Khurafat dan Sihir Demokrasi

Oleh. H. M Ali Moeslim

Bismillahirrahmanirriim

Menurut Syaikh ibn Mandzur, khurafat adalah

الحديثُ الـمُسْتَمْلَحُ من الكذِبِ. وقالوا: حديث خُرافةَ

Berita yang dibumbui dengan kedustaan. Masyarakat menyebut, beritanya khurafat.

Sedangkan sihir adalah sistem konseptual yang merupakan kemampuan manusia untuk mengendalikan alam (termasuk kejadian, objek, orang, dan fenomena fisik) melalui mistik, paranormal, atau supranatural.

Bagi sebagian masyarakat yang belum mengerti, menganggap bahwa demokrasi adalah puncak kebaikan dan bentuk masyarakat ideal. Tiap kebobrokan dan hasil kerusakan struktural pada elit penguasa dengan mudah “dibranding” dengan “akibat macetnya saluran demokrasi.” Semua keburukan ditimpakan kepada otoriterian dan kediktatoran, mengenyampingkan sistem atau tata aturan yang diterapkan.

Celakanya, semua aspek kehidupan kemudian ikut pula dibumbui dengan kata-kata “demokrasi.” Muncullah slogan demokrasi ekonomi, demokrasi kebudayaan, demokrasi sosial, keluarga demokratis, demokrasi sastra, SDM demokratis, demokratisasi pertanian, dan lain-lain. Luar biasa memang khurafat dan sihir demokrasi!

Demokrasi kini telah menjadi suatu ideologi politik yang paling luas pengikutnya, termasuk di negeri-negeri Muslim. Demokrasi dipercaya sebagai suatu sistem kehidupan bernegara yang terbaik, satu-satunya yang dapat menghantarkan pada tatanan masyarakat yang egalitarian, adil, dan sejahtera. Kepercayaan terhadap sistem demokrasi semakin menjadi-jadi setelah kebangkrutan sistem totaliter-komunis di bekas Uni Soviet dan Eropa Timur. Diyakini, demokrasilah alternatif tunggal sebagai penggantinya (Yusanto, 1998: 101).

Walaupun demikian, sebenarnya demokrasi itu tidak menjanjikan apa pun. Sebagaimana yang disebut dalam buku Apakah Demokrasi Itu? Buku ini disebarluaskan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia. Di cover halaman belakangnya ditulis, “Demokrasi sendiri tidak menjamin apa-apa. Sebaliknya, dia menawarkan kesempatan untuk berhasil serta risiko kegagalan.”

Sayangnya, walau negeri ini mendapatkan sebutan “zamrud kathulistiwa,” negeri yang gemah ripah, repeh rapih loh jinawi, dan ijo royo royo (kekayaan alam yang berlimpah), faktanya kita menyaksikan kehidupan yang jauh dari kesejahteraan. Bahkan kesejahteraan itu tidak terjadi pada provinsi yang memiliki sumber daya alam yang melimpah di dalamnya.

Kita perhatikan, negeri ini berdiri atas asas ideologi kapitalisme. Ide-ide kapitalisme seperti demokrasi, HAM, dan sakularisme kemudian menjadi mafahim (konsep konsep atau ide yang difahami), maqayis (standar untuk mengukur segala sesuatu), dan qana’ah (keyakinan dipelajari dan diamalkan). Semuanya ditanamkan oleh negara kepada masyarakat. Padahal, semua ide-ide tadi jelas adalah sumber kerusakan.

Al-‘Allamah As-Syaikh Abdul Qadim Zallum di dalam bukunya, Demokrasi Sistem Kufur, mengatakan, “Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh ummat manusia ialah ide kebebasan individu yang dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka secara universal serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negeri-negeri demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang!”

Sebagaimana yang telah jamak diketahui, dalam demokrasi, ada empat kebebasan (al-hurriyat, freedom) yang dijamin, yakni;

(1) kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqidah); (2) kebebasan berpendapat (hurriyah ar-ra`yi); (3) kebebasan kepemilikan (hurriyah ar-tamalluk); dan (4) kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah).

Kita sebagai penganut agama Islam mestinya segera menyadari bahwa syariat yang Allah SWT. turunkan itu benar-benar membawa kemajuan dan kemuliaan di dunia dan akhirat. Pengalaman membuktikan atau dicatat oleh tinta emas sejarah ketika islam dan syariatnya menjadi way of life, di mana ummat islam terikat dan terkait, serta terpimpin oleh syariat Islam. Negara yang menghimpunnya menerapkan dan menjalankannya secara kaffah selama 13 Abad melindungi kaum Muslim, memimpin kemajuan dunia dalam peradaban yang memuliakan manusia sebagai manusia.

Islam sendiri adalah agama yang syamilan (melingkupi) sekaligus kamilan (sempurna). Kesempurnaannya sebagai sebuah sistem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara. Allah SWT. berfirman:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ ٣

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan nikmat-Ku kepada kalian, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian (QS Al-Maidah: 3).

Allah SWT. juga berfirman:

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ

“Kami telah menurunkan kepada kamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS An-Nahl: 89)

Ini berarti, problematika apa saja atau apa pun tantangan yang dihadapi akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam. Termasuk dalam hal kenegaraan. Sebabnya, Islam dirumuskan dengan kalimat, “Al-Islam din wa minhu ad-dawlah” (Islam adalah agama, termasuk di antaranya adalah ajaran tentang bernegara).

Ini berbeda dengan konsep sekularisme dari Barat yang memisahkan agama dan negara (fashlud-din ‘an ad-dawlah). Oleh karena itu, jelas agama tidak bisa dipisahkan dari negara, sebagai pemilik kekuasaan. Imam Al-Ghazali mengungkapkan pentingnya agama dan negara. Beliau mengungkapkan:

اَلدِّيْنُ وَالسُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ, اَلدِّيْنُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ

“Agama dan kekuasaan (ibarat) saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa pondasi niscaya runtuh dan sesuatu tanpa penjaga niscaya lenyap.”

Wallahu a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi