RIZKI, AJAL DAN HUKUM

Prof. dr. Ing. Fahmi Amhar
Rizki sering tidak berhubungan dengan pendidikan, pengalaman, kedudukan, risiko ataupun tanggungjawab. Rizki itu diturunkan Allah memang tidak pilih-pilih. Yang sedikit maupun banyak, yang sakit maupun sehat, yang cuma jadi rakyat jelata maupun jadi paduka yang mulia, semua sebenarnya hanya ujian, untuk menguji siapa yang lebih baik amalnya.
Namun karena kuantitas dan kualitas dunia dari rizki bukan ukuran sukses yang hakiki, maka rizki wajib didapatkan dengan cara yang baik, cara yang dibenarkan hukum [Allah].
Jadi kalau ada pejabat yang kekayaannya tumbuh secara fantastis, lantas publik mempersoalkan, itu jangan direspon dengan “iri ya?”, atau “rizki orang kan lain-lain!”, karena publik itu mempersoalkan apakah cara sang pejabat mendapatkannya masih layak menurut hukum atau tidak? Kalau tidak layak, karena korupsi, kolusi, atau gratifikasi, ya pantas dipersoalkan. Andaikata semua “rizki orang tidak boleh dipersoalkan”, maka tidak perlu Nabi melarang suap atau mencuri, tidak perlu pula ada UU Anti Korupsi dan KPK.
Demikian juga ajal. Kematian hanya terjadi ketika ajal sudah datang. Ada pemuda, selama ini sehat-sehat saja, belum juga usia 30, tiba-tiba meninggal karena serangan jantung. Ada juga yang sudah 90 tahun, doyan makan jeroan dan suka merokok, tapi sehat, tidak pikun, dan sudah bosan menunggu kapan Izrail menjemput.
Namun ajal hanya boleh hadir dengan cara yang natural, atau dengan hukum, semisal hukuman mati. Tidak boleh ajal “dipercepat” dengan pembunuhan sewenang-wenang, atau kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa. Karena itu pulalah, ada hukum qishash, hukum hudud, juga setiap negara punya KUHP.
Andaikata setiap kematian akibat kelalaian, atau malpraktik dari praktisi pengobatan, dijawab dengan “Almarhum memang sudah tiba pada ajalnya”, maka tak perlu ada syariat qishash.
Jadi begitulah, keimanan tentang rizki dan ajal adalah bagian dari aqidah. Sedang fiqih pada peristiwa datangnya rizki maupun ajal tetap menjadi pathokan apa yang harus dilakukan terhadap subjek yang mendapatkan rizki atau menemui ajal secara tidak wajar.
Wallahu a’lam bis shawab.
Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi