Menundukkan Diri Pada Aturan Ilahi

Ramadan, sang tamu agung itu telah meninggalkan kita.  Semua upaya telah kita kerahkan untuk mendapatkan kemuliaannya dan menggapai kemenangan.  Kemenangan tersebut terwujud ketika di akhir Ramadan Allah mengampuni dosa-dosa kita dan kita mampu untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan dari ibadah puasa kita. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَاً وَاحْتِسَاً غُفِرَ لَه مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Adapun tujuan puasa telah  Allah SWT jelaskan dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 183).

 

Makna Takwa

Imam al-Baghawi rahimahulLaah, ketika menjelaskan QS al-Baqarah ayat 183, memaparkan korelasi puasa dengan takwa:  “Puasa adalah wasilah menuju takwa. Sebabnya, puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat.” (Al-Baghawi, Ma’aalim at-Tanziil, 1/196).

Takwa menurut Imam ar-Raghib al-Asfahani memiliki makna, “menjaga jiwa dari perbuatan yang membuat seseorang berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan.” (Al-Asfahani, Al-Mufradaat fii Ghariib al-Qur’aan, hlm. 531).

Imam An-Nawawi mendenifisikan takwa dengan, “Menaati perintah dan larangan-Nya.”

Dengan demikian seorang Muslim, setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan, namun tidak meningkat ketakwaannya, dia tetap melakukan maksiat dan meninggalkan kewajibannya sebagai seorang Muslim, maka puasanya tidak bermanfaat dan tidak mencapai tujuannya. Said bin Jubair rahimahulLaah mengatakan: “Di antara ganjaran bagi suatu amalan kebaikan adalah bisa melakukan amalan kebaikan lain setelahnya.” (Dinukil dari Majmuu’ al-Fatawa Syaikh al-Islaam, 4/10).

 

Tunduk Pada Aturan Allah

Salah satu bentuk takwa adalah tunduk pada aturan Allah.  Ketundukan ini lahir dari keimanan, bahwa Allah yang telah menciptakan manusia adalah yang paling tahu tentang manusia: sifat, tabiat dan apa yang menjadi kemaslahatan atau kemadaratan bagi dirinya.  Karena itu ketika Allah menetapkan aturan bagi manusia, maka aturan itulah yang terbaik bagi manusia, membawa kemanfaatan dan menjauhkan dari kemadaratan.

Kemaslahatan, ketika diserahkan pada akal manusia, bisa jadi justru membawa kemadaratan.  Hal ini karena akal manusia sifatnya terbatas.  Ia tidak mampu menjangkau kemaslahatan yang mencakup semua masa semua tempat dan semua orang.  Apa yang bagi seseorang merupakan maslahat, belum tentu bagi orang lain di tempat lain atau di masa lain.

Allah juga telah memerintahkan kita untuk tunduk dan berhukum hanya dengan hukum-Nya (Lihat, misalnya: QS al-Maidah [5]: 49; QS al-Maidah [5]: 50).

Menundukkan diri pada aturan Allah saat ini sungguh tidak mudah.  Banyak sekali tantangan yang harus kita hadapi, terutama pemikiran-pemikiran yang berusaha menyimpangkan ketaatan kepada Allah menjadi ketaatan pada hukum-hukum manusia. Salah satu yang harus dihadapi Muslimah adalah feminisme, terutama feminisme yang mengatasnamakan Islam.

 

Jebakan Feminisme: Maqaashid Syarii’ah li an-Nisaa

Ide feminisme sebenarnya tidak memiliki akar dalam Islam.  Ia lahir di Eropa, dilatarbelakangi oleh berbagai ketidakadilan dan marginalisasi perempuan dalam kehidupan.  Namun, ide ini diadopsi oleh sebagian kaum Muslim yang telah ter-shibghah dengan pemikiran Barat, yang memandang bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan harus setara, dalam bidang apapun.

Karena memang tidak memiliki asal dalam Islam, para feminis Muslim lantas mencari-cari dalil legitimasi dari nash-nash syariah.  Berbagai pemikiran yang mereka klaim berasal dari Islam mereka gulirkan. Dari qiraa’ah mubaadalah, tafsir keadilan hakiki hingga terakhir yang sedang mereka propagandakan adalah maqaashid asy-syarii’ah li an-nisaa’.

Pemahaman maqaashid asy-syarii’ah li an-nisaa’ lahir dalam rangka menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, termasuk di dalamnya kesetaraan dalam kesempatan bekerja.  Konsep ini merumuskan tujuan-tujuan syariah yang dikhususkan pada apa yang menurut mereka disebut dengan kemaslahatan perempuan.

