Oleh. K.H. M Ali Moeslim (Pembimbing Haji & Umroh Rabbani Travel)
Bismillahirrahmanirrahim
Gerbang Bi’rul Ali atau Dzulhilaifah seakan menyambut kedatangan jemaah haji atau umrah yang baru datang ke kota Nabi, Madinah Al Munawwarah, bacaan do’a yang disunahkan adalah
اللَّهُمَّ هَذَا حَرَامُ رَسُولِكَ وَاجْعَلْهُ وِقَايَةً مِنَ النَّارِ َوأَمَنَةً مِنَ الْعَذَابِ وَسُوءَ الحِسَابِ
“Ya Allah, negeri ini adalah tanah haram Rasul Muhammad saw., maka jadikanlah penjaga bagiku dari neraka, aman dari siksa dan buruknya hisab (perhitungan) di hari kemudian.”
Kota Madinah dulu kala adalah titik awal cahaya peradaban Islam yang semerbak kelak menyebar ke seluruh penjuru dunia. Setelah Nabi Muhammad saw. dibaiat menjadi pemimpin Madinah pada Baiat Aqabah II.
Bai’at ‘Aqabah II (622 M) adalah perjanjian yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. terhadap 73 orang pria dan dua orang wanita dari Yatsrib pada waktu tengah malam. Perjanjian ini terjadi pada tahun ketiga belas kenabian. Mush’ab bin Umair kembali ikut bersamanya beserta dengan penduduk Yatsrib yang sudah terlebih dahulu masuk Islam.
Mereka pun kemudian sepakat dengan persyaratan bai’at, namun sebelum bai’at dilaksanakan, Al-‘Abbâs bin ‘Ubâdah bin Nadhlah dan As’ad bin Zurârah berkeinginan menjelaskan hakikat bai’at yang akan dilakukan, sehingga mereka benar-benar memahaminya. Kedua orang ini juga ingin memastikan kesiapan kaum Anshâr untuk berjihad dan berkorban membela dîn (agama) yang mulia serta membela Rasulullah saw.
Setelah keduanya menjelaskan hakikat bai’at dan konsekuensinya kepada kaum Anshâr, mereka kini mengetahui bahwasannya kaum Anshâr benar-benar sudah siap. Akhirnya, bai’at pun dimulai. Sahabat As’ad ra. menjabat tangan Rasulullah saw. untuk berbai’at, lalu diikuti yang lainnya satu-persatu. Yang berbai’at kala itu mendapat kabar gembira, yaitu akan dimasukkan ke surga bagi yang menepati bai’atnya.
Setelah Rasulullah saw. dan para sahabat sampai di kota Madinah, sebagai kepala Negara Islam pertama Rasulullah membuat dokumen konstitusi tertulis untuk mengatur sebuah Negara yang bernama Piagam Madinah untuk mempersatukan beberapa golongan yang ada di Madinah saat itu.
Intinya adalah pengaturan negara sesuai dengan Wahyu atau syariat Islam yang diterima oleh Baginda Nabi Muhammad saw. seorang Nabi sekaligus sebagai kepala negara, pengaturan negara yang plural, karena di Madinah pada awalnya semua agama ada termasuk kepercayaan musyrik.
Di antara isinya adalah “Bahwa orang-orang Yahudi Banu Auf adalah satu umat dengan orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka, dan orang-orang Islam pun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan keluarganya sendiri.
Bahwa bilamana di antara kamu timbul perselisihan tentang sesuatu masalah yang bagaimana pun, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan kepada Muhammad ‘alaihishshalatu wassalam.
Selain mengunjungi jejak jejak perjuangan Nabi dan para sahabat dalam berjuang menegakkan syariat Islam secara kaffah melalui struktur negara, jmaah haji dan umroh tentu ingin shalat dan bermunajat di Raudhah, masjid Nabawi. Rasulullah saw. bersabda:
مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ، وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي.
“Di antara rumahku dan mimbarku adalah raudhah (taman) dari taman-taman surga, dan mimbarku berada pada telagaku (telaga kautsar).”
Bersimpuh di Raudhah, di samping makam Nabi melelehkan air mata, muncul bayangan-bayangan bagaimana kehidupan Rasulullah dan para sahabat yang mempusatkan aktivitasnya di masjid.
Rumah itu yang sekarang menjadi makam Baginda Rasulullah, sayyidina Abu Bakar dan Umar bin Khatab adalah pusat qqqpemerintahan mengatur manusia, dilanjutkan oleh para khalifah pengganti beliau dalam urusan dunia yang kelak mengatur 2/3 dunia.
Wallahu a’lam bishawab.