Oleh HM Ali Moeslim (Penulis dan Pembimbing Haji & Umroh)
PROBLEM utama dan mendasar dari sistem ekonomi kapitalisme adalah ketidak-mampuannya mendistribusikan kekayaan secara adil dan merata kepada rakyat. Hal ini tercermin dalam kesenjangan ekonomi yang tinggi di antara penduduk.
Sebagian besar rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, yakni pangan, sandang dan papan. Sebaliknya, sekelompok minoritas hidup dengan kekayaan yang berlimpah rumah.
Mekanisme utama dalam sistem distribusi kapitalisme bertumpu pada mekanisme pasar. Kekayaan didistribusikan kepada mereka yang mampu membayar barang dan jasa yang dibutuhkan publik, termasuk kelompok barang dan jasa yang bersifat pokok, seperti pangan, sandang dan papan, serta akses kebutuhan azasinya yakni keamanan, kesehatan dan pendidikan.
Berbeda dengan sistem Islam, ia bersumber dari Allah SWT, Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata. “Sungguh manusia membutuhkan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya. Namun, jika pemenuhan ini tidak dilakukan dengan aturan, maka akan menyebabkan pemenuhan yang salah atau menyimpang, dan akan mengakibatkan kesengsaraan bagi manusia.
Oleh karena itu, dibutuhkan aturan yang mengatur naluri dan kebutuhan jasmaninya. Aturan ini tidak boleh datang dari manusia. Pasalnya, pemahaman manusia dalam mengatur naluri dan kebutuhan jasmani manusia rentan terhadap perbedaan, pertentangan, dan kontradiksi, yang pada akhirnya akan mengakibatkan kesengsaraan manusia. Maka dari itu, aturan tersebut harus datang dari Allah SWT
Pos pendapatan dalam APBN Negara Islam menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum (2003) terdiri dari 12 kategori: pendapatan dari harta rampasan perang (anfaal, ghaniimah, fai dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; pungutan dari non-Muslim yang hidup dalam Negara Islam (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyur); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; harta rikaz dan tambang; harta yang tidak ada pemiliknya; harta orang-orang murtad; pajak; dan zakat. Lain halnya dengan Pajak di negara kapitalis, walaupun dalam Negara Islam ada pajak (dharibah) namun memiliki motif, metode dan peruntukkan yang berbeda.
Pajak memiliki porsi yang besar sebagai sumber pemasukan bagi negara kapitalis, bahkan menjadi sumber utama pendapatan negara. Pemungutan pajak dibebankan bagi semua lapisan masyarakat, baik yang memiliki penghasilan maupun miskin dan jenisnya bermacam-macam, mulai dari pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi Bangunan (PBB), Pajak kendaraan dan lain- lain.
Nilai pajak yang dibayarkan juga kian mencekik rakyat. Karena rakyat juga harus berjibaku untuk bertahan hidup, mandiri mengurus urusan kebutuhan dasarnya sendiri. Ketika suatu negara mengandalkan pajak sebagai salah satu pemasukan utamanya, maka ini sangatlah riskan, yang pasti membebani rakyat.
Memang kabijakan pemungutan pajak tersebut bukanlah hal yang aneh dalam sistem ini, bahkan menjadi sesuatu yang wajar. Sebab, dalam sistem kapitalisme pemungutan pajak merupakan salah satu kebijakan fiskal negara yang dianggap mampu menjaga kestabilan ekonomi dan bisnis.
Belum lagi dengan adanya pajak pemerintah dengan mudah bisa mendapatkan dana untuk menutupi defisit anggaran negara dan melunasi hutang negara yang makin menggunung. Karena itulah pajak menjadi salah satu pendapat tetap bagi negara kapitalisme. Padahal dalam kondisi saat ini pajak hanya akan menambah beban rakyat.
Dalam Islam pajak disebut sebagai (dharibah) yang hukum asalnya adalah haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh pemungut cukai berada dalam neraka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Meskipun dalam kondisi tertentu syariat membolehkan penetapan pajak untuk memenuhi kebutuhan rakyat dalam kondisi darurat semata, bukan kondisi normal atau insidental. Standar darurat dalam ini adalah ketika baitul mal kosong sehingga negara tidak mampu meng-cover pembiayaan pengaturan urusan rakyat. Misalnya seperti pembiayaan jihad, industri militer dan penunjang, sarana umum seperti jalan, sekolah, Universitas, rumah sakit, masjid, saluran air minum, bencana alam dan hal lainnya yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan mudaharat bagi umat.
Sedangkan yang dibebani pajak/dharibah hanyalah warga kaum muslim saja, bukan non muslim, serta kepada muslim yang mampu saja, yakni telah mampu memenuhi kebutuhan primer dan sekunder yang ma’ruf, motivasi wakaf bagi orang kaya yang pahalanya “mengalir” walau-pun ia telah meninggalkan dunia yang fana.
Namun, tetap saja dalam sistem Khilafah Islamiyyah, pajak/dharibah bukanlah pemasukan tetap dalam pos kepemilikan negara. Sebab, negara pada dasarnya telah memiliki pos pemasukan tetap seperti pos kepemilikan umum, ghanimah, fai, kharaj dan lainnya yang jumlahnya jauh lebih besar.
Jadi, Inilah salah satu bukti rusaknya kapitalisme, yang menjadikan asasnya itu sekular yakni memisahkan agama dari kehidupan. Ideologi yang hanya mengandalkan kecerdasan manusia semata terbukti hanya menimbulkan kerusakan bagi umat manusia. Manusia ini terlalu sombong karena merasa mampu dan merasa mengetahui kebutuhan hidupnya hingga merasa layak membuat aturan bagi hidup umat manusia.
Salah satu jenis harta kepemilikan umum yang bisa dijadikan sumber pendapatan bagi negara adalah tambang, hasil hutan, hasil laut, jika dikelola oleh negara tanpa adanya privatisasi oleh individu dan asing akan menghasilkan pemasukan yang besar bagi negara. Karena dalam Islam tidak boleh ada privatisasi bagi harta yang masuk dalam kategori kepemilikan umum.
Sungguh mengagumkan! Islam hadir dengan aturan yang begitu rinci dan sempurna maka sudah saatnya kita kembalikan lagi kejayaan Islam sehingga keberkahan akan menyertai umat manusia.
Bandung, 19 September 2024/ 15 Rabiul Awwal 1446