bekerja keras, maka pada akhirnya kita akan menyesal. Allah memberikan gambaran itu pada amal perbuatan orang kafir,

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً

“(Orang Kafir) telah bekerja keras lagi kepayahan, tetapi memasuki neraka yang sangat panas.” (QS Al-Ghasyiyah: 3-4)

Hidup yang bahagia dan bermakna adalah ketika amal saleh kita diterima oleh Allah. Pun saat ajal yang pasti itu tiba, semua yang kita lakukan bisa kita pertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Bahkan, kita pun dirindukan-Nya.

Seperti itulah yang dialami Sa’ad bin Mu’adz, sahabat Nabi yang mulia. Umurnya tidak panjang, hanya sekitar 30 tahunan. Tidak kurang dari enam tahun, ia habiskan waktunya untuk Islam, Allah, dan Rasul-Nya. Saat ajal menjemputnya, Allah berikan kemuliaan yang tiada tara. Kematiannya dirindukan oleh-Nya hingga membuat singgasana-Nya berguncang.

Abu Hurairah juga demikian. Beliau ditakdirkan Allah hanya bersama Nabi saw. tidak kurang dari tiga tahun. Namun, dalam waktu tiga tahun itu, beliau gunakan untuk Islam. Beliau berhasil mengumpulkan tidak kurang dari empat karung hadis. Ia gunakan malamnya untuk belajar dan menghapal Al-Qur’an. Sungguh berkah umur dan waktunya. Meski tidak banyak dan tidak panjang, tetapi Allah berikan kebaikan yang berlimpah.

Jika kita sadar, Allah pun memberikan kesempatan emas kepada kita. Dengan salat berjemaah dan salat rawatib misalnya, dalam sehari kita bisa mendapatkan 152 poin dibandingkan saat salat sendiri yang hanya mendapatkan 17 poin. Belum lagi, jika itu semua dilakukan di masjid, maka tiap langkah kaki kita akan merontokkan dosa kita.

Dengan salat di Masjid Nabawi, kita bisa mendapatkan 1000 poin. Itu artinya, nilai kita sehari beribadah di sana, sama dengan 24 tahun. Lalu bagaimana kalau itu kita lakukan di Masjidil Haram? Maka, poin yang kita peroleh sama dengan 2.483 tahun. Subhanallah.

Ini baru ibadah salat. Bagaimana ketika isi hidup kita dengan dakwah? Ketika kita berdakwah dan seseorang mendapatkan hidayah Allah karena kita, maka Allah mengganjarnya dengan kebaikan yang tidak terhingga. Lebih baik daripada terbitnya matahari dan bulan. Allahuakbar.

Begitulah Allah memberikan kesempatan kepada kita agar umur, waktu, dan hidup kita menjadi berkah dan penuh hikmah. Saat ajal yang pasti itu tiba, kita pun menghadap-Nya dengan senyuman. Begitulah jiwa orang-orang Mukmin yang saleh dan salihah,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ اِرْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ!

“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah menghadap kepada Rabb-Mu dengan penuh kerelaan dan mendapatkan rida (dari-Nya). Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS Al-Fajr: 27-30)

Ya Allah, berkahilah umur dan waktu kami. Ya Allah, terimalah amal kami. Jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang ketika ajal kami tiba, termasuk hamba-hamba-Mu yang menghadap kepada-Mu dengan husnulkhatimah, dengan penuh kerelaan dan mendapatkan rida-Mu. Amin, amin, amin ya Mujibassailin.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi