Oleh. H. M Ali Moeslim
Selain sejarah perjuangan Rasulullah Saw. dalam menegakkan Islam melalui metode pembinaan intensif, berinteraksi dengan umat melalui perjuangan politik dan perang pemikiran, serta penerimaan kekuasaan untuk mengurus ummat dengan syariat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Ummat Islam juga mengenal perjuangan Nabi Musa as dalam menegakkan tauhid dan perlawanan penguasa represif dan otoriter, yakni Raja Fir’aun.
Kisah Nabi Musa menghadapi Fir’aun yang disokong oleh Hamman dan Qarun ini sangat menarik karena mencakup banyak hal, seperti akidah, politik pemerintahan dan perekonomian umat.*
Kalau tentang Fir’aun sudah masyhur keberadaannya dalam Al-Qur’an maupun kitab-kitab sebelumnya. Selanjutnya Hamman, namanya ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali, masing-masing dalam surat Al-Qashash ayat 6, 8, dan 38, surat Al-Mukmin ayat 36 dan 37, serta surat Al-Ankabut ayat 39.
Nama Haman juga ditemukan dalam heliograf prasasti “Batu Rosetta” tahun 1799 melalui penelitian seorang arkeolog Prancis, bernama Morris sekitar tahun 1882, tercantum nama Hamman sebagai seorang Kepala Urusan istana kerajaan Fir’aun. Hamman merupakan orang yang sangat dipercayai Fir’aun. Sampai-sampai Fir’aun tidak akan mengambil kebijakan (keputusan) sebelum ada titah atau pendapat dari Hamman. Fir’aun memberikan semua jabatan strategis kepada Hamman, mulai dari kepala Istana, pengatur dan pengendali infrastruktur, panglima perang, pengendali stabilitas keamanan, penasihat Fir’aun, dan pengontrol ucapan para pengkritik kerajaan.
Sedangkan Qarun adalah sosok orang yang pada awalnya sangat miskin yang kemudian menjadi kaya raya. Saking kayanya, kunci-kunci gudangnya saja tidak bisa diangkut oleh orang-orang kuat yang ada di Mesir. Qarun yang kaya raya dan sangat setia kepada Fir’aun akhirnya diangkat sebagai bendahara kerajaan.
Itulah mode pemerintahan korporatokrasi atau pemerintahan yang dikuasi oligarki, yakni suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai dan dijalankan oleh sejumlah korporat, konglomerat, atau kapitalis. Mereka adalah para pengusaha kaya raya yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan ragam kebijakan politik, ekonomi, sosial-budaya dalam suatu negara.
Secara praktis, para pemilik modal ini merupakan penyumbang utama yang “menghidupi” para politikus, para pejabat dan kepala-kepala lembaga instansi negara. Bahkan, tidak jarang mereka juga terjun langsung di dunia politik, mendirikan atau mengendalikan partai politik. Dampak buruk dari berkembangnya korporatokrasi adalah lahirnya kebijakan dan peraturan perundangan yang hanya menguntungkan para pemilik modal (oligarki) dan merugikan rakyat banyak, serta makin menindas golongan ekonomi lemah.
Korporatokrasi memang tak punya hati. Bagi mereka, hal yang paling penting adalah bagaimana bisa menguasai segalanya. Rezim ini tumbuh dan berkembang menjadi rezim yang represif dan otoriter. Mengapa hal itu terjadi? Karena mereka para penguasa itu memiliki landasan dan prinsip sebagai berikut:
1) Menjadikan kekuasaan sebagai tujuan
Di dalam sistem sekuler, penguasa menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Penguasa tersebut akan berusaha untuk melanggengkan kekuasaan. Untuk maksud itu, berbagai cara ditempuh, termasuk mengubah undang-undang yang mengatur masa jabatan, melindungi anak atau kroninya yang terndikasi korupsi, dan lain lain.
2) Menjadikan demokrasi sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan
Pemerintahan yang represif dan otoriter tidak hanya muncul dari pemimpin yang lahir dari kudeta. Sistem demokrasi yang bertumpu pada falsafah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) justru menjadi pintu masuk yang sangat efektif bagi tumbuh suburnya rezim yang otoriter dan represif dengan dalih atau klaim telah mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui proses demokratis (PEMILU).
3) Menjadikan kepentingan oligarki di atas kepentingan rakyat
Para penguasa dalam sistem demokrasi yang dipilih melalui proses pemilihan umum memerlukan modal yang sangat besar agar dapat memenangkan kontestasi.
Bagaimana Islam memberikan solusi atas problematika tersebut? Keberadaan rezim represif dan otoritet merupakan keniscayaan sejarah. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Baginda Rasulullah Saw:
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ، قِيل: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَال: الرَّجُلُ التَّافِه في أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu pendusta dibenarkan. Orang yang benar didustakan. Pengkhianat diberi amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Saat itu Ar-Ruwaibidhah berbicara.” Ditanyakan, “Apakah Ar-Ruwaibidhah?” Beliau bersabda, “Seseorang yang bodoh tetapi sok mengurusi urusan orang banyak.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad)
Islam mempunyai sejumlah perangkat atau sistem yang dapat mencegah dan menangkal agar penguasa dalam sistem Islam tidak menjelma menjadi kekuasaan yang represif dan otoriter, di antaranya:
1) Kekuasaan ada untuk mengurus rakyat (ri’ayah syu’un al-ummah)
Politik Islam (as-siyasah al-islamiyah) bermakna pengaturan urusan ummat dengan aturan-aturan Islam, baik di dalam maupun luar negeri (ri’ayah syu’un al-ummah dakhiliy[an] wa kharijiy[an] bi al-ahkam al-islamiyyah).
2) Standar hukum yang jelas (Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya)
Dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Daulah Khilafah, penguasa atau khalifah memerintah dengan bersandarkan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya atau hukum syariah. Dengan demikian, standar hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan rakyat, khususnya dalam masalah muamalah sangat jelas, yaitu syariah Islam (Lihat surat Al-Maidah ayat 15-16).
3) Penegakan hukum yang setara untuk semua (equality before the law)
Dalam Daulah Khilafah, hukum berlaku setara bagi siapa pun (equality before the law). Oleh karena itu, tatkala rakyat melihat kebijakan penguasa di wilayahnya yang tidak sesuai dengan syariah, maka rakyat langsung melaporkan kepada khalifah. Khilafah pun menjamin dan melindungi setiap kritik dan aduan rakyat kepada pejabat. Khalifah menjamin rakyatnya tidak akan dikriminalisasi apalagi diproses hukum sebagai upaya membungkam mereka. Dalam struktur Khilafah pun, terdapat lembaga waliul ummah dan mahkamah madzalim yang dengan tegas memperkarakan khalifah dan para pejabat, bahkan bisa mencopotnya.
Wallahu a’lam bishawab.