Kemaslahatan perempuan dalam kacamata feminisme ini lantas dijadikan sebagai ‘illat, yakni dasar penarikan suatu hukum.  Karena itu semua aturan yang menghalangi dan mempersulit perempuan untuk bekerja, atas nama maslahat perempuan, harus dihilangkan.  Sebagai contoh, aturan harus adanya mahram bagi perempuan dalam menempuh safar sehari semalam, dianggap akan menghalangi aktivitas perempuan bekerja yang sering harus melakukan perjalanan melebihi jarak safar.  Aturan ini harus dihilangkan dengan ‘illat amannya kondisi perjalanan perempuan saat ini sekalipun tanpa ada mahram.

 

Mendudukkan Maqaashid asy-Syarii’ah

Dalam Islam, maqaashid asy-syarii’ah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang dibawa oleh syariah.  Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Islaamiyyah Jilid 3 menjelaskan bahwa maqaashid asy-syarii’ah adalah  natijah (hasil) dari penerapan hukum.  Hukum ditetapkan berdasarkan dalil syariah, bukan maqashid asy-syari’ah.  Karena itu ketika hukum syariah diterapkan, maka akan tercapailah maqaashid asy-syarii’ah.

Allah, ketika menurunkan syariah, tujuan dan maksudnya adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan umat manusia seluruhnya, laki-laki maupun perempuan.  Karena itu maqaashid asy-syarii’ah berlaku untuk keduanya sekaligus.  Ketika Islam menjaga jiwa, agama, akal,  harta, dan kehormatan, maka hal ini mencakup baik laki-laki maupun perempuan.

Saat Islam membedakan hukum suatu perbuatan bagi laki-laki dan perempuan, seperti kewajiban nafkah, hukum waris, dan sebagainya, tidak lantas menjadikan kemaslahatan untuk satu pihak dan merugikan pihak yang lain.  Hukum yang berbeda ini terkait dengan tabiat antara laki-laki dan perempuan yang berbeda.  Perempuan mengalami haid, nifas, hamil, melahirkan, dan menyusui; sementara laki-laki tidak.

Pembedaan hukum adalah untuk kemaslahatan kedua pihak.  Islam menetapkan kewajiban mencari nafkah pada suami agar istri tidak terbebani dengan beban ganda yang berat dari beban reproduksi dan beban kerja sekaligus. Islam juga menggariskan ketentuan-ketentuan bagi suami untuk berlaku baik kepada istri; mempergauli istri dengan makruf dan tidak menyakiti dirinya sebagaimana diterangkan oleh banyak nash dari al-Quran dan al-Hadis.

Sebagai seorang Muslim yang meyakini bahwa Allah adalah Sang Hakim, sebaik-baik Pembuat Hukum, tentu kita wajib meyakini bahwa apapun yang Allah tetapkan dari hukum-hukum syariah, di dalamnya pasti ada kemaslahatan untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan.  Dengan menerapkan hukum-hukum itulah, maqaashid asy-syarii’ah akan tercapai.  Bukan sebaliknya: Kita menetapkan maqaashid asy-syarii’ah dari apa yang kita pandang sebagai kemaslahatan, lantas kita paksa hukum syariah untuk mengikuti apa yang telah kita tetapkan.  Hal itu berarti kita menjadikan diri kita tandingan Allah dalam membuat hukum.

Dengan demikian maqaashid asy-syarii’ah adalah buah dari ketundukan kepada Allah.  Bukan kita yang menentukan maqaashid tersebut, melainkan Dia Yang Maha Tahu atas karakter dan tabiat manusia.

 

Khatimah

Pasca Ramadhan, PR besar kita adalah bagaimana kita mewujudkan ketakwaan kepada Allah dengan menundukkan diri dalam ketaatan kepada-Nya.  Inilah yang senantiasa harus kita evaluasi karena taat dan takwa sering menghadapi ujian.  Dalam kondisi gencarnya serangan pemikiran dari luar Islam dengan ide-ide yang menyimpang, sementara kita tidak memiliki imam sebagai junnah/perisai yang melindungi kita, bukan tidak mungkin kita akan terbawa arus.

Karena itu sangat penting bagi kita untuk terus mengkaji Islam, mengkaji perintah dan larangan-Nya. Tentu agar kita mampu menggapai sebaik-baik takwa dan tidak tergelincir oleh ide-ide yang tampak indah, namun merusak pemahaman kita.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Arini Retnaningsih]

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi