(c) Fahmi Amhar
Realitas itu awalnya hanya didekati secara inderawi. Ada objek terindera, dideteksi oleh pancaindera, dibawa ke otak, dibandingkan dengan informasi yang tersimpan sebelumnya. Itulah berpikir empiris. Itu dialami juga oleh hewan. Kucing atau anjing bisa mengenali majikannya. Ayam atau kambing yang dilepas bebas, bisa kembali sendiri ke kandangnya.
Namun barangsiapa percaya, bahwa realitas itu hanya yang inderawi, itu berarti dia penganut empirisme. Dan dia tersesat. Karena tidak semua realitas dapat diindera. Juga tidak semua yang terindera, itu realitas. Matahari yang baru akan terbit esok hari, belum dapat terindera. Gelombang radio hanya dapat diukur dengan alat-alat tertentu. Ada nenek moyang yang sudah wafat sebelum kita lahir, tentu tidak dapat diindera. Namun mereka dapat dipikirkan secara rasional. Muncullah berpikir saintifik (ilmiah). Kemampuan rasional menghubungkan berbagai fenomena empiris untuk dicari benang merahnya. Disebut teori. Teori akan menjelaskan antar fenomena. Teori yang tidak mensisakan data yang janggal, dan kemudian dapat dipakai untuk prediksi dan benar, itulah teori yang paling benar.
Sementara itu ada juga kelompok rasionalisme yang meyakini, bahwa realitas hanya dapat dicapai dengan berpikir rasional semata. Tak perlu empiris. Empiris kadang keliru. Sepasang rel yang secara empiris tampak bertemu di ujung, sebenarnya tidak pernah bertemu. Berpikir rasional menolak itu.
Sebenarnyalah, di kedua lingkaran itu ada yang tersisa.
Ada pikiran-pikiran rasional yang belum empiris, semisal beberapa rencana yang belum dilaksanakan. Semisal pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Surabaya. Secara rasional pasti bisa dibangun bila uangnya ada. Secara empiris saat ini proyek itu bahkan belum dimulai. Demikian juga, secara teori, transportasi dan komunikasi quantum itu mungkin. Namun hal ini belum dapat dieksekusi karena memerlukan laboratorium fisika kuantum yang sangat rumit dan mahal, karena harus bisa memisahkan partikel kuantum yang terbelit.
Di dunia empiris ada juga fenomena yang benar-benar ada namun belum bisa dijelaskan. Teknologi kuno untuk membangun Piramid, juga kemampuan telepati dan telekinesis, itu benar-benar ada. Namun hingga hari ini belum dapat dijelaskan secara rasional dengan memuaskan.
Selain itu masih ada 2 lingkaran lagi. Lebih kecil. Ada lingkaran dunia di luar empiris, dan beririsan sedikit dengan dunia rasional. Di sinilah posisi metafisika atau keimanan Islam. Umat Islam mengimani adanya malaikat, hari kiamat dan surga/neraka, meski hal-hal itu tidak mungkin didekati secara empiris. Mereka mengimani itu karena konsekuensi logis dari thariqul iman yang rasional.
Namun ada juga bagian dunia di luar empiris namun mustahil menjadi rasional. Itulah metafisika kufur, seperti klenik dan churofat.
Selain itu ada juga lingkar dunia irrasional, yang beririsan dengan dunia empiris. Contohnya adalah kemampuan seseorang yang mampu melakukan seni akrobatik yang sangat sulit, tetapi faktanya ada. Bisnis dan politik juga terkadang irrasional, tetapi dapat dilihat hasilnya secara empiris. Sebaliknya, ada juga dunia irrasional yang selamanya akan tetap seperti itu, tidak akan pernah menjadi rasional. Hidup memang tidak harus semua rasional. Ini contohnya fantasi yang dimiliki seseorang, yang kadang dapat sampai tingkatan ekstrim. Merasa dirinya nabi, atau bahkan malaikat. Selain itu, penyakit jiwa seperti waham juga dapat menjadi contoh yang tidak menjemukan.