POLISI ANTARA ALAT KEKUASAAN DAN ALAT NEGARA

Bismillahirrahmanirriim

DI TENGAH memburuknya citra kepolisian karena prilaku buruk aparat di dalamnya, kembali kita disuguhi bentrokkan keras antara warga masyarakat dengan pihak kepolisian.

Memang hidup di alam demokrasi, tidak jarang institusi kepolisian terjebak pada arus politik, dukung mendukung kekuasaan menjadi hal yang pasti terjadi. Antara alat kekuasaan dan alat negara menjadi bias maknanya, melawan penguasa dikata sedang melawan negara.

Berbeda pandangan dianggap mengancam pemerintahan sah. Mengkritik kebijakan dinilai memprovokasi dan merusak persatuan. Itulah yang sedang terjadi hari ini. Aparat netral sekalipun sangat mungkin bertindak tak lagi netral.

Mestinya jangan sampai terjadi karena dipilih dan dilantik presiden, lalu melupakan tugas dan perannya sebagai alat negara. Aparat adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. Dedikasi mereka harusnya untuk negara bukan penguasa. Sebab, mereka dilahirkan dari rakyat.

Dalam pasal 30 ayat 4 UUD 1945 tertulis, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”

Berdasarkan Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa

(1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam pemeliharaan kamtibmas, gakkum, serta memberikan perlindungan,pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya Kamdagri. Karena dalam Bab II Tap MPR No. VII/2000 menyebutkan bahwa:

(1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara Kamtibmas,, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
(2) Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan ketrampilan secara professional. Artinya Polri bukan suatu lembaga / badan non departemen tapi di bawah Presiden dan Presiden sebagai Kepala Negara bukan Kepala Pemerintahan.

Dalam islam, kepolisian sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, berdasarkan hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi SAW memiliki kedudukan sebagai ketua polisi dan ia termasuk di antara para amir.” Imam Tirmizi juga telah meriwayatkan dengan redaksi, “Qais bin Saad di sisi Nabi SAW berkedudukan sebagai ketua polisi dan ia termasuk di antara para amir. Al-Ansari berkata: Dia itu orang yang menangani urusan-urusan polisi”.

Polisi (syurthah) bertugas menjaga keamanan di dalam negeri, di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (DKDN). Departemen ini mempunyai cabang di setiap wilayah/daerah yang dipimpin oleh kepala polisi (syahib as-syurthah) di wilayah/daerah tersebut.

Polisi (syurthah) dalam Negara Islam (Khilafah) ada 2 yakni polisi militer dan polisi yang berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah. Adapun yang boleh menjadi polisi adalah pria dan wanita balig, dan warga Negara Khilafah. Mereka mempunyai seragam tersendiri, dengan identitas khusus untuk menjaga keamanan

Perlu ditegaskan kepolisian adalah alat utama negara dalam menjaga keamanan. Dalam negara khilafah, urusan keamanan negara ditangani oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri (DKDN), yang dipimpin oleh Direktur Keamanan Dalam Negeri. Departemen ini mempunyai Kantor Wilayah di setiap wilayah. Kantor Wilayah Keamanan Dalam Negeri di wilayah tersebut dipimpin oleh Kepala Kepolisian di wilayah itu.

Secara hirarki birokrasi, Kepala Kepolisian yang mengepalai Kantor Wilayah Keamanan Dalam Negeri di suatu wilayah berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri, tetapi secara teknis pelaksanaan tugas di lapangan (wilayah) berada di bawah Wali (Kepala Daerah tingkat I).

Semua fungsi dan tugasnya diatur dalam UU khusus. Departemen Keamanan Dalam Negeri ini juga berhak untuk menggunakan polisi kapan saja, di mana perintahnya bersifat mengikat.

Jika dalam kondisi tertentu, polisi tidak sanggup mengatasi gangguan keamanan, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri bisa meminta bantuan tentara (jaisy).

Dalam hal ini, Departemen Keamanan Dalam Negeri berkewajiban melaporkannya kepada khalifah, kemudian khalifahlah yang berhak menginstruksikan tentara untuk membantu Departemen Keamanan Dalam Negeri, atau dengan memberikan support dengan sejumlah personel militer untuk membantu Departemen Keamanan Dalam Negeri dalam menjaga keamanan dalam negeri. Atau, urusan apa saja yang dipandang perlu oleh khalifah.

Tetapi, khalifah juga berhak menolak pengajuan Departemen Keamanan Dalam Negeri, serta menginstruksikan agar cukup dengan kesatuan polisi saja.

Tugas utama polisi adalah menjaga keamanan di dalam negeri. Selain itu, mereka juga ditugasi untuk menjaga system, men-supervisi keamanan di dalam negeri dan melaksanakan seluruh aspek teknis/eksekusi.

Adapun maksud polisi berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah (wali/’amil), mereka akan malaksanakan apa saja yang dibutuhkan oleh Khalifah/kepala daerah sebagai pasukan eksekusi untuk mengeksekusi pelaksanaan hukum syari’ah, menjaga system, keamanan, patrol, ronda malam hari, mengintip pencuri, mencari pelaku criminal dan orang yang dikhawatirkan keburukannya (Ajhizat Daulah al-Khilafah, hal 95, 96 dan 99;

Polisi juga bertugas menghukum orang-orang yang dicurigai (ahl ar-raib), karena bekerja sama dengan kafir Harbi fi’lan (musuh umat Islam). Orang-orang yang seperti ini bisa muslim maupun ahli Dzimmah, bisa individu maupun organisasi. Kalau sekarang, mereka itu seperti aktifis liberal, LSM komprador, dan antek-antek asing maupun aseng, maupun sekutunya yang lain yang memusuhi Islam.

Dalam kasus ini negara bisa memata-matai mereka dengan alasan bahwa memata-matai kafir Harbi fi’lan hukumnya wajib dan kafir Harbi hukman dalam kondisi normal boleh, tetapi bisa juga wajib ketika membahayakan negara.

Wallahu A’lam Bishawab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi