Oleh: Rizqi Awal
Aktivis Gerakkan Islam
Pasca keruntuhan Kekhilafahan Utsmaniyah pada tahun 1924, umat Islam menghadapi krisis besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hilangnya figur pemimpin yang menjadi teladan bagi seluruh dunia Islam. Kekhilafahan Utsmani, yang telah berdiri selama lebih dari enam abad, adalah simbol persatuan politik dan agama bagi umat Muslim. Ketika kekhilafahan runtuh, umat Islam di seluruh dunia kehilangan representasi politik yang berfungsi sebagai pemersatu serta pelindung agama mereka. Kondisi ini menciptakan kekosongan yang besar dalam kepemimpinan spiritual dan politik umat Islam.
Kekhilafahan Utsmani berperan sebagai simbol dan lembaga yang bukan hanya memimpin dari segi politik, tetapi juga membimbing umat secara moral dan religius. Khalifah tidak hanya dipandang sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai pelindung agama, simbol otoritas Islam, dan penjaga kesucian agama di dunia Muslim. Dengan runtuhnya kekhalifahan, umat Islam kehilangan satu figur pemersatu yang mewakili keseluruhan umat Muslim. Hal ini menyebabkan umat Islam terpecah belah dan kehilangan orientasi dalam menentukan arah kehidupan sosial, politik, dan religius mereka.
Salah satu dampak signifikan dari hilangnya kekhalifahan adalah krisis keteladanan. Umat Islam, yang sebelumnya memiliki khalifah sebagai simbol dan pemimpin, kini justru kebingungan dalam mencari sosok pemimpin yang bisa dijadikan panutan. Di tengah kekosongan ini, berbagai ideologi dan pengaruh luar mulai merasuk dan mempengaruhi pandangan umat Islam. Salah satunya adalah fenomena yang mengkhawatirkan di mana sebagian umat Muslim mulai mengagumi dan menjadikan pemimpin agama lain, seperti Paus Fransiskus, sebagai teladan.
Paus Fransiskus, sebagai pemimpin Gereja Katolik, tentu saja memiliki nilai-nilai dan ajaran yang berbeda dari Islam. Meskipun beliau dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan perdamaian, kesetaraan, dan dialog antar agama, menjadikannya sebagai sosok teladan dalam konteks spiritualitas dan kepemimpinan agama bagi umat Islam adalah suatu kontradiksi yang berbahaya. Mengagumi pemimpin agama lain tanpa memahami batas-batas akidah Islam dapat menyebabkan distorsi dalam cara umat Islam memandang ajaran mereka sendiri. Ini mencerminkan hilangnya jati diri dan keyakinan umat Islam terhadap kekayaan tradisi dan ajaran Islam.
Di sisi lain, Barat, dengan strategi yang matang, berhasil mengalihkan fokus umat Islam dari upaya untuk bersatu kembali di bawah naungan kekhalifahan, menuju identitas yang terpecah-pecah berdasarkan batas-batas nasionalisme. Setelah Perang Dunia I dan khususnya setelah runtuhnya Kekhalifahan Utsmani, kekuatan-kekuatan Barat, terutama melalui perjanjian-perjanjian seperti Perjanjian Sykes-Picot, membagi-bagi wilayah-wilayah Muslim menjadi negara-negara kecil yang terpisah-pisah. Masing-masing negara dibentuk berdasarkan identitas nasional yang dikonstruksi secara artifisial, bukan berdasarkan persatuan umat Islam secara global.
Nasionalisme, yang awalnya diadopsi dari ideologi Barat, diperkenalkan ke dunia Muslim sebagai pengganti identitas Islam yang universal. Akibatnya, umat Islam tidak lagi dipersatukan oleh identitas keislaman mereka, tetapi malah terpecah menjadi berbagai entitas nasional dengan kepentingan politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan fragmentasi politik di antara negara-negara Muslim dan membuat mereka lebih mudah dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar. Nasionalisme menjadi alat yang efektif untuk memecah-belah persatuan Islam yang pernah ada di bawah naungan kekhalifahan.
Kebijakan politik Barat, termasuk pendirian negara Israel pada tahun 1948 di tengah-tengah wilayah Arab, juga menambah perpecahan di antara umat Islam. Negara-negara Muslim yang seharusnya bersatu melawan penindasan terhadap Palestina, justru terpecah belah dalam berbagai aliansi dan kepentingan politik yang sempit. Konflik internal, baik yang bersifat sektarian maupun etnis, semakin memperburuk keadaan, sehingga sulit bagi umat Islam untuk membangun kembali kekuatan dan persatuan yang solid.
Dalam konteks ini, umat Islam kini menghadapi tantangan besar untuk menemukan kembali jati diri mereka yang hilang. Mengagumi pemimpin agama lain seperti Paus Fransiskus hanyalah satu contoh dari bagaimana krisis kepemimpinan ini mempengaruhi persepsi dan orientasi umat Islam. Daripada mencari inspirasi dari luar, umat Islam seharusnya berusaha menggali kembali ajaran-ajaran Islam yang kaya akan hikmah dan kebijaksanaan, serta mencari pemimpin yang benar-benar berakar dalam tradisi Islam.
Untuk mengatasi tantangan ini, umat Islam perlu merumuskan kembali visi mereka tentang persatuan. Persatuan umat bukan hanya cita-cita politik, tetapi juga sebuah keharusan spiritual dan sosial. Kembali kepada ajaran Islam yang kaffah, memperkuat identitas Islam, serta menegakkan nilai-nilai keadilan dan persaudaraan di antara sesama Muslim adalah langkah-langkah penting yang harus diambil. Selain itu, penting bagi umat Islam untuk menolak segala bentuk upaya yang mencoba memecah belah mereka berdasarkan identitas nasional atau sektarian.
Dengan demikian, pasca keruntuhan kekhalifahan Utsmani, umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menemukan kembali keteladanan dan persatuan mereka. Mereka harus berhati-hati dalam memilih siapa yang mereka kagumi dan jadikan panutan, serta waspada terhadap strategi yang digunakan untuk memecah belah persatuan mereka. Hanya dengan kembali kepada ajaran Islam yang kaffah, memperkuat persatuan, dan menolak segala bentuk pengaruh yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, umat Islam dapat bangkit kembali dan menemukan jalan menuju kejayaan yang hilang.
Sumber: Channel Rizqi Awal